Guru dan Keberagaman

Guru dan Keberagaman

MAJEMUK (plural) merupakan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Kondisi ini ialah sebuah keniscayaan bagi Indonesia. Dalam pernyataan tersebut tidak jarang terkesan seolah-olah kemajemukan masyarakat kita ialah suatu keunikan di antara masyarakat-masyarakat yang lain. Karena keunikannya, masyarakat kita memerlukan perlakuan yang unik juga, yakni perlakuan berdasarkan paham kemajemukan. Kemajemukan ini menjadi tantangan sekaligus keberkahan bagaimana negara mengelola dan kekuatan masyarakat sipil memengaruhinya. Kesadaran kemajemukan semestinya menjadi perhatian pemerintah untuk memasukkannya di kurikulum pendidikan karena hanya dengan pendidikan, wawasan dan pengetahuan masyarakat menjadi terbuka sebab dalam kenyataan tidak ada suatu masyarakat pun yang benar-benar tunggal/uniter (unitary), tanpa ada beragam unsur di dalamnya. Kesadaran majemuk itu tidak datang dengan sendirinya, tetapi perlu usaha sadar dan tindakan nyata.

Kemajemukan itu bukanlah keunikan suatu masyarakat atau bangsa tertentu. Dalam kitab suci terdapat petunjuk yang tegas bahwa kemajemukan itu ialah kepastian dari Allah swt. Oleh karena itu, yang diharapkan dari setiap masyarakat ialah menerima kemajemukan itu sebagaimana adanya, kemudian menumbuhkan sikap bersama yang sehat dalam rangka kemajemukan itu sendiri. Di sini terdapat peran guru yang sangat penting dalam memberikan pemahaman pada orientasi kemajemukan.

Bagaimana perbedaan ini bisa dipahami dan diajarkan dalam pendidikan di sekolah? Sekolah sebagai sarana modern merupakan arena yang tepat untuk mengajarkan pada peserta didik untuk mengetahui dan mengenal basis perbedaan di tengah masyarakat.

Persoalan pendidikan

Guru menjadi tumpuan kita memberikan pemahaman menyeluruh tentang ilmu pengetahuan tanpa sekat. Membangkitkan nilai-nilai keadaban kita sebagai manusia, menerima perbedaan sebagai sunnatullah, dan memperkuat nilai-nilai kebangsaan. Ironisnya guru terjebak pada sikap intoleransi. Bahkan, cenderung beropini radikal. Kecenderungan sikap intoleransi dan opini radikal guru ditemukan dalam survei nasional yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, sekitar 63% guru memiliki opini intoleran pada pemeluk agama lain. Jika dilihat pada intensi aksi intoleran, 29% guru berkeinginan untuk menandatangani petisi menolak kepala dinas pendidikan yang berbeda agama, 34% guru berkeinginan untuk menandatangani petisi menolak pendirian sekolah berbasis agama non-Islam di sekitar tempat tinggalnya. Parahnya, 33% guru setuju untuk menganjurkan orang lain agar ikut berperang mewujudkan negara Islam, 29% guru setuju untuk ikut berjihad di Filipina Selatan, Suriah, atau Irak dalam memperjuangkan berdirinya negara Islam (PPIM: 2018).

Persoalan ini menjadi pekerjaan rumah bagi dunia pendidikan kita. Bagaimana sikap saling menghargai antarpemeluk agama bisa terjalin dengan baik. Tidak ada lagi prasangka buruk atau klaim kebenaran (truth claim) yang kerap mengemuka sehingga kita terbiasa menerima perbedaan itu tanpa saling curiga.

Pada dasarnya pendidikan bertujuan membentuk sikap dan perilaku menuju manusia yang beradab. Konteks beradab dalam pendidikan ialah menciptakan manusia-manusia yang lebih berperhatian pada manusia sebagai makhluk sosial. Namun faktanya, pendidikan Islam belum mampu berkontribusi positif terhadap peningkatan moralitas dan sikap toleransi. Pendidikan agama kerap kali menihilkan perbedaan-perbedaan yang ada, suka meminggirkan wacana yang berbeda dan kaku dalam pandangan keagamaan. Peserta didik selalu diarahkan pada penguasaan teks-teks di dalam buku ajar, dibebankan pada hafalan yang bersifat kognitif, sedangkan persoalan substansi berupa penanaman nilai-nilai agama yang mencerminkan kemanusiaan kerap dipinggirkan.

Hal senada pernah diulas Charlene Tan dalam tulisannya Islamic Education and Indoctrination: The Case in Indonesia (2011). Menurutnya, banyak sekolah agama di Indonesia yang menekankan pendidikannya pada pengajaran yang bersifat indoktrinasi sehingga peserta didik tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan pemahamannya sendiri karena di dalamnya ada unsur paksaan yang menanamkan apa yang terjadi (imparting of what is taught) sehingga pendidikan agama yang diajarkan dirasa kurang berharga dan bermakna, hanya meningkatkan pada pengetahuan keagamaannya tapi tidak berdampak pada nilai-nilai universal yang terkandung dalam agama. Bahkan, pendidikan agama kerap menjadi sumber pada peserta didik memiliki sikap dan perilaku yang eksklusif dan fanatik. Sikap kedua inilah yang akhirnya menjadi malapetaka bagi kita sebagai manusia karena melahirkan sikap intoleransi terhadap perbedaan agama dan sulit menerima perbedaan etnik dan budaya.

Kurang berkembangnya konsep humanis di dalam pendidikan agama disebabkan sedikitnya pengetahuan guru soal agama yang kompleks dan nilai-nilai agama secara universal. Ini juga disebabkan orientasi pendidikan agama lebih menekankan pada pemahaman keagamaan yang dimaknai sebagai ritual dalam bentuk ibadah saja yang berdampak hanya ke individu tetapi tidak secara sosial.

Mengurai benang kusut

Persoalan guru di atas harus diurai satu per satu. Kita harus menemukan solusi jitu untuk meningkatkan mutu guru di Indonesia. Paling tidak ada tiga dimensi yang mesti dilakukan. Pertama, memberikan kesempatan pada semua guru untuk mengalami langsung perbedaan yang terjadi, misalnya guru di Jawa dikirim ke daerah Sumatra atau sebaliknya untuk mengajar.

Kedua, memperkuat lembaga-lembaga yang memproduksi guru, seperti Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), Lembaga Pendidikan Profesi Guru (PPG), Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PPKB) yang memberikan pemahaman kebangsaan dan keislaman sesuai dengan konteks Indonesia, dan ketiga, guru mesti terlibat dalam aksi perdamaian dan mengikuti dialog-dialog antar pemeluk agama.

di Indonesia, secara historis pengakuan terhadap kenyataan keragaman ini, terutama keragaman agama, secara yuridis-formal telah ditunjukkan para founding-fathers dengan memasukkan nilai-nilai pluralisme keagamaan ke dalam rumusan Pancasila (sila pertama) dan Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan landasan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia.

Begitu juga nilai-nilai multikulturalisme yang dituangkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan, secara sosio kultural, Indonesia pernah menjadi prototipe sebuah kehidupan masyarakat pluralistik yang ideal. Para guru mesti menyadari bahayanya sikap intoleran dan radikalisme agama bisa menjerumuskan pada perpecahan bangsa.

Dirga Maulana

Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta

Artikel ini telah dimuat pada kolom Opini, harian Media Indonesia, edisi Senin, 29 Okt 2018. (lrf)