Antiklimaks Pencapresan Prabowo

Antiklimaks Pencapresan Prabowo

Adi Prayitno  Prabowo Subianto bermanuver jelang pendaftaran peserta pemilihan presiden (pilpres) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 4 hingga 10 Agustus mendatang. Prabowo yang sejak awal di gadang bakal maju menantang ulang Jokowi justru mengeluar kan pernyataan politik mengejutkan. Ia rela tak maju pilpres demi kepentingan bersama umat dan bangsa ter masuk jika ada sosok yang lebih baik dari dirinya. Ungkapan yang di sam paikan dalam acara Ijtima Ulama GNPF pada Jumat (27/7) malam lalu itu sontak memantik reaksi publik. Bagaimana tidak di tengah upaya publik menanti sosok pasti penantang Jokowi, Prabowo yang memiliki jarak elektabilitas paling dekat Jo kowi malah melunak seketika. Prabowo antiklimaks. Jika melihat konteksnya, ada tiga hal penting yang bisa diraba terkait pernyataan mengejutkan Ketua Umum Partai Gerindra tersebut. Pertama, Prabowo legawa karena banyak pihak berharap ia tampil se bagai king maker di Pilpres 2019. Masa kejayaan Prabowo dinilai sudah “selesai” dan berat me - lawan Jokowi yang kian terkonsolidasi. Sejumlah kisah sukses menjadi bukti sahih tak ter bantahkan ketika Prabowo men jadi king maker . Dua peristiwa politik paling fenomenal ialah keberhasilan Prabowo mengan tarkan Jokowi dan Anies Bas wedan ke puncak ke kuasaan politik tertinggi DKI Jakarta. Racikan dingin tangan Prabowo terbukti ampuh mengorbitkan figur debutan. Kedua, pernyataan Pra bo - wo bisa ditafsirkan sebagai upaya menurunkan daya tawar Gerindra karena PKS dan PAN mematok harga mati posisi cawapres. Jika semua pihak ngotot berdiri tegak di batas garis demarkasi perbedaan, bisa dipastikan koalisi non pe me - rintah ini bubar jalan. Koa lisi tak bisa dibangun dengan modal egoisme sektoral. Harus ada kalimat bersama untuk menjahit keutuhan koalisi. Itu Artinya, jika Prabowo legawa mundur sebagai ca - lon presiden (capres), tentu PAN dan PKS harus me ne - rima jika cawapres yang diusung nanti bukan dari kader internal me reka. Ini strategi tarik ulur apik me - ngurai rencana koalisi yang kian rumit. Apalagi pada saat bersamaan Demokrat mulai membuka pintu lebar koalisi dengan Gerindra tanpa harus mengunci posi si cawapres bagi Agus Ha - rimurti Yudhoyono (AHY). Momen politik ini se jatinya menjadi pemantik langkah koalisi yang semakin konkret. Ketiga, Prabowo mulai ra sio nal mengalkulasi ke - kuatan politiknya yang dalam banyak hal kalah jauh dari Jokowi mulai dari elektabilitas hingga dukungan partai pol - itik. Se ba gai mantan prajurit, tentu Pra bowo tak mau apa adanya me nantang Jokowi. Da lam filo sofi prajurit sekali - pun terpaksa kalah, tapi harus terhormat dengan kepala tegak. Saat ini arah mata angin politik memang tak terlampau menguntungkan Prabowo. Ia kalah segalanya dari Jokowi. Berbeda dengan konstelasi Pilpres 2014 karena Prabowo begitu digdaya. Kondisi semacam inilah yang turut memaksa Prabowo berpikir realistis soal hasratnya maju pilpres kembali. Sepertinya Prabowo mulai sadar bahwa Jokowi tak mung - kin dilawan dengan gaya koboi belaka. Tak bisa pula hanya di - bendung dengan terus mem - bakar emosi umat. Jokowi hanya bisa dilawan dengan akal sehat dan strategi terukur. Skenario Berubah Pernyataan Prabowo yang siap legawa mundur dari bursa pencapresan praktis meng - ubah skenario pilpres. Ke - mung kinan muncul calon al - ternatif penantang Jokowi kian terbuka. Figur penantang Jokowi bisa dipastikan masih berasal dari lingkaran internal kuasi kuasa Prabowo dan ke - lompok oposisi. Kekosongan capres yang potensial ditinggal Prabowo juga menjadi titik temu kom - promi antara Gerindra, PKS, dan PAN memulai langkah ba - ru merajut koalisi. Semangat yang dibangun harus sama, yakni koalisi untuk menang. Bukan saling berebut posisi capres dan cawapres. Siapa pun calon potensial yang ber po - tensi menumbangkan Jokowi harus solid didukung. Figur yang selama ini dekat dengan mereka mulai di per - hitungkan kembali. Sebut saja misalnya Anies Baswedan. Se - jak awal Gubernur DKI Jakarta itu diasosiasikan dekat dengan kelompok oposisi karena irisan politiknya seirama. Tak bisa dimungkiri jika Anies Bas we - dan merupakan representasi kemenangan kelompok opo si - si di jantung ibu kota tahun lalu. Begitu pun dengan PKS dan PAN yang sedari awal telah menominasikan Anies Bas we - dan dalam skenario kedua me - reka andai kader internal yang diusung dan ditolak Prabowo. Bak gayung bersambut, titik temu soal pencarian figur lain menantang Jokowi mulai ter - kuak. Tinggal diracik bagai ma - na merealisasikan dukung - an politik menjadi lebih nyata. Selain itu, sudah lama Ge rindra, PKS, dan PAN menjalin pertalian koalisi di luar pe me rintah berbasis isu dan ke bi jakan publik. Sebuah koalisi yang disebut Steven B Woli t netz dalam Beyond the Catch All Party (2002) sebagai policy see king party, yakni koalisi partai yang berorientasi pada ke - sa maan isu dan kebijakan politik. Sebuah modal po li - tik yang mes tinya menjadi bekal me ngon kretkan koa - lisi non-peme rintah ini. Dalam posisi capres, Anies Baswedan relatif bisa dipoles sebagai penantang serius Jokowi. Anies bisa meng api ta lisasikan dirinya sebagai pen jel maan umat Islam yang ber jarak dengan pemerintah. Suka tak suka, umat Islam saat ini sedang mencari figur yang bisa mengakomodasi kepentingan politik di pentas nasional. Mereka tak mau terus menerus hi - dup termarjinal dalam bayangbayang peyoratif sebagai ke - lompok reaksioner dan radikal. Anies Baswedan dinilai me - menuhi satu unsur doktrin politik lawas tentang repre sen - tasi kekuatan Islam. Tentu saja bukan Islam yang hanya men - jadi kayu bakar kekuasaan po - litik, melainkan Islam yang tampil sebagai lakon utama di pusaran arus politik dominan. Cawapres sebagai Kunci Siapa pun capres yang bakal bertanding di Pilpres 2019 mes ti memperhatikan serius figur cawapres. Bukan hanya bagi penantang, kubu Jokowi pun perlu memilih calon pen - damping tepat yang mampu berkontribusi signifikan dari segi elektoral. Salah memilih pasangan bisa menjadi petaka. Kebutuhan insentif elek toral turut menjelaskan me nga pa se - jauh ini Jokowi belum me man - tapkan hati memilih cawapres yang akan dipilih. Sebab se - jumlah nama yang po tensial mendampingi Jokowi, mulai dari kalangan partai po litik, figur Islam, hingga pr o fesional, me - miliki kelemahan sama, yakni elektabilitas yang rendah. Tak mudah bagi Jokowi memilih pendamping di tengah ke berlimpahan dukungan politik. Di kubu penantang relatif lebih terang. Figur AHY yang sejak awal di-plot sebagai ca - wapres elektabilitasnya makin moncer berkat safari politik ke berbagai wilayah kunci di Jawa dan luar Jawa. Demokrat yang intensif membuka komunikasi bisa menduetkan AHY dengan Anies Baswedan yang maju lewat Gerindra. Paduan pa sang an klop yang tentu turut mendinamisasi pertarungan pilpres. Menariknya lagi, jika terjadi head to head antara Anies me la - wan Jokowi, nuansa Pilpres 2019 akan terasa seperti Pil ka - da DKI Jakarta 2017 karena ak - tor dan kepentingan politiknya masih sama. Termasuk luka hati yang sepenuhnya belum ter obati. Sebab itu rivalitas pilpres nanti kian mengeras. Kecuali, pernyataan Pra bo wo soal “sikap legawa” itu se ba tas gimmick politik belaka, maka skenario menduetkan Anies- AHY menantang Jo ko wi sebatas utopia yang sulit ter wujud. Publik tinggal me nung gu skenario tanding ulang an tara Jokowi dan Prabowo yang dipastikan tak menarik. Ka rena pemenangnya sudah bisa ditebak. Penulis adalah Direktur Eksekutif Parameter Politik dan Dosen FIS IP UIN Jakarta. Artikel dimuat Koran SINDO Selasa 31 Juli 2018.