Empat Pilar

Empat Pilar

Empat pilar: Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi pembicaraan publik belakangan ini. Banyak kalangan tersentak ketika aksi-aksi terorisme kembali marak, yang memperlihatkan sel-sel terorisme masih tetap bergerak di sekitar kita. Juga ada kehebohan tentang mahasiswa-mahasiswi dan pelajar yang terekrut NII; sebagian sudah kembali, dan sebagian lagi masih menghilang tanpa diketahui rimbanya.

Baik mereka yang terlibat dalam sel-sel terorisme maupun yang tercuci otak oleh jaringan NII jelas menganut ideologi dan agenda politik yang bertentangan dengan empat pilar kebangsaan-kenegaraan Indonesia. Untuk mencapai agenda-agenda itu, mereka jelas terlihat tidak segan-segan melakukan berbagai bentuk aksi pelanggaran hukum dan bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti terorisme atau berbagai bentuk tindakan kekerasan lain.

Harus diakui, tidak banyak pembicaraan di kalangan publik tentang keempat pilar itu sepanjang masa demokrasi dan kebebasan sejak 1998. Jika ada, diskusi publik tentang keempat pilar itu, maka ia hilang-hilang timbul untuk kemudian seolah lenyap tanpa bekas. Tidak ada upaya tindak lanjut sistematis dari pemerintah khususnya untuk merevitalisasi, menyosialisasikan, dan menanamkan kembali keempat pilar itu dalam kehidupan kebangsaan-kenegaraan. Akibatnya, sepanjang reformasi politik yang bermula pada 1998, negara-bangsa Indonesia hampir tidak pernah putus dipenuhi gagasan, wacana, gerakan, dan aksi yang secara diametral bertolak belakang dengan keempat pilar itu.

Semua orang sadar, lembaga pendidikan merupakan lokus terpenting dalam penanaman dan penguatan semangat kebangsaan keindonesiaan tersebut. Seperti sering ditandaskan presiden pertama RI, Bung Karno, lembaga pendidikan adalah lokus paling utama dalam nation and character building.

Tetapi, kebebasan membuat nyaris lenyapnya upaya transmisi pengetahuan dan praksis menyangkut keempat pilar itu dalam kehidupan kebangsaan-kenegaraan. Pancasila, yang pada masa-masa sebelumnya merupakan mata kuliah/pelajaran wajib, sejak saat itu hampir hilang dalam kurikulum lembaga-lembaga pendidikan sejak dari SD sampai perguruan tinggi.

Keadaannya bertambah parah karena para guru dan dosen yang mulai bertugas sejak menjelang akhir 1990-an tidak lagi mendapatkan penguatan paham kebangsaan-keindonesiaan tersebut. Jika pun mereka mendapatkannya, itu hanya selintas ketika mereka yang bakal menjadi guru dan dosen PNS menempuh latihan prajabatan. Setelah itu, mereka hampir tidak lagi bersentuhan dengan keempat pilar. Karena itu, mereka juga dengan mudah tergoda dan tertarik pada paham dan ideologi lain, yang bukan tidak mungkin mereka tularkan kepada para pelajar dan mahasiswa mereka.

Akibatnya mudah bisa diduga. Para mahasiswa dan pelajar yang tidak lagi menerima materi tentang keempat pilar itu hampir tidak lagi mengetahui prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Keempat pilar nyaris lenyap dari kesadaran mereka. Jika mereka tidak mengetahui dan menyadari keempat pilar itu, bagaimana mereka bisa diharapkan memiliki komitmen ideologis kepada negara-bangsa Indonesia ini?

Sebaliknya, kondisi itu membuat mereka sangat rentan, rawan, dan mudah tergelincir menjadi tertarik kepada paham dan ideologi lain yang bukan hanya bertentangan dengan keempat pilar itu. Dengan iklim dan suasana kebebasan ditambah akses tanpa batas kepada informasi instan di dunia maya, berbagai macam ideologi yang bertentangan dengan keempat pilar itu dengan mudah menyebar ke berbagai lapisan masyarakat. Sekali mereka terpengaruh dan terekrut ke dalam ideologi-khususnya yang radikal-mereka hampir secara instan pula terdorong melakukan aksi-aksi kekerasan dan terorisme. Keadaan ini jika tidak mampu diatasi pemerintah, Indonesia dapat menjadi negara gagal, dan bahkan terjerumus ke dalam disintegrasi.

Karena itu, sudah saatnya pemerintah mengambil langkah-langkah konkret ke arah revitalisasi dan sosialisasi kembali keempat pilar kebangsaaan-kenegaraan itu melalui berbagai kelembagaan, baik pemerintah maupun masyarakat luas. Tanpa langkah dan usaha yang konkret, jelas pengikisan kesadaran tentang kebangsaan-keindonesiaan terus terkikis.

Reintroduksi pengetahuan dan praksis tentang keempat pilar itu dalam kurikulum-sejak dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi-karena itu sudah saatnya pula perlu segera dilaksanakan. Penangggung jawab pendidikan-dalam hal ini Kementerian Pendidikan-hendaknya segera mengambil kebijakan afirmatif tentang hal ini. Satu hal jelas, secara substantif maupun metodologis, sosialisasi keempat pilar melalui lembaga pendidikan memerlukan kontekstualisasi sehingga pengalaman buruk yang terjadi pada masa Orde Baru dengan Penataran P4-nya tidak terulang kembali.

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tulisan dimuat di Harian Republika, 12 Mei 2011.