Bagaiman Beriman Kepada Allah?

Bagaiman Beriman Kepada Allah?

oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Syaikh Nawawi Banten menulis dalam bukunya Syarah Qathrul Ghaits bahwa beriman kepada Allah SWT itu ada tiga bagian. Pertama, iman taqlidi. Kedua, iman hakiki. Ketiga, iman istidlali. Iman taklidi adalah meyakini Allah Maha Esa karena mengikuti perkataan ulama tanpa memiliki argumentasi sendiri. Namun begitu sah keimanannya.

Iman hakiki adalah mengikat hati bahwa Allah Maha Esa (tanpa bisa dipengaruhi oleh apapun). Iman istidlali adalah beriman dengan cara mencari bukti mengenai yang dibuat akan adanya yang membuat. Karena adanya buatan menunjukkan adanya yang membuat (yakni Allah SWT). Keimanan seorang muslim harus beranjak dari taklidi hingga istidlali. Mengenai Allah Maha Esa, maksudnya, seperti diungkap Syaikh Nawawi Banten, Allah SWT itu tunggal dengan sifat-sifatnya dan tidak ada yang menyekutui-Nya. Dalam kitabnya Nurudz Dzalam, Syaikh Nawawi Banten menyebut bahwa sifat yang wajib bagi Allah SWT ada dua puluh. Begitu juga bagi Syaikh Muhammad al-Fudhali dalam Kifayatul ‘Awam. Menurut Syaikh al-Fasani dalam al-Majalisus Saniyah, beriman dengan ke-Maha-Esa-an Allah SWT harus dipahami bahwa Allah SWT bersendirian di dalam kerajaan-Nya, termasuk pengaturan kerajaan tersebut. Allah SWT itu Maha Esa dalam Zat-Nya dan Maha Esa dalam sifat-sifat-Nya. Maha Esa dalam perbuatan-Nya, dan Maha Esa dalam segala perkataan-Nya. Dalam Bahzatul Wasail, Syaikh Nawawi Banten menulis ulang cerita Imam al-Ghazali tentang cara mengenal Allah SWT yang didapatnya dari keterangan seorang pemuda ketika beliau bertanya kepada pemuda itu, “Bagaimana caramu mengenal-Nya? Pertama, jawab pemuda itu, Aku meng-Esa-kan-Nya dan tidak mendefinisikan-Nya. Kedua, Aku menyembah Allah SWT dan aku tidak pernah untuk menggambar bentuk hakikat Zat-Nya. Ketiga, apa saja yang terlintas dalam benakku atau pemahamanku yang mencoba untuk menjelaskan hakikat Zat-Nya, maka dengan sesungguhnya aku meyakini bahwa Allah SWT berbeda dengan semua yang aku pikirkan atau aku angankan. Kesimpulannya, seperti diungkap Syaikh Nawawi Banten dalam Qaimuth Tughyan, salah satu cabang iman itu adalah beriman kepada Allah Maha Esa, tidak ada sekutu bagi Allah SWT. Tidak pula ada yang menyerupai-Nya. Tidak ada bandingan bagi-Nya. Allah SWT itu kekal, tidak ada permulaan bagi wujud-Nya dan tidak ada akhir bagi keabadian-Nya. Selanjutnya, Allah Maha Hidup. Artinya, tulis Syaikh Nawawi dalam Syarah Qathrul Ghaits, hidupnya Allah SWT itu terdahulu (qadim). Allah SWT tegak dengan Zat-nya. Dalam kitabnya yang lain, yakni Syarah Tijan al-Dharari, Syaikh Nawawi Banten menulis tidak boleh meyakini Allah SWT punya ruh. Allah SWT Maha Hidup dengan Zat-Nya, tanpa ruh. Artinya, Allah SWT tidak terkena hukum mati. Berbeda dengan hidup semua makhluk. Kalau Allah SWT hidup dengan ruh, artinya Allah SWT terkena hukum mati, dan hal ini mustahil bagi Allah SWT. Ruh itu sendiri, menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Fathul Majid, adalah suatu jisim yang lembut yang bercampur dengan badan. Berikutnya, Allah Maha Mengetahui dengan ilmu yang qadim yang berdiri tegak dengan Zat-Nya. Pengetahuan Allah SWT meliputi semua perkara yang wajib dan yang jaiz, dan yang mustahil. Bagi Syaikh Nawawi Banten dalam Syarah Tijan al-Dharari, yang dimaksud wajib adalah sesuatu yang tidak mungkin ketiadaannya seperti Zat Allah SWT. Sedangkan perkara yang jaiz adalah sesuatu yang mungkin terjadi atau tidak terjadi. Misalnya Allah SWT menyiksa orang yang taat beribadah yang tidak berbuat dosa sama sekali kepada-Nya. Sedangkan mustahil adalah perkara yang tidak mungkin wujudnya seperti syirik (menyekutui/menyerupai/menyamai) kepada Allah SWT. Dalam pandangan Syaikh al-Sanusi dalam Syarah Ummul Barahin yang sangat terkenal, wajib adalah sesuatu yang tidak tergambarkan ketidakadaannya di dalam akal. Lalu jaiz adalah sesuatu yang bisa terjadi wujud dan ketiadakadaannya di dalam akal. Sedangkan mustahil adalah sesuatu yang tidak tergambarkan wujudnya di dalam akal. Kesimpulannya, tulis Syaikh Nawawi Banten dalam Syarah Tijan al-Dharari, pengetahuan Allah SWT meliputi semua yang berjalan di dasar bumi, pun yang bergerak di tujuh petala langit. Tak luput dari pengetahuan-Nya benda sebesar atom baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. Termasuk semua langkah makhluk hidup seperti semut. Beriman kepada Allah SWT mewajibkan juga meyakini bahwa Allah Maha Berkuasa dengan kekuasaan yang qadim yang berdiri tegak dengan Zat-Nya dan tanpa perantara. Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Syarah Qathrul Ghaits, di dalam kekuasaan Allah SWT tidak terdapat satu kelemahan sama sekali, tidak seperti kekuasaan manusia. Terkait dengan hal ini, Allah SWT berfirman, “Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. al-Baqarah/2: 284). Makna Allah Maha Berkuasa dalam ayat ini adalah Allah SWT berkuasa melakukan perhitungan amal dan memberikan balasan. Cara beriman kepada Allah SWT yang berikutnya adalah meyakini bahwa Allah Berkehendak dengan kehendak yang qadim. bagi Syaikh Muhammad al-Fudhali dalam Kifayatul ‘Awam, Allah Maha Berkehendak berdiri tegak dengan Zat-Nya dalam keadaan tidak maujud dan tidak ma’dum dan Allah SWT dinamakan dengan Hal Maknawiyah. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki” (QS. Hud/11: 107). Bagi Syaikh Bawawi Banten dalam Syarah Tijan al-Dharari, seandainya Allah SWT bukan Zat Yang Berkehendak, maka pasti realitas ini tidak ada. Tentu hal ini adalah mustahil. Sebab nyatanya, realitas dapat dirasakan keberadaannya. Selanjutnya, cara beriman kepada Allah SWT adalah meyakini bahwa Allah Maha Mendengar. Sifat Allah Maha Mendengar ini juga bisa berarti mengabulkan, atau merespons secara akurat tentang sesuatu yang tampak, tidak kasat mata, kasar dan halus, jauh atau dekat, terang-gelap dan bahkan terdengar atau tidak terdengar. Maksudnya, Allah SWT mendengar secara pasti setiap bunyi, tanpa alat, setiap suara yang sangat halus sekalipun. Di ujung benua terjauh, di tengah hiruk-pikuk dan pekaknya dunia suara, Allah SWTmenangkap suara gesekan pohon di rimba, tetesan air, desah napas angin, ombak, dan turun-naik semua makhluk-Nya secara pasti dan terukur. Allah SWT berfirman, “Di sanalah Zakariya berdoa kepada Tuhannya seraya berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi-Mu seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar Doa” (QS. Ali Imran/3: 38). Begitu juga, “Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa” (QS. Ibrahim/14: 39). Cara beriman kepada Allah SWT yang berikutnya adalah meyakini bahwa Allah Maha Melihat. Sebenarnya, dalam al-Qur’an, Allah SWT kerap memperkenalkan diri-Nya sebagai Yang Maha Melihat. Banyak sekali ayat yang bertabur dengan hal itu. Tujuannya tentu untuk menjadi teladan bagi manusia dan kebahagiaan semua makhluk di alam mayapada.

Misalnya, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-An’am/6: 103). Bandingkan juga dengan ayat berikut ini, “Apakah dia tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihatnya?” (QS. al-‘Alaq/96: 14).

Dalam ayat lain, Allah ungkapkan, “Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Baqarah/2: 233). Pun makna ayat, “Kepunyaan-Nya lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya, dan alangkah tajam pendengaran-Nya” (QS. al-Kahfi/18: 26).

Secara praksis, sifat Allah SWT ini sejatinya harus melekat dalam diri manusia. Sebab Allah SWT selain Theos Agnostos (yang tak terjangkau) juga Theos Relevatus, yakni Ia hadir dengan sifat-sifatnya dalam diri manusia. Allah SWT “tidak hanya menggantung di langit”, tetapi itu tadi, Theos Relevatus: ”berakar dengan kokoh di bumi”.

Tentang Allah SWT Maha Berbicara, diungkap Syaikh Nawawi Banten dalam Syarah Tijan al-Dharari, bahwa sifat ini tersucikan dari pembuka dan penutup (tidak didahului oleh ketidakadaan). Pun dari i’rab dan bina. Sifat ini qadim (terdahulu), kekal, dan bertumpu pada Zat Allah SWT semata. Allah SWT berbicara tanpa huruf dan tanpa suara. Dalam Bahzatul Wasail, Syaikh Nawawi Banten mengungkap lebih luas makna Allah Maha Berbicara. Pertama, Allah SWT adalah Zat yang memerintah. Kedua, Zat yang melarang. Tiga, Zat yang menjanjikan kepada orang-orang beriman berupa surga. Keempat, Zat yang mengancam orang-orang kafir dengan neraka atau siksa. Cara beriman kepada Allah SWT yang berikutnya adalah meyakini bahwa Allah Maha Kekal, Maha Pencipta, Maha Pemberi Rezeki. Allah Maha Kekal dalam pandangan Syaikh al-Sanusi dalam Syarah Ummul Barahin terus-menerusnya wujud Allah SWT pada masa yang akan datang tanpa ada batas akhir. Seperti halnya Qidam yang tanpa batas awal. Tentang Allah Maha Pencipta, menurut Syaikh Nawawi dalam Syarah Qathrul Ghaits, maksudnya Allah Maha merealisasikan segala sesuatu dengan kekuasaan-Nya. Allah SWT Berfirman, “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu” ( (QS. al-Zumar/39: 62). Jadi, selain Maha Pencipta Allah SWT juga Maha Pemelihara. Dalam ayat lain, kedua sifat tersebut terulang kembali, ”(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu adalah Allah Tuhan kamu. Tidak ada Tuhan selain Dia. Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia. Dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu” (QS. al-An’am/6 :102). Berbeda dengan manusia, Allah SWT menciptakan dari tidak ada menjadi ada. Selanjutnya, Allah sebagai Pember Rezeki tanpa merasakan kesulitan. Hal ini terungkap adalam hadits Nabi SAW yang ditulis Imam Muslim. ”Wahai hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta semua jin dan manusia berdiri di atas bukit untuk memohon kepada-Ku.

Kemudian masing-masing Aku penuhi permintaannya, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan yang ada di sisi-Ku, melainkan hanya seperti benang yang menyerap air ketika dimasukkan ke dalam lautan”. Dari redaksinya terlihat bahwa hadits ini adalah hadits qudsi, dimana isinya berasal dari Allah SWT sementara redaksinya dari Nabi SAW.(sam/mf)