Celupan Allah, Sibghah Allah Itu

Celupan Allah, Sibghah Allah Itu

[caption id="attachment_10435" align="aligncenter" width="650"]"Wa man ahsanu minallahi sibghah", dan siapakah yang lebih baik celupannya daripada celupan Allah "Wa man ahsanu minallahi sibghah", dan siapakah yang lebih baik celupannya daripada celupan Allah[/caption] Oleh Edy A Effendi Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir. (HR. Muslim no. 2392) Sabda Rasulullah di atas, perlu dicermati dengan baik. Tanpa kecermatan dalam membaca titah Kanjeng Nabi di atas, kita bisa tergelincir dalam prasangka. Dan berburuk sangka terhadap pernyataan Nabi yang sahih, jelas tak elok. Tak etis dan akan menuai keburukan-keburukan dalam diri. Dunia itu penjara buat orang beriman itu, maknanya bukan dikerangkeng oleh Allah segala gerak-gerik hidup seorang mukmin tapi diawasi Allah. Jika seorang mukmin merasa diawasi oleh Allah dalam segala gerak hidupnya, niscaya segala laku lampah hidupnya bukan merasa dikerangkeng tapi merasa dituntun Allah. Dituntun untuk mengendalikan segala hawa nafsu dunia agar bisa diarahkan untuk masuk dalam skema aturan yang telah ditetapkan Allah. Dipenjara itu hakikatnya dilatih untuk taat menuju Nur Allah. Dicelup Allah. Celupan Allah, Sibghatullah. "Wa man ahsanu minallahi sibghah", dan siapakah yang lebih baik celupannya daripada celupan Allah. Sibghah Allah, celupan Allah. Apa yang dicelup? Hidup itu harus dicelup oleh warna-warna Allah. Apa warna-warna Allah itu? Warna-warna Allah itu tertera secara jelas dalam asmaul husna. Misalnya dicelup dengan sifat RahmanNya, sifat RahimNya. Sifat-sifat itu warna. Sifat itu warna. Muara dari warna itu nurun ala nurin, Cahaya di Atas Cahaya. Sandaran ini mengacu pada Allahu nur al-Samawat wa al-Ardh Ketika kita sudah sampai pada nurun ala nurrin, akan terbaca, terdeteksi aura dalam diri. Seberapa jauh celupan itu, sejauh itulah aura kita. Sibghah Allah itu tentu harus bermuara dari laku diri sehari-hari. Laku lahir kita harus berjalanan beriringan dengan laku batin. Antara gerak bibir, gerak raga harus bergandeng tangan dengan gerak batin. Pengembaraan secara wadag ini, tentu akan juga harus diimbangi pengembaran secara batin. Dalam satu kisah disebutkan bagaimana Sunan Kalijaga menjalani dua perjalanan itu; wadag dan batin. Pengembaraan Sunan Kalijaga secara wadag dibingkai pengembaraan secara batin. Lahirlah suluk Sunan Kalijaga seperti Kidung Rumekso Ing Wengi. Sunan Kalijaga, ia mengembara secara jasad. Dibanting-banting hidupnya untuk mendapatkan sibghah Allah itu, celupan Allah Netraku ya Muhamad Pamuluku Rasul Pinayungan Adam Kawa Sampun pepak sakathahe para nabi Dadya sarira tunggal Mataku ialah Nabi Muhamad. Air mukaku Rasul dalam lindungan Adam dan Hawa. Maka lengkaplah sama rasul, yang menjadi satu badan Pengembaraan jasad tanpa disertai pengembaraan batin, ia hanya akan jadi puing-puing berserakan. Puing yang tak bermakna. Jasad tanpa ruh. Pada titik inilah, lahirlah satu premis, 'pada akhirnya kita tak bergantung pada makhluk'. Sebuah metaforsis tentang sejatinya hidup. Seorang mukmin sejati hanya bergantung pada Allah. Maka ketika sudah sibghah Allah, kita terpenjara untuk tidak berbuat zhalim kepada sesama manusia. Untuk menganiaya orang lain. Terpenjara untuk tidak berbuat maksiat. Terpenjara untuk tidak berkata kotor dan kasar karena dari lidah seorang mukmim, ia akan selalu berdzikir, mengingat Allah di setiap jengkal ruang dan waktu. Kalau sudah dicelup Allah, label-label penyair, wartawan, intelektual, pengamat, presiden dan segala label, bukan sesuatu yang agung. Karena celupan Allah mampu menghapus sekat-sekat lahiriah. Sekat-sekat jabatan atau profesi apapun. Dan tentu kita teringat ucapan Imam Malik. Ia mengatakan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syariat dan hakikat secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya. Ada adagium cukup terkenal, Hakikat tanpa syariat adalah kepalsuan, sedang syariat tanpa hakikat adalah sia-sia. Imam Malik berkata, Barangsiapa bersyariat tanpa berhakikat, niscaya ia akan menjadi fasik. Sedang yang berhakikat tanpa bersyariat, niscaya ia akan menjadi zindik.Barangsiapa menghimpun keduanya [syariat dan hakikat], ia benar-benar telah berhakikat. Jadi dua panduan hidup harus berimbang, lahir dan batin. Dua panduan hidup bersyariat harus berjalanan beriringan dengan panduan hidup bermakrifat. Mari memburu celupan Allah. *Edy A Effendi, Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.