Wajah Lingkungan Hidup Kita

Wajah Lingkungan Hidup Kita

Penduduk bumi terus ber­tambah, tak terkecuali di In­donesia. Seiring per­tum­buhan penduduk, ke­bu­tuh­an terhadap hunian, in­dus­tri, air, dan makanan pun akan ma­kin bertambah. Pem­ba­ngun­­­an tan­pa perencanaan ma­tang dan ti­dak peduli dampak ling­kung­an akan berakibat bu­ruk pada kua­litas hidup ma­nu­sia di da­lam­nya, cepat atau lambat.

Indonesia adalah satu con­toh negara gagal dalam pem­ba­ngun­an yang tidak peduli ling­kung­an hi­dup yang hijau, sehat, dan nya­man. Pertama, hutan se­ngaja di­ba­kar untuk pemba­ngun­an in­dus­tri. Luas hutan ki­t­a ber­ku­rang tiap tahun. Asap si­sa pem­ba­karan mencemari ling­kungan w­i­layah Indonesia, ju­ga negara tet­angga, seperti Si­nga­pura dan Ma­laysia.

Sekolah dan kampus pun diliburkan. Dam­pak pem­ba­kar­an hutan sa­ngat buruk bagi ling­k­ungan dan k­e­manusiaan, ta­pi pemerintah ti­dak bisa men­ce­gah ritual t­a­hun­an peng­usaha-pengusaha ra­kus. Mereka ti­dak pernah jera mes­ki hu­kum­annya tidak ringan.

Kedua, sawah-sawah beralih fungs­­i jadi perumahan, mal, apar­temen, dan industri. Hasil ga­bah dan beras kita berkurang banyak setiap tahun. Sebagai ne­geri agraris, tanah-tanah kita luas membentang dan subur.

Alih-alih swasembada pangan, kita malah memilih impor be­ras. Generasi milenial tak suka ja­di petani di sawah dan di ke­bun, tetapi memilih bekerja kan­­toran. Berbaju rapi, berdasi, dan wangi! Pembangunan demi pem­bangunan melanggar jalur hi­jau karena aparat bisa dibeli ru­­piah pengusaha.

Ketiga, gedung perkantoran, mal, hotel, apartemen, dan kam­pus dibangun bertingkat ka­­r­ena tanah langka dan mahal di kota-kota besar. Pem­ba­ngun­an dipu­sat­kan di kota-kota be­sar, ter­ma­suk kampus. Kon­sum­si lis­trik sangat tinggi ka­re­na gedung-gedung itu me­mer­lu­kan penerangan, komputer, lift, dan AC.

Bahan bakar mi­nyak bu­mi sebagai salah satu sum­ber ener­gi listrik lambat laun akan me­nipis, dan ak­hir­nya habis. Sin­g­katnya, ruang-ruang hijau ki­ta berubah jadi gedung-ge­dung tinggi pen­ca­kar langit. Bu­mi pun semakin panas.

Keempat, mal, toko, dan res­to­ran menggunakan plastik un­tuk tas belanja konsumen. Di­ban­dingkan tas kertas, sampah tas plastik sulit terurai, butuh wak­tu ratusan tahun. Gerakan tas plastik berbayar dua tahun la­lu tidak berhasil, padahal tu­ju­an­n­ya bagus agar masyarakat he­mat plastik karena merusak ling­kungan. Bukti bahwa ma­sya­rakat kita belum bisa dididik pe­duli lingkungan.

Kelima, sekolah, kampus, bank, kantor, tol, dan parkir, ti­dak (semua) menerapkan prog­ram paperless. Kertas sengaja di­ha­mbur-ham­bur­kan, jum­lah­­nya be­sar. Tidak ada upa­ya peng­­he­matan ker­tas dalam su­rat me­nyu­rat, pem­buat­an la­por­an, ma­ka­lah, skrip­si, tesis, dan di­­ser­tasi.

Iro­ni­s, bah­kan di du­nia pen­­didikan ti­dak ada upa­ya se­rius me­ngurangi ker­­tas. Bahan uta­ma ker­­t­as adalah ka­yu po­­hon. Semakin tinggi kon­­sum­si ker­tas, se­ma­kin ba­nyak pohon di­tebang. Se­ma­kin ba­nyak po­hon d­i­­te­bang, se­ma­kin ting­gi po­ten­si banjir dan s­e­ma­kin se­­d­i­kit pe­r­se­dia­an air di tanah.

Keenam, polusi udara se­ma­­kin besar karena tingginya peng­gunaan kendaraan roda dua dan empat. Kemacetan di kota-kota semakin menjadi-ja­di dan parah. Masyarakat me­mi­lih kendaraan pribadi karena mu­dahnya kredit, per­tum­buh­an kelas menengah, dan bu­ruk­nya transportasi massal di In­do­ne­sia.

Banyak mobil pribadi ha­nya diisi satu-dua penumpang. Pem­borosan massal yang di­biar­­kan. Mungkin penggunaan ken­daraan pribadi berkurang se­d­ikit karena telah ada taksi dan ojek daring (online).

Keenam masalah tersebut me­nunjukkan bahaya ling­kung­an hidup Indonesia yang ti­dak ringan. Semua pihak ber­tang­gung jawab dan harus ber­pe­ran untuk mengatasinya. Per­ta­ma, pemerintah tidak boleh ka­lah oleh pengusaha. Pem­ba­ngun­an pabrik, mal, apar­te­men, dan ho­tel tidak boleh me­lang­gar tata ruang dan jalur hijau.

Pabrik-pabrik yang merusak ling­kungan segera ditutup kar­e­na membahayakan masyarakat se­kitar. Orientasi pem­ba­n­gun­an bukan semata peningkatan pen­dapatan daerah tapi men­ja­ga lingkungan tetap sehat, nya­man, dan hijau. Pembangunan ti­dak dipusatkan di kota-kota be­s­ar tapi bergeser ke daerah-dae­r­ah pinggiran. Konsep se­tiap pembangunan juga harus go green  dan pemerataan.

Kedua, ganti tas plastik de­­ngan tas kertas. Jika peng­usa­ha dan pemerintah mau ma­ka ma­sya­rakat akan terbiasa. ­Mem­­ba­ngun budaya me­mer­lu­kan pro­ses dan waktu yang pan­j­ang. He­mat air dan listrik. Ja­ngan biar­kan keran bocor (mes­ki kecil) dan AC menyala jika tidak dig­u­na­kan. Pengabaian hal-hal kecil me­rupakan awal mu­la ker­u­sak­an yang besar.

Ketiga, jalankan program pa­­per­less. Kampus, kantor swas­ta, dan pemerintah me­ngu­rangi peng­gunaan kertas. Gan­t­i de­ngan surat, laporan, dan kartu yang berbasis elek­tro­nik. Era di­gi­tal saat ini tidak akan sulit me­ne­rapkan prog­ram paperless. Ha­nya perlu ke­mauan yang kuat dari ­p­e­mim­pin. Selain m­e­ngu­rangi peng­gu­naan kertas, hal ini akan meng­hemat k­e­uang­an per­usa­haan dan kampus.

Keempat, gerakan sejuta po­­­­hon. Di rumah, kantor, se­ko­­l­ah, dan kampus, fungsi po­­h­on un­tuk kenyamanan dan ke­­­te­duh­an. Bekerja dan be­­la­jar me­ngu­ras energi dan emo­si se­­hingga mem­bu­tuh­kan re­lak­­sasi. Ling­kung­­an yang hi­jau akan me­ngem­­ba­li­kan k­e­bu­­gar­­an dan men­­da­tang­kan ide-ide baru

De­mi­ki­an pula ru­­mah tempat kem­bali sele­pas be­kerja sehari p­e­­nuh akan benar-benar m­e­ngem­­ba­likan ener­gi yang hi­lang jika di se­ki­tarnya banyak po­­hon. Kampus-kampus negeri yang su­­dah ke­ha­bisan lahan hi­­jau se­­baik­nya se­gera di­­pin­­dah­­kan ke ping­­­­gir­an ko­­t­­a agar pu­­­nya taman-taman hi­jau yang me­­­­m­a­dai. Ma­­­­ha­­sis­wa dan do­­sen yang be­­la­­jar pun akan nya­man.

Ak­hir­nya, ling­kung­an buruk di be­be­­rapa ti­tik ne­ge­ri ini ter­ja­di karena ulah kita sendiri. Con­toh, air su­ngai dan laut yang ko­tor, sam­­pah ber­se­rak­­­an, sa­­lur­­an air mam­pat, per­kam­pung­an ku­muh, lang­kanya lahan hijau, da­n p­o­lusi udara. Peng­usa­ha yang ta­mak, pejabat yang ra­kus, pe­ne­gak hukum yang ter­beli, dan war­ga yang abai ­te­r­ha­dap isu-isu ling­­kung­­an adalah pa­­du­an lengkap ter­­wu­judnya lin­g­­kung­an In­do­ne­­sia yang bu­ruk saat ini.

Semua elemen bangsa ter­se­­but harus bergerak bersama dan se­­gera bertindak nyata un­tuk ling­­kungan yang lebih baik, i­n­­dah, dan nyaman. Ti­dak ada ka­­ta ter­lambat untuk me­mulai sua­­tu ke­baikan.

De­mi In­do­ne­sia yang le­bih baik ba­gi ge­ne­ra­si pe­nerus dan bagi du­nia. Mung­­kin bukan ki­ta yang akan me­­nik­mati ha­sil­nya, tapi ge­ne­ra­si men­datang. De­­ngan d­­e­m­­ikian, ke­n­angan m­e­reka ten­tang kita ada­lah ke­nang­­an yang baik dan mem­bang­­ga­kan. Kita su­dah se­ha­rus­nya me­wa­ris­kan bumi yang ny­a­man dan hi­jau, bukan bu­mi yang me­n­ji­jik­kan dan mematikan.

Jejen Musfah

Dosen Magister UIN Sayrif Hidayatullah,

Tim Ahli PB PGRI

Artikel telah dimuat pada kolom Opini harian Sindo, edisi Rabu 10 Januari 2018. (lrf)