Fantasi Pemilu

Fantasi Pemilu

Oleh: Gun Gun Heryanto

PROSESI menuju Pemilu legislatif 9 April dan Pilpres bulan Juli mendatang, mempertontonkan drama politik kian rumit, menarik sekaligus memiliki plot cerita yang tak lagi datar. Banyak kejutan politik dari peran-peran yang dimainkan para elit. Manajemen kehormatan dibangun di atas fondasi citra dan loby politik dengan mengembangakan jejaring (political network), mulai dari lingkaran elit hingga menembus jauh ke simpul-simpul suara akar rumput. Kontestasi tak cukup hanya mengandalkan terpaan media (media exposure) yang dominan di saat kampanye seperti berlangsung intensif sekarang ini. Melainkan, juga menyamai berbagai tema fantasi di lingkup kelompok pemilih hingga mereka merasakan dan memegang erat semangat kekitaan dengan sang kandidat baik politisi maupun partai politik. Inilah momentum permainan peran yang berorientasi akhir pada pengakuan akan jati diri sang kandidat untuk menjadi bintang sekaligus pemenang.

Konsolidasi Kekuatan

Fenomena permainan peran di musim kampanye bergulir kian kencang sejak Jusuf Kalla (JK) dan Partai Golkar melakukan serangkaian manuver. Sebuah pola bermain drama yang mencoba memalingkan perhatian khalayak pada sosok JK dan Partai Beringin sebagai representasi “kekuatan penting” yang siap menggandeng atau digandeng oleh kekuatan politik mana pun. Kita masih ingat di Pemilu 1999, Golkar babak belur di serang habis-habisan oleh berbagai pihak. Tak lama berselang, Golkar pun kembali ke jalur kemenangan di Pemilu 2004 dan bisa jadi akan kian kokoh di Pemilu kali ini. Terutama, jika pola bermain “dari kaki ke kaki “yang diterapkan JK tak mampu dibaca dan dihentikan oleh kekuatan politik lain.

Sodokan JK menjadi magnet bagi pergerakan kekuatan lain yang akan bertarung. JK menyatakan kesiapannya menjadi RI-1 dan secara ekspresif melakukan safari politik ke berbagai simpul kekuatan potensial di Pemilu 2009 seperti PKS dan PDIP. Rangkaian proses yang cukup mengejutkan, karena sebelumnya terkesan JK cukup nyaman berduet dengan SBY. Praktis setelah manuver JK inilah, berbagai penjajagan koalisi mencuat ke hadapan publik. Perhatian kita terutama tertuju ke Partai Demokrat yang intesif menjajagi peruntungan koalisi dengan PAN, PBB dan sejumlah kekuatan politik lainnya. Inilah contoh menarik dan aktual dari sebuah peran di panggung depan (front stage) pentas drama politik kita. Sebuah ranah bermain peran yang menuntut aktor melakukan serangkaian tindakan yang telah diskenariokan. Artinya, tindakan yang telah diatur guna memalingkan perhatian khalayak akan peran yang sedang dipentaskan. Berbeda dengan back stage yang memungkinkan orang bebas dan semaunya berbuat, panggung depan menuntut konsistensi dan penghayatan yang terukur serta matang.
Apakah JK sedang menjajagi diri menjadi pemeran utama yang diskenariokan Golkar menuju RI-1?

Jawabannya tentu dapat kita amati dari keseriusan JK dalam mengolah jejaring politik saat ini dan terutama pasca Pemilu legislatif. Namun langkah politik JK di front stage menjelang Pemilu legilatif ini bisa juga kita tafsirkan berbeda. Artinya, ada skenario lain yang secara sengaja dimunculkan menjelang Pemilu Legislatif yakni konsolidasi kekuatan partai dalam pemenangan awal yang akan menentukan proses Pilpres. Faktanya, partai besar seperti Golkar, kemarin-kemarin seolah kurang bergairah karena tak ada tema fantasi dari mereka yang bernaung di Partai Beringin untuk menyatu dalam perjuangan bersama memenangi Pemilu. Alasannya sudah tentu karena sang Ketua Umum mereka belum bersedia maju ke gelanggang pertarungan. Ritme kerja mesin partai terutama di daerah, tidak bergerak efektif karena tidak adanya simpul nasional yang mengikat akselarasi Partai Golkar. Efek domino dari kesiapan JK sudah mulai nampak. Konsolidasi Golkar di daerah kian bergairah karena tema retoris “JK For President” mulai menjadi simbol kekuatan kelompok yang sebelumnya cair.

Penyatuan Simbol

Pemilu adalah momentum. Siapa pun yang bisa mengambil dan memanfaatkan momentum dapat memperoleh keuntungan dari interaksi proses yang ada di dalamnya. Kita ingat, karena tak mampu memanfaatkan momentum agregasi politik melalui jejaring yang ada di Pemilu 2004, Megawati harus rela tumbang. Yang lebih menyakitkan lagi, Megawati dikalahkan SBY mantan anak buahnya yang berasal dari Partai Demokrat. Partai pendatang baru dengan perolehan suara tak terlampau signifikan.
Kemenangan SBY sekali lagi membuktikan betapa pentingnya jejaring politik dalam kontestasi. Sepertinya kini kubu Mega lebih siap untuk menjadi partai “gaul”. Berbagai penjajagan dirintis dan tidak serta merta diputuskan secara prematur. Loby demi loby dari satu pertemuan ke pertemuan lain dengan beragam tokoh nasional seolah masih dalam proses meracik hingga nanti menemukan formula yang tepat. Di Pemilu 2004, Mega dengan cepat dan sangat percaya diri meminang Hasyim Muzadi. Bisa jadi kalkulasi politik waktu itu, PDIP yang memosisikan diri sebagai representasi arus utama kekuatan nasionalis, menganggap cukup bergandengan tangan dengan kekuatan basis masa tradisional Islam.

Penyatuan simbolisnya dengan cara menggandeng Ketua Umum PBNU karena diharapkan dapat menjangkau jutaan warga NU dan komunitas muslim lainnya. Sebuah kalkulasi yang tidak tepat, karena ternyata proses konvergensi simboliknya tidak tuntas, terutama di internal kelompok masing-masing pendukung. Hasyim Muzadi tak secara utuh diakui sebagai simbol kekuatan orang-orang NU, karena harus berbagi pendukung dengan Salahudin Wahid dan pengikut Gus Dur yang tidak dalam posisi harmonis dengan Hasyim Muzadi. Sementara di kelompok nasionalis pun, Mega tak lagi utuh menjadi simbol wong cilik sebagai basis kekuatan nyata perjuangan politik kaum nasionalis. Berbagai kebijakan Mega saat memerintah, dianggap tak berpihak pada masyarakat lemah.

Politik Kekitaan

Dalam Prosesi Pemilu kelompok-kelompok politik mau tidak mau harus semakin intensif membangun tema-teman fantasi yang dapat mengingkat kekitaan dalam kelompok politik mereka. Saat kondisi masyarakat tak banyak berubah dari satu kekuasaan ke kekuasaan berikutnya, dari satu Pemilu ke Pemilu yang lain, tentu akan banyak orang yang tak percaya lagi dengan mesin partai. Insting untuk bisa hidup sejahtera dan menikmati kondisi ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain secara baik menggerakan manusia untuk merengkuh keinginanannya itu. Jika tidak terpenuhi, maka biasanya orang akan mencoba menghindar dari ketidaberdayaannya itu dan menciptakan berbagai tema fantasi.

Menurut Ernest G Bormann dalam buku Communication and Organizations: an intepretive approach, konvergensi simbol akan muncul salah satunya melalui visi retorik dan tema fantasi. Visi retorik menekankan pada pandangan berbagi, bagaimana sesuatu terjadi dan apakah mungkin terjadi? Sementara tema fantasi berupa asumsi pengetahuan kelompok yang didasarkan pada penciptaan strukturasi penguasaan realitas. Jika partai atau kandidat mau menang, maka jawabanya tentu pada bagaimana mereka mampu meyakinkan adanya kebersamaan pandangan dengan kelompok-kelompok pemilih dan membangun mimpi bersama. Fantasi-fantasi itulah yang dalam praktiknya dapat memenangkan para politisi dan Partai Politik dalam rivalitas Pemilu.

Koalisi secara substantif memang sebuah mekanisme politik kekitaan. Kata kunci retorika seperti tetangga dekat, kawan yang memiliki visi sejalan, sama-sama kekuatan utama dalam perubahan dan lain-lain merupakan simbol penyatuan. Namun harus diingat dalam Pemilu terbuka seperti yang kita jalani nanti, maka konvergensi simbolik dengan pemilihlah yang jauh lebih berpotensi besar memenangkan kandidat baik Partai Politik maupun Capres dan Cawapres. Bukan sebuah koalisi elitis yang dapat mereduksi harapan-harapan konstituennya.*

Tulisan ini pernah dimuat di Surabaya Post, 6 April 2009

Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Politik Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute.