Alumni FSH Tersebar Luas

Alumni FSH Tersebar Luas

Sebagai salah satu fakultas agama di UIN Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum terus mengembangkan diri menjadi fakultas unggul dan kompetitif. Sejumlah upaya dilakukan agar fakultas tersebut mendapat kepercayaan dan ekspetasi tinggi dari masyarakat. Apa saja program unggulan fakultas yang berdiri tahun 1967 tersebut, berikut wawancara Nanang Syaikhu dari BERITA UIN Online dengan Dekan FSH Prof Dr Muhammad Amin Suma di ruang kerjanya, Rabu (30/3).

Apa saja agenda kerja Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) di tahun 2011?

Pada dasarnya, agenda kerja 2011 di FSH memiliki beberapa kriteria, pertama, menindaklanjuti program-program mendasar yang bisa dikatakan besar bagi fakultas yang belum terselesaikan di 2010. Misalnya, sesuai dengan konsentrasi pada pembenahan Akreditasi Jurusan/Program Studi yang kebetulan habis masanya, antara lain Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum,  Ahwal Syakhsiyyah (Perdata/Peradilan Islam), Jurusan Mu'amalat (Ekonomi Islam), Jurusan Jinayah/Siyasah Syar'iyyah (Pidana/Tata Negara), dan Ilmu Hukum. Kebetulan keempat sampai kelima program di tahun 2011 ini sudah habis masa akreditasinya. Mudah-mudahan bisa dipertahankan dan selalu mendapat peringkat A, kecuali Ilmu Hukum. Hal ini karena ilmu hukum merupakan program yang baru pertama kali walaupun izin operasional dan pengakuan operasionalnya sudah dapat izin dari Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas).

Kemudian yang akan ditindaklanjuti adalah kebijakan FSH untuk menggelar seminar dosen dalam tiga bahasa yang sudah terlaksana tahun 2010 dan mudah-mudahan dapat terlaksana kembali tahun ini karena acara ini memang diadakan rutin setiap tahun. Bahkan diharapkan, mudah-mudahan paling tidak mengembalikan spirit kemampuan berbahasa seperti awal-awal IAIN Jakarta didirikan. Misalnya pada tahun 1970-an, FSH terbiasa menggunakan soal-soal berbahasa Arab. Walaupun jawabannnya bagi mahasiswa bebas memilih bahasa asing atau bahasa Indonesia, paling tidak dalam tingkatan i’dad kewajibannya supaya siap-siap dulu.

Kemudian kegiatan-kegiatan yang sifatnya internasional insya Allah akan terus ditindaklanjuti, begitu pula kerja sama dengan negara-negara lain. Dalam waktu dekat misalnya, -pada dasarnya kami sudah mulai sejak awal Januari 2011- kami menggelar sosialisasi semua prodi ke berbagai wilayah.  Kemudian pada 3 Februari 2011 FSH bekerja sama dengan Kedutaan Besar Pakistan di bidang persoalan-persoalan yang dihadapi sebagian bangsa di Indonesia terutama tentang Kashmir.

Selain itu, kami akan menggelar workshop bersama dengan berbagai perguruan tinggi Malaysia yang akan digelar di UIN  Jakarta, dan kali keduanya di Kuala Lumpur, Malaysia. Hal ini dalam rangka menindaklanjuti kerja sama program mahasiswa, maksud saya kerjasama antara UIN Jakarta, dalam hal ini FSH, terkait dengan program diploma yang ingin melanjutkan ke jenjang strata 1 (S1) di FSH. Kalau beberapa tahun yang lalu, ada empat perguruan tinggi yang mengikuti, yakni satu dari Turki dan tiga dari Malaysia.

Kemudian tradisi yang sudah dibina misalnya Syariah Event yang akan dilaksanakan kembali pada tahun ini tetapi ada sedikit pergeseran menuju kemajuan. Kalau tahun sebelumnya FSH hanya mengandalkan fakultas saja, sedangkan kali ingin lebih besar lagi pesertanya baik dari FSH sendiri maupun dari berbagai fakultas atau universitas lain.

Selain Syariah Event, kami juga akan mengadakan bulan syariah yang momentum terakhirnya menggelar International Islamic Conference. Tahun lalu kegitan itu sudah dilaksanakan dan syukur-syukur kalau tahun ini negara yang hadir lebih banyak dari tahun yang lalu. Kemudian yang juga menjadi perhatian kami tahun ini adalah peningkatan kerja sama dengan beberapa perguruan tinggi, baik dari dalam maupun luar negeri, misalnya menggelar diskusi bersama. Kalau  tahun lalu dengan  UIN Bandung saja, tahun sekarang kami ingin mengadakan kerja sama lebih luas lagi, misalnya, dengan perguran tinggi se-Jawa dan se-Lampung. Itu semua masuk dalam program kerja bidang Dikjar FSH.

Apakah di FSH ada Program Double Degree?

Double Degree insya Allah akan kami mulai bulan Juli 2011. Hal ini sangat bergantung tidak hanya tingkat fakultas tetapi juga universitas. Bahkan kami juga akan membuka program S2.

Bagaimana dengan kerja sama Prodi Perbankan Syariah dan Universitas Indonesia?

Kerja sama dengan UI belum sampai pada Double Degree. Tapi kami akan menindaklanjuti kembali. Sekarang, kami akan lebih serius menggarap Double Degree di tingkat internal. Karena ada tiga bidang ilmu yang diamanahkan di FSH yang ketiga prodi ini mempunyai tiga gelar akademik, jadi sangat memungkinkan untuk dibukanya Double Degree internal tersebut.

Dalam hal ini kita mempunyai tiga bidang ilmu; ilmu syariah yang dikelola Ahwal Syakhshiyyah, Ekonomi Syari’ah yang dikelola oleh Muamalat, dan Ilmu Hukum yang dikelola oleh Prodi Ilmu Hukum.  Gelar akademiknya adalah Sarjana Syariah atau S.Sy, Sarjana Ekonomi Syariah atau S.E.Sy, dan Sarjana Hukum atau SH. Jadi, sangat memungkinkan dan jelas bidang keilmuannnya, kalau tidak jelas kami tidak mungkin melakukan. Kalau itu bukan kami menyerahkan persoalan  artinya itu sudah diatur oleh negara. Pada dasarnya kami telah merespon dan mereka kita ajak bicara.

Bagaimana dengan rencana pembukaan Program Pascasarjana di FSH?

Kita tidak bikin program pasca atau S2, akan tetapi hanya membuka program atau  bidang syariah dan ilmu hukum yang kali ini kami akan bekerjama dengan Islamic Finance “Keuangan Islam “  dan ini insya Allah juga kerja sama dengan McGilll Universty, Kanada.

Lantas, apa urgensi membuka program Hukum Bisnis Islam?

Begini, kalau linier ilmunya, jelas di sana ada Magister Ilmu Syariah, kemudian ada Magister Hukum Bisnis Islam. Sekarang ini pertumbuhan dan perkembangan ekonomi syariah bisa dikatakan luar biasa pesat, baik di Indonesia maupun di dunia. Itu hampir dapat dipastikan, sehingga pada akhirnya timbul berbagai kasus atau masalah di institusi-institusi keuangan syariah itu sendiri yang pemecahnya memerlukan pendekatan hukum Islam, dalam hal ini hukum bisnis Islam. Hal itu sebagai akibat dari adanya interaksi inter maupun antarlembaga keuangan syariah. Di Indonesia sangat kecil sekali yang memikirkan tentang keberadaan hukum bisnis tersebut, belum lagi misalnya -terlepas masih ada persoalan atau tidak- Peradilan Agama sesuai Undang-undang No. 3 Tahun 2006 telah diberikan kewenangan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan terkait dengan keungan syariah, sehingga bagi hakim-hakim di Kementerian Agama itu menjadi tantangan tersendiri untuk memiliki ilmu tersebut, di samping beberapa lembaga yang terkait dengan soal-soal keuangan syariah.

Kalau Magister Islamic Finance?

Magister Islamic Finance arahnya lebih kepada penguasaan di bidang keuangan Islam sebagai praktisi. Apakah dia menjadi bankir atau ahli asuransi yang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan lembaga keuangan syariah. Ke depan saya menduga lebih baik lagi. Setidaknya pemahaman tentang  zakat, infaq, dan sedekah yang sudah puluhan tahun lamanya seakan-akan masih sangat tebal ibadahnya dibanding soal finance-nya. Sekarang ini paling tidak sudah berkembang pemikiran bahwa ibadah yang berdimensikan keuangan atau ekonomilah yang berbasiskan nilai-nilai peribadatan.

Masyarakat sudah menyadari benar tentang posisi keuangan Islam dalam bentuk zakat, infaq, dan shadaqoh. Apalagi dengan kehadiran wakaf  uang tunai yang belakangan, yang perlahan tapi pasti, sudah menempati posisi di hati masyarakat Indonesia walaupun persoalan regulasinya sampai sekarang masih ada perdebatan di kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun pemerintah. Tetapi pada akhirnya bisa menyelesaikan masalah dan mengasilkan produk hukum yang dirasakan betul-betul adil, merata dan bernuansakan keberkahan yang menjadi ciri-ciri ekonomi syariah. Hal ini sudah diatur dalam amandemen Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat.

Bagaimana dengan rencana pembukaan Program S2 yang Anda sebutkan tadi?

Sulitnya begini, selain menyangkut masalah substansi keilmuan juga kan menyangkut masalah-masalah teknik operasional. Tetapi yang pasti kami tengah instens mengadakan rapat-rapat dengan pihak rektorat untuk menyelesaikan Double Degree internal, baru kemudian diikuti dengan Program S2. Apakah program S2 ini memang sudah mutlak membuka dua-duanya, yakni Ilmu Syariah dan Islamic Finance? Ya ini kan bertahap, kita tidak ingin terburu-buru, apalagi sudah menjanjikan akan membuka program ini tapi ternyata kita belum siap, kan itu jadi kurang enak.

Bagaimana dengan Proposalnya ?

Proposal sudah disiapkan, bahkan kami sudah melakukan semiloka dengan mengundang pihak Kementerian Agama, dalam hal ini Direktorat Pendidikan Islam dan mengundang beberapa IAIN/UIN yang sudah mempunyai program S2, misalnya IAIN Padang dan UIN Malang. Dari UIN Jakarta sendiri antara lain Sekolah Pascasarjana, Rektorat serta Direktur Pengembangan Akademik.

Kalau Program S2 Ilmu Hukum sendiri?

Kalau Ilmu Hukum belum menghasilkan sarjana. Ya itu perlu disiapkan keilmuannya yang linier. Alumni kita sudah banyak yang yang Double Degree. Untuk yang Double Degree itu di satu sisi sarjana syariah di sisi lain sarjana hukum, ya itu nggak ada masalah. Bahkan yang tidak Double Degree pun saya kira tidak ada kesulitan.

Soal legitimasi atau izinnya?

Kalau izin prodi untuk Magister Ilmu Syariah dan Islamic Finance itu dari Kementerian Agama, kecuali Ilmu Hukum dari Kementerian Pendidikan Nasional.

Ada yang menarik tentang penguatan keilmuan, bagaimana bila dikaitkan dengan tradisi hukum Islam?

Dari segi isi masih tetap. Mengapa kita masih menyimpan buku-buku klasik karena di dalam buku tersebut masih tersimpan khazanah Hukum Islam yang harus digali lagi. Dari sisi praktisnya mungkin ada beberapa yang tidak relevan dengan sekarang akan tetapi dari segi subtansi masih tetap memiliki nilai-nilai yang masih diperlukan masa sekarang. Jadi bukan semata-mata nilai sejarah justu dibutuhkan substansinya itu yang diperuntukan.    Apalagi yang sastra, sebagian alumni yang nota bene-nya sebagian alumninya masih sangat layak untuk menjadi calon-calon di Peradilan Agama masih tetap menjadi salah satu syarat untuk menjadi Hakim di Kementerian Agama pengenalan kitab-kitab klasik. Itu artinya sudah sejalan dengan kebijakan negara atau pemerintah yang jelas di Mahkamah Agung masih mempertahankan studi naskah dalam konteks pemahaman. Lalu yang berikutnya, ya sejarahnya juga begitu justru kalau kita menggunkan teori analisis SWOT, kekuatan dan  ciri khas dari UIN  Jakarta dibandingkan perguruan tinggi lainnya ada di situ. Sayang sekali kalau kemampuan bahasa itu tidak dirawat atau jaga.

Seberapa persen penggunaan kitab-kitab klasik atau tradisional di FSH?

Itu relatif jika dibanding dengan masa sebelumnya. Karena ini jelas ilmu syariah ini sudah mulai berkurang dari pondok-podok pesantren. Tetapi kita jangan menyerah begitu saja. Kita harus optimis untuk mengadakan diskusi-diskusi atau halaqah-halaqah seperti yang terpampang dalam spanduk-spanduk. Setelah itu terus kita gencarkan kali ini kalau dulu fakultas yang menyelengarakan tapi sekarang ini mahasiswa yang aktif mengadakan diskusi-diskusi atau klub-klub belajar, misalnya ada “Saung Usul Fiqih”. Mudah-mudahan kesadaran mahasiswa semakin menguat. Terkait dengan itu pada tahun ini kami juga mempunyai program yaitu memperbanyak kamus bahasa Arab, Inggris, dan Indonesia dalam rangka membantu sivitas akademika dalam kerangka memperkuat bahasa. Jadi untuk berapa persennya masih sulit diukur, tapi  kita bisa katakan sekitar empat puluh persen hingga enam puluh persen masih tetap ada.

Itu semua untuk prodi pada dasarnya sedangkan untuk ilmu hukum dan muamalat relatif tidak seketat tiga prodi yang lainnya. Misalnya dalam ujian komprehensif sama-sama menggunakan kitab kuning, akan tetapi kalau Prodi Muamalat menggunakan buku kontemporer.

Jika untuk memelihara tradisi mengapa tidak diperketat?

Kalau itu dijadikan satu-satunya ada kendala bahasa. Saya kira banyak mengalami kendala karena untuk perbankan saja yang memerlukan pengetahuan matematika yang memadai. Kalau itu semata-mata difokuskan kepada kitab gundulnya atau klasik maka kami akan kerepotan. Cuma alhamdulillah karena muamalat banyak peminatnya sehingga relatif yang terjaring kategorinya bagus-bagus. Di samping itu juga orientasinya berbeda-beda, kalau sekarang mungkin peminatnya di bawah kedokteran kalau dulu mungkin masih di atas, ya kira-kira prodi yang siap pakai.

Walaupun kriteria kelas internasional sebenarnya bisa dikatakan belum ditemukan rumusan secara baku walaupun ciri-cirinya sudah ada, misalnya menggunakan pengantar bahasa asing, Arab maupun Inggris. Kalau untuk Perbandingan Fiqih Khusus itu benar sudah terlaksana termasuk skripsi begitu juga dengan tahfizhnya yang lima sampai sepuluh juz itu jelas dilaksanakan tapi untuk di prodi lain mengalami penurunan. Nah, ini yang ingin kita tingkatkan kembali spiritnya. Minimal dosen kita imbau untuk mencoba  memulai seberapa dapat menggunakan bahasa, bila perlu kita campur aduk dalam arti sekenanya tetapi memperhatikan penggunaan bahasa asing tersebut.

Lantas, respon mahasiswa sendiri seperti apa?

Tadi sudah saya katakan kalau melihat antusias mahasiswa jelas ada indikator-indikator ke arah itu. Setidaknya, saya katakan lagi kalau dulu menggelar halaqoh-halaqoh itu sulit mencari mahasiswa, walaupun yang daftar banyak, namun pelaksanaanya mahasiswa hilang. Sekarang ini dengan adanya pelibatan tersebut di-organized oleh mahasiswa termasuk biaya administrasi di tangan mereka, jadi kita “fakultas” tidak ada beban. Sebagai imbasnya, mudah-mudahan kita memperbanyak kamus pada mereka. Kalau sekarang ini masih terbatas karena kita masih membutuhkan itu. Jadi kami dalam ujian komprehenshif itu betul–betul menguji keterampilan mereka, misalnya menyelusuri ayat al-Qur’an maupun Hadis, penerjemahan itu minimal mereka bisa membuka kamus. Itu semua kan salah satu upaya untuk meningkatkan kecerdasan atau keterampilan mereka.

Apakah di FSH ada studi khusus, misalnya, kitab kuning seperti di pesantren?

Di sini tidak ada, tapi kami sudah serahkan kepada dosen yang mengadakan halaqoh. Di tahun-tahun awal, saya sendiri sempat terjun langsung untuk mengetahui langsung menangani halaqoh-halaqoh itu. Meskipun jumlahnya belum banyak, tapi mahasiswa yang memiliki kemauan untuk itu tetap ada. Nah ini biasanya didominasi oleh mahasiswa-mahasiswa calon hakim, karena mereka tahu akan ada ujian seperti itu. Dan Alhamdulillah hasilnya mengembirakan. Sekarang Mahkamah Agung selalu meminta kami untuk merekomendasikan alumni yang memenuhi syarat. Saya sebagai Dekan yang diminta menandatangi langsung, sehingga saya tahu berapa alumni UIN Jakarta (FSH) yang masuk dan dapat dipastikan kemampuannya. Karena di luar, sekarang ini banyak mahasiswa Fakultas Hukum, yang dengan usaha sendiri ingin memperbanyak itu. Makanya sudah banyak mahasiswa FSH tidak kalah gigih, mereka itu secara umum di Fakultas Hukum tidak ada sama sekali mata kuliah itu. Walaupun dosen-dosen mensyaratkan untuk membuat makalah, itu mutlak harus ada kitab kitab yang berbahasa Arab sebagai referensi.

Beda dengan dulu, kalau zaman dulu ada kitab-kitab tertentu yang diwajibkan kepada mahasiswa, satu per satu disuruh baca, dan menjadi kajian mata kuliah. Sekarang ini susah karena mahasiswanya terlalu banyak dan dituntut tidak ada pemahaman yang sesuai dengan perkembangan karena tidak seimbang. Nah ini gejala-gejala malah dari STAIN/IAIN mengusulkan calon hakim tidak perlu lagi ada ujian-ujian seperti itu.

Kemauannya begitu, makanya kami berencana akan mengundang anggota Senat Fakultas meminta gagasan itu, bagaimana respon Senat sendiri? Karena kita ingin mengembalikan spesifikasi fakultas agama yang kekuatannya di bidang itu, tanpa harus mengurangi semangat kita untuk memahami dalam persoalan-persoalan kekinian. Cuma harus bekerja keras untuk mengembalikan tradisi seperti itu. Kalau semasa IAIN kan mahasiswa fokus dan input-nya juga jelas. Di FSH mana pun ada kurikulum, bahkan mata kuliah bahasa Arab saja kata pengantarnya memakai bahasa Indonesia. Jadi memang kurang menopang atau masih berat.

Apakah FSH menyediakan beasiswa khusus bagi lulusan pesantren?

Ya. Memang ada beasiswa khusus untuk lulusan pesantren yaitu BIDIK MISI. Sedangkan yang dari Kemenag itu sudah diatur dari universitas ke fakultas-fakultas. Jadi, kami hanya mengatur saja, kecuali dulu belum ada beasiswa dari Kemenag dan Kemendiknas, untuk PMH Khusus itu terpaksa kita beker jasama dengan satu atau dua lembaga perbankan syariah. Tapi jumlahnya sangat terbatas.

Seperti di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, itu ada beasiswa intern untuk menjaring lulusan pesantren. Bagaimana dengan FSH sendiri?

Kita juga punya itu. Misalnya bekerj asama dengan bank. Di fakultas sudah berjalan. Artinya walaupun tidak secara penuh, hampir dapat dipastikan dengan janji-janji tetapi faktanya mereka terbantu. Bahkan proses percepatan skripsi, misalnya, tidak hanya untuk PMH Khusus, untuk mahasiswa lainnya juga ada digelontorkan dana bantuan skripsi. Misalnya mahasiswa tidak punya uang untuk mengetik dan menggandakan skripsi. Seperti pada semester-semester sebelunya sudah ada sekitar 47 mahasiwa yang  kita bantu akselarasi penyelesaian skripsi mereka.

Apa solusi Anda terkait menurunnya peminat fakultas agama di UIN Jakarta?

Kalau kami sebenarnya begini, bukan berlindung pada ayat, tapi memang faktualnya begitu. Di al-Quran itu untuk orang–orang yang tafaqquh fiddin itu redaksinya dha’if. Dhaifah dalam kacamata ilmu sosiologi adalah unit masyarakat yang terkecil. Syariah itu sebenarnya ke situ arahnya. Tidak perlu menerima sebanyak mungkin. Kalau penyaringannya saya setuju sebanyak-banyaknya, hanya yang diterima tetap saja sedikit karena fasilitasnya terbatas. Maka contohnya Jurusan Muamalat yang sekian tahun menerima sampai tujuh kelas, kemudian menjadi lima kelas, dan untuk tahun 2011 hanya tiga kelas. Jadi yang saya maksud penyaringannya diperketat lewat bibit-bibit unggul. Dengan begitu mudah-mudahan yang terjaring betul-betul berkualitas, sehingga dalam istilah kami di FSH, “melahirkan seribu Sarjana Syariah” dalam dua atau tiga tahun. Itu akan lebih berbobot dibandingkan dengan lima ribu sarjana tetapi tidak berbobot. Orientasinya kualitas, bukan kuantitas. Lalu bagaimana dengan prodi yang seakan-akan tidak ada peminatnya?

Hemat saya tetap saja diadakan, karena apa? Karena ilmu itu tidak boleh ada yang mati. Bahwa itu peminatnya sedikit, ya tidak boleh dipaksa-paksakan. Ilmu ini  tidak boleh hilang karena tanggungjawab kita. Soal diterapkan atau tidak itu soal lain karena bukan keharusan setiap Fakultas Syariah. Tetapi Fakultas Syariah mempunyai kewajiban untuk merawat khazanah keilmuwan itu. Nah, di sinilah yang sering saya katakan tidak perlu SKS itu disamakan dengan prodi di fakultas lain. Yang jelas tingkat kebutuhannya tidak banyak.  Apalagi di negara kita ini kan masih dibutuhkan. Jadi tidak boleh hilang sama sekali, tetap saja keberadaan orang-orang seperti itu perlu ada. Jadi, kalau saya tidak ada semuanya diperbanyak kecuali kebutuhan pasar juga diperkuat.

Nah, satu contoh lagi, misalnya, ketika beberapa hari yang lalu alumni FSH kami undang, alhamdulillah mereka ada yang menjadi Wakil Gubernur Banten. Kasus ini kan belum banyak periode 2010-2014. Di sana ada pertanyaan dari audiens. Bapak ini menjadi Wagub apakah by design FSH atau karena nasib? Selain Pak Wagub yang menjawab, ya saya merasa terpanggil untuk menjawab juga. Sejauh yang saya tahu tidak ada satu pun perguruan tinggi yang mendesain untuk menjadi seorang Wagub. Kalaupun ada itu semacam IPDN atau STPDN untuk Pamong. Alhamdulillah Pak Wagub menjawab bahwa saya merasa menjadi Wagub bukan karena nasib semata-mata, akan tetapi juga by design fakultas yang tidak disengaja. Artinya ia menggunakan siasat syariah dalam berperpolitik, tidak mengunakan perpolitikan konvensional.

Jika dibandingkan dengan calon lain yang menggunakan modal–modal kapital keuangan, ia tak ada apa-apanya. Tapi modalnya adalah merawat kepercayaan atau trust aundiens. Justru melalui penerapan ilmu syariah ia tidak pernah menolak untuk menjadi khatib, penceramah, dan lama kelamaan ia dikenal di masyarakat. Jadi kalau bahasa agamanya fardlu kifayah-nya. Saya kira itu satu bukti. Bahkan sudah ada Kajari di Kendari Drs. AM. Nasruddin adalah alumni FSH.

Di samping itu, yang jadi Dirjen juga sudah ada. Kalau Dirjen di Kementerian Agama sudah biasa. Tapi ini Dirjen di Kementarian  Hukum dan HAM, itu  alumni FSH. Artinya sudah ada. Lalu ketua–ketua PTA sudah sangat banyak juga alumni FSH. Saya sering mengatakan, sebenarnya alumni FSH ini tidak terungkap karena sudah saking banyaknya. Berbeda dengan fakultas atau alumni perguruan tinggi lain yang belum banyak, itu wajar saja.  Jadi, kami suka mengemukakan alumni kami jelas berada di mana pun. Alumni syariah bila ditanya dengan dunia kerja tidak ada masalah. Jangan kami ditanya berapa yang tidak terserap, justru saya tanya kepada Anda berapa alumni FSH yang tidak diserap oleh pasar?

Bagaimana dengan mahasiswa asing yang studi di FSH, misalnya dari Malaysia, apakah ada kurikulum khusus?

Kurikulum tertentu memang tidak ada. Itulah sebabnya tadi kami katakan, umumnya tidak dari awal, ini kebijkan rektorat. Dulu mereka hanya melanjutkan. Sehingga banya kendala mereka di sini, terutama pengunaaan bahasa ilmiah akademik dengan bahasa Indonesianya. Ini  menjadi persoalan sendiri “mereka sedikit  mengeluh” akselarasi bahasa ini dengan menggunakan pendekatan-pendekatan pembinaan kebahasaan. Kalau sebelumnya diserahkan pada pusat bahasa tapi tidak berjalan sesuai harapan. Untuk itu kami mengunjungi asal perguruan tinggi  mereka. Kami katakana ini harus kita bina bersama-sama sejak dini. Tidak menutup kemungkinan mata kuliah tersebut diasuh oleh dosen dari sana, kalau tidak begitu kami mengalami kesulitan karena input yang diharapkan. Ya, kendala utamanya adalah bahasa, kita perlu ada program atau waktu belajar bahasa Indonesia. Makanya di Malaysia kan diwajibkan mengambil bahasa Melayu. Kalau kita melaksanakan sendiri tidak ada pembiyaannya, digabung dengan universitas tidak jelas kecenderungannya.

Selain dari Malaysia juga ada mahasiswa dari Somalia, dan Afrika. Kalau dari Malaysia itu bisa-bisa saja, karena ada organisasinya, tetapi ada juga oraganisasi mahasiswa luar negeri ini. Saya berharap dari universitas, khususnya Internasional Office (IO), dapat melakukan pembinaan berbahasa Indonesia bagi mahasiswa asing. []

Â