Dunia Musik dan Dunia Politik

Dunia Musik dan Dunia Politik

Kehadiran musik dan nyanyian dalam kehidupan ummat manusia, telah memberikan makna tersendiri. Dunia musik telah menjadi nafas indahnya sebuah kebudayaan dan peradaban. Sehingga tidak berlebihan jika kemudian disimpulkan musik sudah menjadi salah satu kebutuhan manusia seperti halnya makanan dan pakaian.

Karena telah menjadi kebutuhan, maka dunia musik kemudian juga memiliki nilai. Nilai-nilai dalam musik bisa diklasifikasi menjadi: Pertama, berdasarkan kategori pendengarnya, musik dibagi menjadi dua kelas yakni musik serius dan musik populer. Meski klasifikasi ini terus mengalami perdebatan (bdk. Adorno, 1990), namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa kelas-kelas sosiologis pendengar musik ini masih saja ada. Sebagai contoh, Jazz dan Klasik dikategorikan sebagai musik serius. Sedangkan Dangdut, Pop, Rock dikategorikan sebagai musik populer. Musik serius dan musik populer dianggap merepresentasikan kelas penganut/ penikmatnya.

Kedua, nilai intrinsik dari musik itu sendiri. Pada klasifikasi ini bisa dilihat pada penilaian dari kalangan musisi sendiri yang menilai ada musik yang kacangan, murahan, berat, dan sebagainya. Ketiga, dilihat dari arenanya, musik juga bisa diklasifikasi menjadi beberapa kategori: musik indor dan musik outdor. Musik indor adalah musik yang umumnya bisa dinikmati dengan optimal jika pendengarnya ada dalam ruangan tertutup. Sehingga seluruh suara dan semangat musikalitas musisi bisa tercerap pada dirinya. Sedangkan musik outdor adalah tipikal musik yang—baik dari sisi lirik maupun iramanya—bisa dinikmati dengan baik pada suasana yang terbuka.

Sebagai salah satu produk kesenian yang sudah menjadi kebutuhan, musik juga memiliki daya tarik tersendiri bagi dunia lain yang juga sama hiruk pikuknya, yakni politik. Sebagai contoh, sebuah riset yang dilakukan oleh lembaga yang dipimpin oleh Yudi latif menunjukkan bahwa ada hubungan—meski dengan gradasi relasi yang belum tegas—antara penikmat musik tertentu dengan pilihan politiknya.

Kesadaran ada hubungan itu memang sudah lama terjadi. Sebagai contoh sederhana musik sejak lama sudah menjadi pengisi kampanye kandidat/ pelaku politik. Pada setiap pertarungan memperebutkan posisi kursi presiden musik bukan hanya pemanis, tetapi sudah menjadi medium unjuk kebolehan. Sebagai contoh sejak tahun 2004, calon presiden waktu itu (SBY dan Wiranto) menyempatkan hadir pada acara Akademi Fantasi Indosiar (AFI) dan unjuk kebolehan di panggung. Begitu juga pada era Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Musisi tampil dalam setiap gelaran kampanye.

Begitu juga di panggung kampanye, musik dan nyanyian justru sering ditampilkan juga. Entah sebagai hiburan bagi pendengar(pemilih)nya, atau hanya sebagai magnet agar kampanye bisa mengundang massa yang banyak. Akan tetapi yang pasti, dalam konteks Indonesia, panggung politik tidak selalu diisi oleh pemaparan visi, misi, dan program yang serius, namun juga hal-hal yang sifatnya menghibur seperti musik dan nyanyian.

Lebih jauh, musik dan nyanyian juga bisa menjadikan pelakunya (lebih banyak penyanyi) dikenal sebagai pesohor (selebritis) dan bahkan dilabeli sebagai publik figur. Popularitas yang melekat kepadanya menyebabkan mereka juga menjadi dikenal publik dan mendadak menjadi “tokoh”. Di Indonesia, kepopuleran para pesohor ini kemudian menjadi nilai tersendiri bagi gerakan atau tujuan politik. Sehingga beberapa partai menjadikan para pesohor ini sebagai kandidat subyek politik.

Berbeda dengan musiknya sendiri, dalam konteks politik, musik di Indonesia persis seperti yang dikatakan Adorno bahwa tidak ada kelas-kelas dalam bermusik. Sebab substansi musik dalam konteks politik bukan lagi nilai instrinsiknya, namun justru makna sosio-psikologisnya. Sebagai contoh seorang kandidat akan menghadirkan penyanyi atau nyanyian genre dangdut jika ia ada di komunitas dangdut. Hal ini dilakukan agar ia mendapatkan simpati dari komunitas tersebut dan meningkatkan elektabilitasnya.

Meski belum ada penjelasan yang lebih dalam mengenai apakah dengan mampu bernyanyi seorang calon bisa merebut hati pemilih, namun yang jelas, musik dalam khazanah politik Indonesia masih belum bisa dilepaskan. Entah itu sebagai penarik massa, penghibur, atau instrumen pencipta seseorang agar menjadi terkenal sehingga bisa maju sebagai kandidat subyek politik.

Di era pemilihan kepala daerah seperti sekarang, sejatinya panggung musik akan menjadi salah satu arena tempat para kandidat memasarkan idenya.

Pertanyaan selanjutnya adalah, cukupkah modal dikenal sebagai penyanyi, musisi dan selebritis itu untuk masuk ke kancah politik? Tentu saja tidak. Terlebih lagi jika modal tersebut hanya satu-satunya. Dalam dinamika masyarakat politik, mengandalkan seorang politisi yang memiliki kemampuan satu sektor saja jelas tidak akan cukup. Ia harus belajar lebih banyak lagi mengenai banyak hal. Namun demikian, di Indonesia, seorang pesohor mungkin memiliki modal awal yang baik untuk menang ketika bertarung di panggung politik yang pemainnya sangat banyak. Tinggal kembali kepada kita sebagai pemilih, mau memosisikan pesohor tersebut tetap sebagai penyanyi atau musisi saja, atau mau ‘membelajarkan’ pada arena baru yang disebut sebagai politik. Terserah Anda.

Dr Tantan Hermansah SAg MSi, Dosen Sosiologi Perkotaan dan Ketua Program Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Ilmu Dakwan dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Harian Rakyat Merdeka, 16 Agustus 2020. (mf)