2019: Tahun Ukhuwah

2019: Tahun Ukhuwah

Tahun 2019 merupakan tahun politik dengan pesta demokrasi berbiaya sangat besar, karena bangsa ini memiliki hajat nasional secara serentak, yaitu pilpres dan pileg. Tensi kompetisi dan kontestasi antarcalon presiden dan wakil presiden dan para calon legislatif mulai terlihat meninggi.

Terkadang “aroma” saling serang antarkandidat terasa begitu kuat, sehingga nuansa permusuhan dan perpecahan. Sekurang-kurangnya keterbelahan pemihakan membuat sesama warga bangsa ini seakan saling berhadap-hadapan.

Pesta demokrasi lima tahunan ini idelanya menjadi momentum perubahan dan transformasi menuju masa depan bangsa lebih baik, tidak malah menimbulkan “keterbelahan dan permusuhan” antarpendukung yang terus menjadi “api dalam sekam”. Oleh karena itu, demokrasi harus menggembirakan, mencerdaskan, dan mendewasakan dalam menentukan pilihan kandidat yang berkontestasi.

Ujaran kebencian, permusuhan, provokasi, fitnah, dan “perang pencitraan bernuansa pembodohan” idealnya dihindari, jika para kandidat dan tim suksesnya mengembangkan demokrasi berukhuwah secara elegan. Semua pihak harus memiliki komitmen moral yang luhur dan tulus untuk menyelamatkan masa depan bangsa dari sengkarut dan keterpurukan: ekonomi, sosial budaya, pendidikan, hukum, keamanan, dan sebagainya.

Bagaimana 2019 ini dijadikan sebagai tahun ukhuwah (persaudaraan) sesama warga bangsa yang majemuk ini, sehingga semua tetap hidup rukun, damai, dan bersatu, meskipun berbeda pilihan?

Ukhuwah itu Indah

Ukhuwah itu perintah semua agama sekaligus merupakan fitrah kemanusiaan. Karena itu, ukhuwah keimanan (ukhuwwah imaniyyah), ukhuwah kemanusiaan (ukhuwwah insaniyyah), dan ukhuwah kebangsaan (ukhuwwah sya’biyyah) itu sangat indah, jika diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara harmoni.

Ukhuwah itu indah karena bersaudara itu digerakkan oleh iman kepada Allah SWT. Bertauhid sejatinya bukan hanya mengesakan Allah, tapi juga menyatukan umat dalam beribadah, bermuamalah, dan berakhak.Tauhidullah harus ditindaklanjuti dengan tauhidul ummah (integrasi umat). Umat yang bersatu dalam bingkai NKRI adalah umat yang bersaudara, memiliki visi, misi, dan orientasi hidup yang mulia.

Ukhuwah itu indah karena ukhuwah itu mendamaikan hati dan pikiran, agar terwujud kebajikan dan kebijakan yang arif dalam setiap tindakan. Salah satu kunci sukses Nabi Muhammad SAW ketika membangun masyarakat Madinah yang plural pascahijrah dari Makkah adalah komitmen kuat beliau dalam mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, antara umat Islam dengan umat lain yang berbeda agama, suku, etnis, bahasa dan budaya dalam suasana hidup bersama. Dengan ukhuwah, mereka hidup rukun, damai, saling bergotong royong, penuh toleransi, dan harmoni.

Ukhuwah itu indah karena merupakan solusi terhadap berbagai persoalan kebangsaan. Umat dan bangsa akan mudah “dipecah belah” oleh pihak lain, jika semua komponen bangsa tidak bersaudara dan bersatu. “Seorang Muslim adalah saudara sesama Muslim lainnya. Dia tidak akan menganiaya saudaranya dan tidak akan membiarkan saudaranya dianiaya orang lain. Siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa yang melapangkan kesusahan seorang Muslim, maka Allah akan melapangkan kesukarannya pada hari kiamat, dan siapa yang menutupi aurat seorang Muslim, maka Allah akan menutupinya di hari kiamat", (HR. al-Bukhari Muslim). Jadi, ukhuwah itu merupakan energi positif sekalgus solusi efektik untuk menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan.

Ukhuwah dalam sistem demokrasi itu indah karena terbukti menjadi sendi utama pembangunan masyarakat bangsa, bahkan menjadi pilar kemajuan peradaban. Ketika umat Islam meraih kemajuan peradabannya di masa Abbasiyah, salah faktor perekatnya adalah ukhuwah Islamiyyah dan ukhuwah lintas-iman. Dengan sikap saling menghargai perbedaan dan toleransi, Islam dapat bekerjasama dan bersinergi dalam mengembangkan sains dan teknologi.

Jadi, ukhuwah itu saling menguatkan dan meneguhkan, karena ukhuwah itu sarat dengan spirit bersinergi dan berbagi, bagai sapu lidi yang diikat menjadi satu kesatuan yang utuh dan menjadi kekuatan pembersih. Oleh karena itu, Nabi SAW menegaskan: “Orang Mukmin dengan sesamanya itu bagaikan sebuah bangunan, bagian-bagiannya saling mengokohkan. Beliau sambil mengeratkan jari-jari kedua tangannya.”(HR al-Bukhari Muslim).

Kohesivitas sosial umat dan bangsa harus terus dirawat dan dikembangkan. Pesan utama ukhuwah sya’biyyah atau wathaniyyah dapat dijadikan sebagai perekat kohesivitas sosial di tengah pluralitas kebangsaan dan kemanusiaan. Selain ditanamkan melalui proses pendidikan, pelajaran kohesivitas sosial keumatan dan kebangsaan perlu diteladankan oleh para tokoh dan guru bangsa. Rakyat dan publik perlu teladan autentik berupa “kemesraan dan kedamaian”, bukan ketegangan dan kebencian dari para pemimpin politik.

Menuju Demokrasi Substantif

Dengan keteladanan pemimpin dalam merajut ukhuwah, berbagai agenda pembangunan dan pemajuan bangsa ke depan dapat diwujudkan. Mustafa as-Siba’i dalam bukunya,Min Rawa’i Hadharatina (2002) menegaskan bahwa peradaban umat dan bangsa itu bisa maju apabila segenap komponen bangsa memiliki ruang kesadaran dan keinsafan untuk bersaudara, berdialog, berdamai,bersinergi, dan saling berkontribusi. Sebaliknya, pertikaian, permusuhan, dan kebencian merupakan benih disintegrasi dan disharmoni umat dan bangsa.

Di tengah maraknya globalisasi kebencian (‘awlamat al-karahiyah), pontensi konflik kepentingan dan kerawanan sosial perlu dideteksi dini dan dikanalisasi melalui berbagai ukhuwah keumatan dan kebangsaan.Karena itu, gerakan ukhuwah nasional dalam berbagai lapisan sosial menjadi sangat penting dibudayakan. Ketulusan para pemimpin berukhuwah satu sama lain akan menjadi perekat kohesivitas sosial warga bangsa.

Tahun 2019 janganlah dimaknai kontestasi hidup mati antara dua kubu capres-cawapres, tetapi merupakan tahun demokrasi substantif dengan ukhuwah sejati. Oleh karena itu, nilai-nilai demokrasi harus teraktulisasi dalam proses politik yang jujur, adil, dan bermartabat. Rakyat harus menikmati tegaknya keadilan, kesetaraan, kedamaian, dan keharmonisan dalam berbangsa dan benegara.Jangan sampai demokrasi “dibajak” dan “dibeli” oleh para pemodal “jahat” yang berkepentingan menguasai akses ekonomi dan mengeruk kekayaan bangsa.

Demokrasi substantif bukan demokrasi untuk politik kekuasaan, tetapi demokrasi yang mengedepankan politik kemasalahatan bersama. Demokrasi substantif menghendaki komitmen semua untuk mendahulukan kepentingan nasionalisme, daripada kepentingan golongan dan partai.

Dengan modal sosial ukhuwah kebangsaan dan demokrasi substantif tersebut, rakyat Indonesia diharapkan semakin arif dan dewasa dalam menyikapi perbedaan pilihan politik. Pilihan capres dan cawapres boleh beda, namun kita semua harus tetap bersaudara.

Karena itu, para pemimpin bangsa ini, khususnya para capres-cawapres, harus dapat memberikan keteladanan dan keadaban politik yang menyejukkan. Nilai-nilai ukhuwah kebangsaan dalam berdemokrasi perlu dijaga, agar spirit persatuan dan persaudaran dalam bingkai NKRI tidak luntur karena politik kekuasaan yang pragmatis demi terwujudnya Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur, NKRI yang sejahtera, adil, makmur, dalam lindugan dan ampunan Tuhan. Semoga! (mf)

Dr Muhbib A Wahab MA, Kepala Prodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: www.republika.co.id, Senin, 31 Desember 2018.