Zonasi Terbit, Prestasi Terbenam

Zonasi Terbit, Prestasi Terbenam

Dosen dan Sekretaris Pascasarjana Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta Jejen Musfah

Jejen Musfah

KEBIJAKAN zonasi menuai protes dari orang tua siswa. Permendikbud 17/2017 menyebutkan, setiap sekolah harus menerima 90% peserta didik dari zona tempat sekolah itu ada. Sementara 10% lainnya, 5% untuk mereka yang berprestasi dengan ketentuan dan 5% untuk perpindahan antardaerah atau luar negeri. Diatur pula SMA dan SMK khusus kreasi provinsi harus menampung minimal 20% anak didik berasal dari keluarga tidak mampu di provinsi tersebut. Diatur seleksi siswa baru mempertimbangkan urutan prioritas sesuai daya tampung berdasar ketentuan jarak tempat tinggal ke sekolah, usia, nilai hasil ujian SD, dan prestasi. Zonasi memiliki keunggulan seperti meminimalisasi keterlambatan siswa, siswa bisa lebih lama di sekolah, dan mengurangi biaya antar jemput siswa. Meski demikian, sistem ini perlu mendapat beberapa catatan. Pertama, pemerataan. Sistem kompetisi kerap membuat siswa tidak diterima di sekolah negeri yang dekat dengan rumahnya. Penerimaan siswa baru berdasarkan prestasi, bukan zonasi. Kebijakan zonasi menjamin siswa bisa diterima di sekolah negeri yang dekat de­ngan rumahnya meski nilai akademiknya rendah. Benarkah sistem ini menjamin pemerataan pendidikan, terutama bagi siswa miskin?. Zonasi menguntungkan siswa yang rumahnya terdapat sekolah negeri tetapi merugikan mereka yang jauh dari sekolah negeri meski prestasinya baik. Tidak semua wilayah memiliki sekolah negeri atau ada tapi jumlahnya terbatas—tidak sesuai dengan jumlah lulusan TK, SD, dan SMP. Sekolah favorit berada di pusat kota dan berdekatan. Akhirnya, sebagian siswa miskin yang nilainya rendah tetap harus mendaftar di sekolah swasta. Sekolah swasta dengan kualitas sama dengan sekolah negeri pasti berbiaya mahal se­hingga siswa miskin tidak bisa mendaftar di sana. Kecuali biaya sumbangan yang tidak terjangkau, jarak sekolah dengan rumah yang jauh menimbulkan biaya antar jemput siswa yang mahal. Belum uang jajan karena siswa harus makan siang di sekolah. Kedua, sekolah favorit. Sistem kompetisi menjadikan sekolah negeri diisi oleh anak-anak yang unggul secara akademik. Fasilitas dan guru yang bagus serta biaya yang bahkan gratis menjadikan sekolah negeri incaran setiap orang tua. Muncullah istilah sekolah favorit vis a vis  sekolah pinggiran atau sekolah guram. Sistem zonasi membuat orang tua kecewa karena prestasi anaknya tidak serta merta menjadikannya diterima di sekolah negeri. Siswa yang rajin belajar agar meraih nilai sekolah dan UANnya bagus dengan tujuan diterima di sekolah negeri merasa sia-sia karena kebijakan zonasi dikeluarkan menjelang penerimaan siswa baru 2017. Apakah sistem baru ini malah menjadikan siswa malas belajar merupakan pertanyaan yang menarik diteliti. Sebab, tanpa nilai yang bagus pun, si anak bisa diterima di sekolah negeri asal rumahnya dekat. Demikian juga anak-anak yang rumahnya jauh dari sekolah negeri tidak termotivasi untuk belajar dengan giat karena yang menentukan kelulusan bukan prestasi akademik tetapi zonasi. Maka, orang tua kaya bisa saja pindah rumah di sekitar sekolah negeri favorit atau memanipulasi kartu keluarga saudara atau orang lain demi kelulusan anaknya. Orang kaya juga bisa memanfaatkan oknum guru yang tergiur jual beli kursi. Ketiga, siswa titipan pejabat dan anggota dewan. Penerimaan siswa baru kerap memunculkan masalah siswa titipan pejabat atau anggota dewan yang membuat kepala sekolah dilema. Meski tidak sesuai zonasi, siswa titipan bisa saja diterima. Jika ini tetap terjadi, sangat tidak adil bagi siswa miskin atau siswa yang berprestasi yang tidak diterima di sekolah negeri. Praktik siswa titipan diduga tidak mungkin bisa terjadi karena sistem PPDB secara daring. Seleksinya berdasarkan data siswa yang masuk ke dalam sistem sehingga bisa dipantau oleh masyarakat.

Siswa tertentu yang namanya tiba-tiba muncul dalam kelulusan bisa menimbulkan masalah, terutama bagi orang tua yang merasa anaknya tidak lulus padahal syaratnya mencukupi. Meski demikian, bukan tidak mungkin sistem daring bisa “ditembus”.

Bukan hanya anggota dewan dan pejabat, guru juga bisa terjerat praktik penitipan anaknya di sekolah negeri di mana ia mengajar atau sekolah negeri lainnya. Meski tidak tertulis, mungkin kepala sekolah merasa perlu membela gurunya dengan alasan jiwa korps:“bagai­mana mereka mengajar anak-anak orang lain sementara anak mereka sendiri tidak lulus di sekolah negeri”. Ini bisa terjadi karena tidak semua rumah guru dekat dengan sekolah tempat dia mengajar. Sekolah Baik Sekolah baik dan berbiaya terjangkau merupakan impian masyarakat. Itulah sekolah negeri yang diperebutkan oleh orang tua setiap tahun ajaran baru karena jumlahnya yang terbatas. Meski mungkin ada sekolah swasta bagus yang terjangkau, image  positif masyarakat terhadap sekolah negeri yang menjanjikan masih sangat kuat. Sekolah negeri masih menjadi pilihan pertama orang tua untuk belajar anak-anak mereka. Bagaimana mengatasi celah kelemahan sistem zonasi? Pertama, percepatan pembangunan sekolah negeri. Pemerataan pendidikan bagi siswa miskin bisa diatasi dengan pendirian sekolah negeri yang saat ini jumlahnya sangat minim. Sekolah negeri terjangkau masyarakat karena seluruh pembiayaannya berasal dari pemerintah melalui APBN dan APBD. Fasilitas sekolah negeri juga umumnya sudah bagus. Kedua, bantuan pemerintah terhadap sekolah swasta. Kecuali dana BOS dan tunjangan profesi guru, pemerintah harus mendukung terwujudnya sekolah swasta yang bagus, terutama yang bebas biaya. Misalnya, bantuan fasilitas belajar, tunjangan kesejahteraan guru, dan penempatan guru negeri di swasta. Dengan demikian, pandangan masyarakat terhadap sekolah swasta lambat laun akan berubah. Image  sekolah swasta baik itu mahal harus berubah. Semakin besar peran pemerintah terhadap sekolah swasta akan semakin kecil mereka meminta sumbangan kepada wali siswa. Ketiga, siswa kaya sekolah di sekolah swasta. Meski pilihan sekolah adalah hak orang tua siswa, prioritas sekolah negeri sebaiknya diberikan kepada siswa miskin dengan kuota 50%, misalnya. Berbeda dengan siswa miskin, siswa kaya bisa memilih sekolah swasta yang bagus. Karena itu, pemerintah harus membuat sistem yang memungkinkan siswa miskin bisa sekolah di negeri. Lebih dari ini, kesadaran orangtua kaya dalam mendahulukan mereka yang lemah dalam akses pendidikan sangat penting. (Farah NH/zm)

Penulis adalah Ketua Magister Manajemen Pendidikan Islam UIN Jakarta dan Tim Ahli PB PGRI. Tulisan dimuat Koran SINDO, Rabu 19 Juli 2017.