Workshop PAI: Calon Mahasiswa PAI Wajib Bisa Baca Kitab Kuning

Workshop PAI: Calon Mahasiswa PAI Wajib Bisa Baca Kitab Kuning

Gedung FITK, BERITA UIN Online-- Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta menggelar Workshop bertema “Pengembangan Kurikulum Konsentrasi Jurusan PAI,” pada Selasa (15/5/2018) di Ruang Sidang FITK lt 2.

Didapuk sebagai narasumber, Syafi’i (Kasubdit Ketenagaan Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag RI), Dr Bahrissalim MA (Direktur Madrasah Pembangunan UIN Jakarta), Dr Akhmad Sodiq MA (Dosen FITK UIN Jakarta), dan Dr Sururin MAg (Ketua LPM UIN Jakarta) dengan Keynote Speech Prof Dr Abuddin Nata MA (Guru Besar PAI UIN Jakarta).

Abuddin menyampaikan, dari dahulu Jurusan PAI menjadi jurusan istimewa di UIN Jakarta yang alumninya bisa menempati dan menguasai berbagai bidang disiplin ilmu keagamaan.

“Kuncinya adalah pada penguasaan literatur bahasa Arab. Belajar Tafsir langsung menggunakan literatur aslinya, yaitu kitab Tafsir berbahasa Arab. Dulu kuliah tidak ada referensi bahasa Indonesia, semua bahasa Arab,” ujar Abuddin di hadapan para peserta workshop.

Agar bisa keluar emas, walaupun yang masuk tembaga, lanjut Abuddin memberikan metafor, calon mahasiswa PAI harus dites baca Kitab Kuning dan Alquran.

Senada dengan Abuddin, Dr Akhmad Sodiq mengusulkan, Jurusan PAI diberikan wewenang untuk mematrikulasi mahasiswanya pada materi Qiraatul Kutub dan Qiraatul Qurán.

“Mahasiswa harus diketati di awal. Kalau saat ujian komprehensif, maka kita tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan kemampuan yang terbatas, terpaksa kita harus luluskan,” ujar Sodiq.

Selain itu, agar lulusan PAI memiliki pengetahuan yang profesional, Sodiq mendorong pembukaan Prodi PAI agar segera diwujudkan, seperti Prodi Fiqh, Tafsir-Hadis, Pemikiran Islam, dan Sejarah Kebudayaan Islam.

Sementara itu, Syafi’i menunjukkan berbagai survei rendahnya kualitas guru PAI dengan beberapa faktor, di antaranya melemahnya fungsi kampus pendidikan, baik sebagai karakter guru atau kompetensinya.

“Akibat transformasi, fungsinya melemah, standarnya semakin kendor. Dulu ada PGA, SPG di sekolah menengah, sekarang hanya ada pada jenjang sarjana,” ujarnya.

Faktor lainnya menurut Syafi’i, guru lemah itu karena hampir 600 PTKIS yang memiliki Prodi Trabiyah, tenaga pengajarnya bukan lulusan Tarbiyah.

Selain itu, terkait program PPG yang pelaksanaannya telah disetujui Kemenristek Dikti, didesain untuk Paket Kependidikan bagi calon guru dan Paket Profesi Guru. (mf)