DILEMA UTANG SAAT PANDEMI

DILEMA UTANG SAAT PANDEMI

oleh: Ali Rama Dosen Fakultas Ekonomi dan Ekonomi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta sebagai epicentrum penyebaran covid-19 di tanah air telah memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mengurangi penyebaran virus corona. Konsekuensinya, pemerintah pusat dan daerah mengalokasikan bantuan sosial sebesar Rp 4,57 triliun kepada 2,6 juta warga miskin Jakarta yang mengalami kesulitan ekonomi sebagai dampak atas kebijakan PSBB. Presiden Joko Widodo juga sudah mengumumkan adanya alokasi paket stimulus ekonomi senilai Rp 405 triliun untuk penanganan virus corona. Berkurangnya aktivitas ekonomi akibat kebijakan pencegahan penyebaran covid-19 ini tentunya menjadi pukulan berat bagi sektor rumah tangga terutama bagi mereka yang bekerja di sektor informal yang jumlahnya mecapai sekitar 57% dari total tenaga kerja. Pekerja informal yang umumnya diisi oleh pekerja mandiri dan usaha kecil-menengah tidak dapat melanjutkan usahanya dengan cara “work from home” seperti mereka yang bekerja di sektor formal. Ketidakstabilan pendapatan dan rendahnya tingkat tabungan menjadi faktor utama sektor ini rentan krisis. Gangguan pendapatan berefek langsung pada tingkat konsumsi dan kesejahteraan. Kebijakan pemerintah untuk menunda cicilan selama setahun dan keringanan biaya listrik bagi kelompok masyarakat tertentu disambut gegap gempita oleh masyarakat dan kalangan usaha. Ini potret nyata bahwa struktur ekonomi masyarakat adalah ekonomi berbasis utang. Utang yang beredar di masyarakat tidak lagi semata untuk menopang sektor usaha dan produksi tetapi sudah mulai bergeser sebagai sumber pembiayaan konsumsi rumah tangga. Susahnya mencari perkerjaan, daya beli yang menurun akibat kenaikan harga-harga bahan pokok, merebaknya fasilitas utang online yang sangat mudah dan berkembangnya perilaku konsumerisme di tengah masyarakat menjadi faktor utama merebaknya utang di tengah masyarakat. Utang menjadi penopang utama untuk menjaga stabilitas konsumsi dan kesejahteraan keluarga. Masyarakat sibuk mondar-mandir dari penyedia utang ke penyedia utang lainnya, atau dengan kata lain “gali lobang tutup lobang”. Utang rumah tangga yang semakin besar bisa menjadi ancaman serius bagi ketahanan rumah tangga dalam jangka panjang. Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa kredit sektor rumah tangga mencapai sekitar 23% dari total kredit perbankan nasional pada tahun 2019, atau sekitar Rp 1.319 trilliun tumbuh sekitar 6,5 persen (yoy) dari tahun sebelumnya. Utang sektor rumah tangga ini sekitar 8,3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Rumah tangga sebagai sektor terkecil dalam perekonomian merupakan faktor penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan ekonomi. Sejumlah studi empiris menunjukkan bahwa krisis keuangan banyak bermula dari krisis utang sektor rumah tangga. Krisis Asia pada tahun 1997/8 didahului oleh tingkat utang sektor rumah tangga yang signifikan. Begitupula dengan krisis subrime mortgage di Amerika Serikat tahun 2008 yang banyak meluluhlantakkan perusahaan-perusahaan raksasa berskala global diawali oleh kegagalan sektor rumah tangga untuk membayar kredit rumah (mortgage). Kebijakan memberikan “relaksasi” kredit bagi masyarakat dan sektor usaha di tengah tekanan ekonomi akibat virus corona merupakan kebijkan kuratif yang bersifat jangka pendek untuk mengamankan likuiditas masyarakat di tengah pandemik. Akar masalahnya tidak tercabut, yaitu utang berbasis bunga yang menjamur di sektor rumah tangga dan ekonomi secara keseluruhan. Sektor pemerintah sendiri tidak kalah gesitnya dalam menciptakan uang melalui skema utang. Per Januari 2020, total utang pemerintah mencapai Rp 4.818 triliun, meningkat sekitar 7% dari tahun sebelumnya. Jika dirasiokan dengan 260 juta penduduk Indonesia maka setidaknya setiap orang memikul beban utang Rp 18,5 juta per orang. Konsekuensinya, pemerintah harus mengalokasikan dana dari APBN sebesar Rp 646 trilliun untuk membayar bunga dan pokoknya pada tahun 2020 ini. Jumlah pembayaran utang ini jauh lebih besar dari jumlah total aset perbankan syariah nasional yang hanya mencapai sekitar Rp 515 triliun. Di tengah situasi pandemik ini dengan alasan menjaga ketahanan ekonomi dan sistem keuangan domestik pemerintah melalui Menteri Keuangan semakin bergairah untuk menambah utang negara, yaitu penerbitan Pandemic Bond dengan nilai total mencapai USD 4,3 miliar melalui tiga seri diantaranya seri berjangka waktu 50 tahun dengan tingkat bunga sebesar 4.5%. Selain itu, Perubahan Postur APBN tahun 2020 yang diajukan, pemerintah meningkatkan utang menjadi Rp 853 triliun dari sebelumnya hanya Rp 307 triliun, atau rasio defisit anggaran terhadap PDB menjadi 5%. Artinya, terdapat peningkatan utang sebesar Rp 546 trilliun akibat virus corona ini. Harus diakui bahwa sejumlah penelitian empiris menunjukkan bahwa utang punya daya ungkit dalam perekonomian, menjadi sumber pembiayaan bagi sektor produktif. Namun yang tidak bisa dilupakan bahwa utang pula pembawa cost yang tinggi dalam perekonomian dalam bentuk sejumlah krisis termasuk krisis perbankan dan krisis mata uang. Krisis tersebut hanya nama lain dari krisis utang. Dampak lainnya adalah kemiskinan, kesenjangan ekonomi dan ketidakmandirian dalam pengambilan kebijakan. Sistem utang-berbunga merupakan model kontrak yang secara natural menciptakan ketidakstabilan. Pihak pemberi utang memaksa pihak penerima utang untuk membayar “premium” dari pokok utangnya tanpa harus terlibat menanggung risiko yang dialami oleh penerima utang. “Premium” ini merupakan peningkatan nilai dari sesuatu yang tidak ada. “Premium” ini dalam bahasa agamanya disebut riba. Kontrak riba ini termasuk praktek yang diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an (QS. 2:279). Di sisi lain, Al-Qu’ran memberikan solusi jangka panjang dan jangka pendek untuk mengatasi model kontrak utang berbunga ini, yaitu dengan menghalalkan al-bay’ (QS. 2:275), yaitu model kontrak pertukaran yang mengharuskan adanya berbagi risiko bagi semua pihak yang terlibat dalam kontrak. Model ini sebagai bentuk kontrak pembiayaan jangka panjang. Selain itu, Al-Qur’an juga menawarkan solusi jangka pendek untuk mengatasi guncangan pendapatan akibat krisis, yaitu dengan redistribusi pendapatan melalui instrumen zakat, infak dan sedekah. Gerakan sosial di tengah wabah covid-19 seperti gerakan donasi, bantu tetangga, potong gaji, yuk gotong royong dan lainnya adalah manifestasi dari “redistribusi pendapatan” untuk mengamankan goncangan pendapatan kaum rentan di tengah krisis pandemik. (sam/zm) Sumber: opini koran Sindo, 29 April 2020.