Fuad Jabali: KENAPA RANITA?

Fuad Jabali: KENAPA RANITA?

[caption id="attachment_16435" align="alignright" width="300"] Dari Kiri ke Kanan: Syamsul Hidayat 'Balong' Lubis, Fuad Jabali (Perintis), Agus Syabaruddin (Perintis), Imung Hikmah (Perintis), Lina Sobariyah 'Lapi-lapi' Arifin, Dian Sari 'Blana' Pertiwi, Ikhwan 'Tengkor'. Foto ini diambil pada acara silaturahmi di kediaman Fuad Jabali, Januari 2017.[/caption]

Karena kita semua terlahir dalam batas-batas bahasa, budaya, dan agama yang melingkari kita. Yang membentuk cara berpikir dan berbuat kita. Yang kemudian menghalangi kita untuk berpikir dan berbuat dengan cara yang berbeda. Yang membuat kita tidak menjadi diri kita. Yang membuat kita mati.

Sesungguhnya batas-batas itu harus kita mengerti untuk dilampaui. Untuk menjadikan kita pemilik zaman. Yang mengenal batas-batas kita sendiri karena kita yang menggarisnya. Untuk kemudian dilampaui lagi oleh anak-anak kita.

Ranita adalah semangat sebuah generasi menolak rasa takut menggaris batas. Tanpa henti. Dengan kata-kata dan perbuatan sendiri. Untuk kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan. Sendirian.

Ironisnya ketakutan itulah yang awalnya melahirkan Ranita: Ketakutan Orde Baru terhadap Islam. Ketakutan yang sedemikian besar sehingga memutuskan memusuhi Islam sepenuh hati sampai kemudian menjadikan Islam tumbuh di negeri ini sebagai agama yang penuh ketakutan juga. Pada pertengahan tahun 80-an Rezim Orde Baru masih berjaya mengeluarkan keragaman dari batas-batas kekuasaannya. Dengan Penataran P4 (Pedoman, Pengamalan, dan Penghayatan Pancasila), pemerintah Orde Baru dengan sangat efektif membangun keseragaman dalam memikirkan dan mempraktekan Indonesia. Islam bagi Orde Baru adalah sebuah ancaman bagi proyek besar penyeragaman ini. Argumen-argumen bahwa Islam bisa mengeluarkan pengikutnya dari keindonesiaan masih tertanam di hati dan pemikiran para pengelola rezim. Oleh Karena itulah mereka menekan dan mengontrol ekspresi keislaman masyarakat Muslim terutama di ranah politik. PII (Pelajar Islam Islam Indonesia) yang keras menolak azas Tunggal dipaksa membubarkan diri tahun 1987. Pada tahun 1985 mereka tidak mendapatkan izin Kongres karena tetap memutuskan Islam sebagai azas organisasi menolak Azas Tunggal Pancasila. Pada tahun 1983 Kongres HMI ke-15 di Medan menolak merubah Islam sebagai azas organisasi, tetapi pada tahun 1985 melalui sidang Pleno PB HMI, dengan tekanan politik yang luar biasa, menerima Pansasila sebagai azas organisasi melahirkan kelompok HMI Tandingan yang tetap menjadikan Islam sebagai azas.

Tekanan Orde Baru yang yang demikian kuat ini melahirkan model keislaman tertutup, termasuk di kampus-kampus. Takut dijadikan target amarah Orde Baru, yang bisa berakhir dengan pembubaran organisasi sampai pemenjaraan dan pemecatan, kajian-kajian Islam seringkali diadakan di balik dinding-dinding kultural, teologis dan psikologis yang tebal dan tinggi. Setiap orang asing adalah mata-mata dan ancaman yang membahayakan. Setiap pertanyaan yang tidak dikenal, setiap buku, pemikiran dan metodologi yang lahir di luar tradisi Islam harus dijauhi, bahkan dimusuhi, karena akan merusak pertahanan keimanan dan keislaman kita. Bisa jadi mereka adalah instrumen-instrumen yang dibuat musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Lembaga-lembaga pendidikan Islam, dimana Islam ditransmisikan dari generasi ke generasi, tumbuh menjadi tempat isolasi Islam. Masyarakat Islampun kini masuk ke dalam dirinya sendiri lebih dalam lagi meninggalkan keramaian peradaban. Yang muncul adalah sikap mengagungkan diri yang berkepanjangan yang berdasar pada ketidaktahuan. Mereka sangat yakin bahwa, karena telah sempurna, Islam tidak perlu belajar dari budaya dan masyarakat lain. Islampun dimatikan dalam kesempurnaannya. Kesempurnaan yang digali dari, dan dijustifikasi melalui, kitab-kitab ulama terdahulu. Mereka lupa bahwa kitab-kitab yang mereka baca itu lahir dari hasil pertemuan masyarakat Islam awal dengan kekayaan peradaban dunia waktu itu. Mereka juga lupa untuk merenungkan dengan seksama ajaran al-Qur’an dan hadis yang mendorong masyarakat Muslim untuk menjelajahi darat, laut dan udara, menembus cakrawala, bersilaturahmi dengan keragaman seisi alam semesta menyebarkan Islam sebagai rahmat bagi semua alam dilupakan.

Sebagai lembaga pendidikan negeri, IAIN adalah bagian dari lembaga pelestarian rasa takut kekuasaan Rezim Orde Baru terhadap Islam dan juga lembaga pewarisan Islam penakut, yang ditakut -takuti Rezim Orde Baru. Minggu-mingggu pertama masuk IAIN, kami diajari untuk taat pada negara dan membenci para pengkritiknya. Pada hari-hari kuliah berikutnya mahasiswa dijejali Islam yang telah dimatikan tersebut. Keragaman pemikiran dan penghayatan dikutuk, dimusuhi dengan label-label PKI, Yahudi, murtad, kafir dan zionis. Pertanyaan kritis diberangus Karena merusak batas, buku-buku tetentu dilarang dibaca, orang-orang tertentu dilarang digauli. Kelas kitapun menjadi tempat untuk persilangan sesama (internal-breeding), dimana keseragaman dipuja, dilestarikan dan dirayakan. Usaha Harun Nasution dan Nurcholis Madjid memberi nafas baru pada Islam, mempertanyakan garis-garis Islam, baik di ranah sosial, politik maupun pemikiran, tidak direspon dengan baik oleh komunitas kampus. Keduanyapun menjadi bulan-bulanan masyarakat.

IAIN berhenti menjadi tempat tumbuh untuk negeri seperti yang dicita-citakan Muhammad Hatta salah seorang pendirinya.  Perbatasan dijaga ketat oleh para ulama dan lembaga-lembaga keagamaan. IAIN adalah pos penjaga perbatasan itu dimana para pelintas diminta kembali, beristighfar dan bertaubat. Mahasiswa dilarang kritis Karena menghadapi orang kritis itu melelahkan dan menyebalkan. Proses belajar mengajar tidak lagi untuk mendorong mahasiswa melakoni perjalanan budaya, keilmuan, dan spiritual yang panjang. Puncak keberhasilan adalah menduplikasi kesamaan yang sudah selesai dirumuskan di Baghdad abad ke-9. Kita hanya berhak mengikutinya, tidak memikirkannya. Hanya generasi terdahululah yang boleh berpikir, berdebat dan menyimpulkannya dalam buku-buku mereka. Kita hanyalah para pembaca, bukan para penulis. Kebenaran diberikan, bukan dicari.

Kini bayangan Ibnu Batutah semakin gentayangan menghantui, terus memburu sampai akhirnya kita memutuskan memberinya rumah di Ranita. Keberanian telah menariknya keluar kampung halamannya di Tangier Maroko menuju dunia pada tahun 1325 pada usianya yang ke-20, saat kami menghabiskan usia kami menjadi anak manis di balik tembok tinggi IAIN. Mengembara selama 29 tahun, dia mengunyah keragaman manusia dengan segala kekayaan alam dan budaya yang mengitarinya dan memuntahkannya kembali, bersama muntahan para pendahulunya seperti al-Syafi’i, al-Asy’ari, Ibnu Sina dan al-Khawarijmi membentuk peradaban Islam yang sangat unik dan kaya. Bagi kami dia adalah symbol semangat masyarakat Muslim awal yang sangat nyaman berhadapan dengan keragaman dan mengolahnya menjadi sebuah kekuatan untuk peradaban yang sangat unik.

Di Ranita kami tumbuh lebih sehat. Pada saat guru-guru kami, atas atas dasar kasih sayang mereka yang luar biasa, mematikan diri kami agar terhindar dari Rezim Orde Baru dan rayuan syetan, Ranita membawa kami ke alam semesta berbicara dengan hutan, bebatuan dan bunga. Bersentuhan dengan kebenaran murni sebelum diubah menjadi kata-kata oleh para ilmuan. Kami bisa lari berulang-ulang dari kekuasaan buku yang selama ini dijejalkan ke dalam otak kita yang sudah jenuh, untuk kembali memaknai buku dengan cara yang berbeda. Ranita juga tidak mengajari kami memusuhi guru kami dan membenci buku. Mereka adalah tonggak peradaban yang membuat kita tegak. Kami hanya menolak untuk diperkuasa. Kami ingin menghirup udara segar, bersentuhan dengan alam lebih banyak agar bisa melihat Tuhan lebih baik.

Ranita itu ide gede komunitas Muslim Mekah dan Madinah untuk menerobos batas-batas geografis dan kultural. Semangat ini diwarisi dengan baik oleh generasi Muslim sesudahnya yang membawa pesan-pesan dan semangat kenabian ke berbagai wilyah di penjuru dunia, termasuk Indonesia. Semangat inilah yang berusaha kita hidupi dalam Ranita. Semua anggota Ranita harus terlibat dalam pemaknaan yang terus menerus sehingga setiap orang, setiap angkatan, menemukan makna dirinya yang unik melalui Ranita. Hanya dengan cara inilah Ranita akan terus tumbuh. Kegagalan memberi makna baru pada Ranita akan berakhir dengan kematiannya. Kematian ide-ide dan semangat kenabian yang diwadahinya. Kalaupun dipertahankan, ia akan menjadi berhala yang dipuja tetapi tidak punya makna.

Dalam pemaknaan Ranita, setiap individu harus berani menghadirkan keunikan masing-masing dan mendialogkannya dengan kekayaan dan keragaman dunia. Kekuatan kenunikan diri akan menjadi kunci agar tidak musnah dimakan keramian dunia. Ranita adalah tempat membangun kekuatan diri untuk kemudian dijadikan bagian dari kekayaan dunia. Ketika Imung datang dengan keunikannya, kita tidak memberangusnya atau memaksanya luruh dalam kedirian kita. Kita beri ruang agar dia munculkan kualitas dirinya sepotong-sepotong, lalu kita dengan sabar dan penuh perhatian meraihnya dan merayakannya. Kini potongan diri Imung itu ada juga dalam diri kita masing-masing. Juga sebaliknya. Kita tumbuh lebih kaya. Kekayaan yang kemudia kita sumbangkan untuk dunia.

Pada tahun 1980-an pecinta alam tidak identik dengan IAIN. IAIN adalah fiqh, yang mengajari kita untuk membersihkan diri dalam bab Toharoh. Tapi kenapa kita tidak diajari untk membersihkan alam padahal kotoran di alam lebih banyak daripada kotoran yang ada di tubuh kita? Padahal kita tahu kitalah yang menyebabkan kotoran alam itu ada? Air, udara dan tanah yang dikotori kerakusan dan kebodohan kita? Kerasukan dan kebodohan yang sama yang memberondong bumi dan ide dan spiritualitas sampah? Kelompok pencinta alam semestinya juga lahir dari rahim Islam. Karena ajaran islam tentang pensucian alam, baik fisik maupun non-fisik, luar biasa kuatnya dan kita jadikan ini sebagai bagian dari kekayaan ajaran dunia.  Juga jangan lupa kebalikannya: kita jadikan kekuatan dunia menjadi kekuatan beberislaman kita. Ranita adalah hubungan melingkar: diri-komunitas-dunia-diri-komunitas. Siklus kesempurnaan yang tanpa akhir karena kesempurnaannya.

Kalaupun naik gunung, kita tidak berhenti di gunung, tetapi di sistim nilai universal dunia yang ditegaskan Nabi. Inilah titik hubung dan juga titik beda antara kita dengan komunitas gunung lain. Gunung sebagai fisik kita berbeda. Gunung sebagai gagasan dan sistim nilai kita bertemu. Oleh Karena itu naik gunung bukanlah kegiatan yang jauh dari agama tetapi justru dia adalah bagian dari keberagaman kita. Dia adalah ibadah. Di Ranita ide dan amal saleh menyatu dalam keragaman kekayaan alam semesta. Ranita itulah.

“Gue waktu itu ikut Walhi mengerjakan proyek penelitian hutan mangrove di pantai utara pulau jawa. Gue cewe sendiri dari UIN. Yang lain kan dari IPB dan dari kampus lainnya dan cowo semua. Ada lima atau tujuh orang gitu. Tenda Cuma satu. Mereka tidur di dalam semua. Sebenarnya gue juga pengen tidur di dalam, tapi ngejaga gue dari UIN nih, takut-takut gue jalanin juga tidur di luar.”

Imung sayang, itu kelihatannya simpel. Tapi kamu sesungguhnya sedang menyampaikan satu pesan yang maha penting. Nilai-nilai itulah memang yang harus kita hidupi sampai mati. Nilai-nilai yang menghubungkan Ranita dengan ketinggian langit memayungi keluasan bumi.

Ciputat, 18 Maret 2017

Untuk 30 tahun Ranita. (mf)