ACIS

ACIS

ACIS. Ini agaknya singkatan yang belum menjadi begitu akrab dalam publik Indonesia. Ia adalah sing katan “Annual Conference on Islamic Studies” yang diselenggarakan Kemen- terian Agama. Tanpa banyak heboh, Konferensi Tahunan Kajian Islam ini sudah 11 kali diselenggarakan. Tahun ini, 10-13 Oktober, diadakan di STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik, Pangkalpinang, Bangka Belitung.

Tak ragu lagi, ACIS memiliki signifikansi khusus dalam perkembangan kajian Islam Indonesia. ACIS tidak hanya merupakan usaha penting untuk lebih memajukan kajian Islam di lingkungan IAIN, STAIN, UIN, dan perguruan tinggi lain dan bahkan sarjana dan ahli asing yang juga hadir dalam forum-forum ACIS. Tidak kurang pentingnya adalah perannya dalam memperkuat distingsi Islam Indonesia melalui kerangka ilmiah dan akademis.

Saya masih ingat ACIS X 2010 lalu di IAIN Banjarmasin ketika tampil sebagai pembicara kunci membicarakan tema “Reinventing Indonesian Islam”. Tema ini berusaha menemukan kembali dan menegaskan distingsi Islam Indonesia di tengah gejolak perubahan dan gejolak Islam dan masyarakat Muslim, baik di Tanah Air Indonesia maupun di dunia internasional—yang tidak jarang menantang dan bahkan mempersoalkan distingsi Islam Indonesia.

Tema ACIS tahun ini tampak masih sangat terkait dengan gagasan tentang distingsi Islam Indonesia tersebut, yakni: “Mozaik Islam [Indonesia]: Ruang Publik dan Karakter Bangsa”. Tema ini mengisyaratkan tetap masih perlunya penguatan pengakuan atas Islam Indonesia yang penuh mozaik dan pernik yang unik. Kekayaan keunikan Islam Indonesia yang distingtif itu niscayalah tidak tertandingi masyarakat-masyarakat Muslim lain di mana pun.

Keragaman pengalaman dan ekspresi Islam Indonesia itu terejawantah secara jelas dalam ranah publik yang sangat terbuka dalam masa demokrasi pasca-Presiden Soeharto. Ranah publik yang terbuka itu tidak jarang menjadi ruang kontestasi di antara berbagai kelompok Muslim, baik pada level teologis, doktrin dan bahkan sosial, kultural, maupun politik.

Berkat ranah publik yang terbuka luas, kini kelompok-kelompok Muslim tertentu bisa bicara terbuka tentang ‘negara Islam’, ‘khilafah’, dan sebagainya. Hal prinsipil yang perlu dipegang dan dilaksanakan setiap kelompok adalah tidak menjadikan ranah publik yang terbuka luas itu untuk melakukan pemaksaan—apalagi kekerasan—guna memajukan pemikiran dan agenda sendiri dengan mengorbankan kaum Muslimin lain yang berbeda paham.

Pengakuan atas keragaman merupakan salah satu prinsip ta’adudiyah—multikulturalisme dalam Islam dan masyarakat Muslim. Dan, ini sepatutnya menjadi karakter yang dipegang teguh dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia. Berbagai kelompok di ranah publik sepatutnya merayakan keragaman itu dalam bingkai kesatuan. Inilah ‘bineka tunggal ika’—salah satu prinsip pokok dalam negara-bangsa Indonesia.

Karakter bangsa ini tampaknya perlu terus direvitalisasi karena adanya tendensi yang cenderung menguat di kalangan kaum Muslim tertentu untuk memaksakan pemahamannya sendiri—yang sering sangat sempit tentang Islam. Gejala semacam ini terlihat dari adanya kelompok Muslim yang dengan mudah mengharamkan praktik keagamaan dan budaya tertentu—seperti perayaan Maulid Nabi—yang sudah mentradisi dalam arus utama Muslim Indonesia sebagai bid’ah dhalalah belaka. Sangat absurd jika Muslimin yang merayakan Maulid Nabi Muhammad harus berujung masuk neraka karena bid’ah dhalalahkonon hanya membawa ke neraka.

Dalam konteks tradisi keagamaan dan kebudayaan Islam Indonesia itu, ACIS dapat terus memainkan peran penguatan distingsi kajian Islam Indonesia yang memberikan penekanan kuat pada pengakuan dan apresiasi atas keragaman ekspresi Islam pada lokalitas tertentu. Pada saat yang sama, tekanan ini mendorong sekaligus menguatkan pendekatan ‘non-mazhabi’ di kalangan akademisi dan umat secara keseluruhan sehingga dapat terus mengurangi fanatisme mazhab dan aliran dalam barisan umat. Dan, sebaliknya, memperkuat konvergensi mazhab dan aliran yang telah berlangsung secara intens dalam tiga dasawarsa terakhir.

ACIS mencerminkan peningkatan kuantitatif dan kualitatif sumber daya manusia yang ahli dan pakar dalam berbagai bidang kajian Islam. Sejak akhir 1980-an, kian banyak Dr, PhD, MPhil, dan MA tamatan dalam dan luar negeri yang berkiprah di IAIN, STAIN, UIN, dan banyak perguruan tinggi lainnya. Ketika berkiprah dalam lembaga dan birokrasi kampus, mereka memainkan peran krusial agenda-agenda modernisasi pendidikan Islam secara keseluruhan.

Sebagian lainnya, dengan academic credential yang tidak dapat diragukan lagi mengisi ranah publik, baik nasional maupun internasional. Dengan begitu, mereka menjadi “juru bicara” dan public opinion makers atau bahkan public intellectuals. Mereka juga sekaligus menjadi representasi suara Islam Indonesia di berbagai forum internasional di mancanegara. Hasilnya, Islam Indonesia tidak periferal dan marginal di kancah dunia global.

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tulisan dimuat pada Harian Republika, Kamis (13/10).