Fordipas PTKIN Usul Pascasarjana Jadi Model Fakultas

Fordipas PTKIN Usul Pascasarjana Jadi Model Fakultas

Auditorium SPs, BERITA UIN Online – Forum Direktur Pascasarjana (Fordipas) Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) se-Indonesia mengusulkan agar struktur kelembagaan program pascasarjana di seluruh PTKIN diubah menjadi model fakultas. Selain secara kelembagaan, pimpinan dan sistem administrasi pascasarjana juga harus memiliki kesetaraan seperti fakultas.

Demikian salah satu rekomendasi yang dihasilkan dari Workshop Internasionalisasi dan Tata Kelola Pascasarjana PTKIN yang digelar di Auditorium Sekolah Pascsarjana (SPs) UIN Jakarta, Rabu (18/7/2018). Workshop Fordipas diikuti oleh sekitar 50 direktur pascasarjana perwakilan dari 56 PTKIN di seluruh Indonesia.

Dalam keterangannya kepada BERITA UIN Online, Ketua Fordipas Ahmad Rofiq mengatakan, perubahan struktur kelembagaan dan kesetaraan pimpinan seperti dekan di fakultas harus dilakukan. Hal itu untuk memberikan keluwesan bagi pascasarjana dalam mengembangkan programnya. Jika masih seperti sekarang, sulit bagi pascasarjana untuk menginternasionalisasikan dirinya di masa mendatang.

“Karena itu, Fordipas mengusulkan kepada Kementerian Agama bahwa perlu ada perubahan kebijakan baru terhadap pengelolaan pascasarjana seperti model fakultas. Regulasinya entah melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) atau Keputusan Menteri Agama (KMA),” katanya.

Menurut Rofiq, tata kelola pascasarjana di hampir semua PTKIN hingga kini belum optimal sebagaimana diharapkan. Selain masih ada yang dikelola oleh hanya satu atau dua pimpinan, nama atau nomenklaturnya pun tidak seragam. Misalnya ada sekolah pascasarjana, ada juga program pascasarjana.

“Padahal, dengan jumlah mahasiswa di pascasarjana yang banyak, tentu tak cukup hanya dikelola oleh satu atau dua orang pimpinan saja,” jelas Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Semarang itu.

Idealnya, kata Rofiq, pengelolaan pascasarjana itu harus seperti model fakultas, misalnya ada dekan, wakil dekan, kepala bagian, dan beberapa kepala sub bagian. Lagi pula, lanjutnya, penetapan dekan fakultas itu SK-nya menggunakan atas nama menteri, sedangkan direktur sekolah atau program pascasarjana menggunakan keputusan rektor.

“Karena perbedaan penetapan pimpinan tersebut, menjadi berbeda pula sumber anggarannya,” jelasnya.

Secara terpisah, Direktur SPs UIN Jakarta Masykuri Abdillah juga menyatakan hal serupa. Saat ini Sekolah Pascasarjana yang dipimpinnya masih mengalami kelemahan, baik secara struktural kelembagaan maupun kurikulum.

Sebagai contoh, secara kelembagaan, di satu sisi penyelenggaraan pascasarjana di PTKIN harus mengikuti peraturan dan kebijakan yang ada, tetapi di sisi lain keilmuan monodisiplin harus berada di fakultas. Padahal, di berbagai negara, sekolah pascasarjana itu menjadi leading sector. Artinya, meskipun secara terpisah pembukaan program pascasarjana monodisiplin berada di fakultas, tetapi ada kerja sama dan komunikasi dengan sekolah pascasarjana.

“Tetapi faktanya sekarang tidak. Masing-masing ya jalan sendiri-sendiri saja,” keluhnya.

Karena itu, Masykuri lalu mengusulkan bahwa di masa mendatang pascasarjana harus tersentralisasi, baik secara administratif maupun muatan kurikulum-akademiknya. Kecuali jika perguruan tinggi tersebut sudah berstatus Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), boleh diberi kesempatan untuk menyelenggarakan pascasarjana di fakultas.

Keresahan lain yang hingga kini masih dialami pascasarjana di PTKIN mengenai status homebase dosen. Menurut Masykuri, homebase dosen sebaiknya tetap di fakultas (program S1) tapi diberi kesempatan juga mengajar di pascasarjana. Namun, yang terjadi sekarang justru terkesan seperti ada “pengotakan” homebase dosen, yaitu ada di pascasarjana dan ada juga di fakultas.

Workshop Fordipas PTKIN se-Indonesia diselenggarakan selama dua hari pada 17-18 Juli 2018. Seusai acara, para peserta mengadakan kunjungan ke kantor Kementerian Agama di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, untuk bertemu Menteri Agama serta mengajukan rekomendasi hasil workshop. (ns)