Etika Suami Isteri di Bulan Suci

Etika Suami Isteri di Bulan Suci

Dr. K.H. Syamsul Yakin MA: Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Allah SWT berfirman, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. al-Baqarah/2: 187). Ayat ini diutarakan dengan sangat jelas sehingga dengan mudah dapat dipahami. Bagi orang yang berpuasa ayat ini tentu menjadi kabar gembira.

Selain itu, menurut Ahmad Mushthafa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi, ayat ini berisi pengajaran Allah SWT kepada kita tentang cara mengungkapkan kata-kata yang menunjukkan arti bersetubuh bagi suami-isteri. Yakni, dengan cara halus dan sindiran seperti pada ayat lainnya, “…Kamu telah menyentuh perempuan.” (QS. al-Nisa/4: 43).

Begitu pula potongan ayat, “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”. Menurut Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir Munir, ungkapan ini adalah kinayah (konotatif) tentang berpelukannya suami-isteri dan ungkapan bahwa masing-masing memiliki kebutuhan  kepada pasangannya.

Ayat-ayat yang mengandung kinayah di dalam Alquran  sangat banyak dan ini menjadi kajian tersendiri yang sangat menarik. Menurut Wahbah al-Zuhaili, dalam Alquran  ada  tujuh puluh satu ayat kinayah. Bagi Muhammad Ali al-Shabuni dalam Shafwah al-Tafasir, ayat-ayat kinayah dalam Alquran  ada enam puluh empat saja.

Secara sosio-historis, menurut pengarang Tafsir Jalalain, ayat di atas turun untuk menghapus hukum yang berlaku di masa permulaan Islam, seperti pengharaman mencampuri isteri, termasuk diharamkan makan dan minum setelah shalat Isya. Hal ini menandakan bahwa hukum puasa secara tegas berlaku tahap demi tahap.

Allah SWT melanjutkan, “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. al-Baqarah/2: 187). Hukum ini tetap berlaku secara permanen hingga sekarang tanpa ada perubahan.

Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhiilal al-Qur’an, ketidakmampuan menahan nafsu yang diceritakan kepada mereka ini tergambar di dalam benak yang tertahan dan terpendam. Bahkan kalau kita membaca sejarah yurisprudensi ayat ini, Umar bin Khattab pernah melakukannya. Ia lalu menangis dan bergegas mendatangi Nabi SAW.

Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir, yang dimaksud dengan “Ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu” adalah “Carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu  dalam pernikahan yaitu memiliki anak dan menghindari diri dari perzinahan. Kamu tidak boleh menyetubuhi isteri kamu hanya karena nafsu belaka”.

Dengan kata lain, tulis Sayyid Quthb, hubungan suami isteri seharusnya dilakukan untuk tujuan yang lebih besar dari sekadar kelezatan. Diharapkan, hubungan ini jadi bersih, lembut,dan bermartabat. Bahkan Syaikh Nawawi Banten mengutip hadits Nabi SAW yang mengharuskan membaca “Bismillah” terlebih dahulu.

Inilah hadits Nabi SAW yang dikutip Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir itu, “Barangsiapa yang mengucapkan “Bismillah” pada saat hendak bersetubuh, lalu datanglah anak darinya, maka baginya kebaikan-kebaikan sebanyak bilangan nafas anak itu dan bilangan anak cucunya sampai hari kiamat”. Semoga kita makin mengerti. Aamiin

Terbit di https://republika.co.id/berita/qag5hu374/etika-suami-isteri-di-bulan-suci (zm/sam)