Wajah Kita di Ruang Publik

Wajah Kita di Ruang Publik


PADA 1983 saya pernah menjadi pemandu wisata untuk seorang teman dari Amerika Serikat, Richard Hunt namanya. Dia ingin merasakan naik bus umum dari Jakarta ke luar kota, maka dipilih rute ke Sukabumi.

 

Begitu masuk terminal Blok M untuk memilih bus jurusan luar kota, dia sempat berdiri bengong, mulutnya diam, pandangan mata tertuju ke arah bus. Singkat cerita, akhirnya kami naik bus.”Saya tidak habis mengerti, mengapa orang mesti berebut dan berdesakdesakan untuk masuk bus,” ujarnya dengan nada heran. Bukankah kalau antre akan lebih nyaman dan tertib?

 

Dia lebih heran lagi mengapa hal itu terjadi,padahal di sana ada petugas yang menggunakan seragam, yang memang diam saja. Saya berusaha menjelaskan,namun baginya tetap sulit memahami mengapa setiap hari orang berebut, berdesakan, dan saling menggencet. Belum habis keheranannya, dia kaget ketika sopir bus tadi membunyikan klakson berulang kali untuk menyalip kendaraan di depannya. ”Menekan klakson itu sangat tidak sopan untuk masyarakat Amerika,kecuali situasi darurat,”katanya.

 

Demikianlah, saya yakin apa yang saya alami dan kemukakan ini juga menjadi keheranan banyak teman yang pernah tinggal di luar negeri di mana antre,bersih,dan pelit tekan klakson telah membudaya.Tidak usah jauh-jauh, di Singapura pun kalau ingin naik taksi mesti antre dulu. Merokok sembarang dan membuang sampah di luar tempatnya akan dikenai denda,sehingga Singapura disebut sebagai fine city, dalam arti cantik dan kota yang rajin memungut denda.

 

Mengapa Sebatas di Ruang Masjid?

Dalam teori, masjid merupakan pusat peradaban. Dari sana mengalir nilai-nilai dan perilaku mulia untuk diteruskan ke dalam ranah publik.Jadi, kalau kebanyakan masyarakat Indonesia yang muslim biasa salat berjamaah di masjid yang mensyaratkan antre, teratur, dan bersih; mengapa semua itu hanya berhenti di masjid saja?

 

Apakah ajaran agama hanya berlaku di ruang ibadah? Bukankah fungsi sosial agama untuk membangun kehidupan pribadi dan sosial yang berkeadaban? Untuk mengenal karakter sebuah bangsa, perhatikan saja bagaimana kehidupan sosialnya, terutama di ruang publik pusat keramaian.Di Jepang,misalnya,betapa padatnya stasiun kereta api dipenuhi calon penumpang,namun tak ada yang berdesak-desakan berebut kursi,juga tak ada sampah.

 

Stasiun di sana layaknya sebuah masjid atau kantor, semua sudutnya bersih. Bahkan setiap stasiun dan pusat-pusat keramaian mesti menyediakan fasilitas untuk orang cacat—terutama tunanetra,meski jumlah tunanetra tidak banyak. Ada jalur khusus yang membuat tunanetra pejalan kaki merasa dibimbing oleh garis timbul yang mesti dilalui. Begitu pun di airport, ada kursi khusus untuk anakanak, orang cacat,dan ibu hamil.

 

Dalam ruang publik itulah hasil proses pendidikan dan keberagamaan akan terlihat. Islam mengajarkan prinsip ihsan, yaitu senang mendahulukan kepentingan orang lain, baru diri sendiri. Prinsip ini mestinya melahirkan sikap dan tradisi antre, tradisi melayani, dan tradisi menolong; bukannya saling berebut,menyikut dan menginjak seperti terlihat di terminal bus.

 

Wajah sejati sebuah masyarakat bukannya ketika berada di masjid atau gereja, melainkan dalam ruang publik. Ketika berhenti di jalan karena lampu traffic light berwarna merah, ada pesan moral agar kita menghargai orang lain yang juga memiliki kepentingan sama, yaitu menyeberang jalan. Jadi, traffic light sesungguhnya merupakan pelembagaan atau institusionalisasi pesan moral agar kita hidup tertib, teratur, dan saling menghargai pihak lain. Karena itu, siapa yang suka melanggar lampu merah menunjukkan pribadinya tidak biasa menghargai orang lain.

 

Kalau saja menjadi pemimpin,akan menjadi tiran,suka melanggar aturan, tidak segan korupsi,dan mau mengambil hak orang lain. Dengan demikian, sejak masih sekolah dasar mestinya ada pelajaran budi pekerti, anak-anak dibawa ke tempat keramaian lalu dikenalkan dan dilatih untuk membiasakan antre dan menghargai orang lain. Itulah salah satu prinsip toleransi dan demokrasi.

 

Mereka disadarkan sejak dini bahwa untuk mengukur akhlak seseorang itu bukannya ketika hidup menyendiri di kamar atau masjid, melainkan bagaimana hidup bermasyarakat. Para anggota DPR dan pejabat negara yang sering melakukan studi banding ke luar negeri mestinya tahu benar bagaimana bersih dan teraturnya ruang publik di beberapa negara yang dikunjungi.

 

Mereka juga tahu bahwa sungai yang berada di tengah kota bagaikan kalung mutiara bagi seorang wanita yang menambah cantik penampilannya. Sekian banyak kota di dunia dipercantik oleh adanya sungai di tengahnya, seperti halnya Paris. Pemerintah dan masyarakat secara kompak menjaga kebersihan dan keindahan sungai-sungai itu. Bahkan siapa yang memotong pohon tanpa izin pemerintah, akan terkena hukuman. Sungai itu menjadi hiasan kota dan menyejukkan mata sehingga orang membangun rumah menghadap ke sungai.

 

Harga rumah di dekat sungai menjadi naik harganya. Di Indonesia, rumah yang letaknya dekat sungai harganya akan anjlok karena menjadi pelanggan banjir. Posisi sungai yang berada di belakang rumah pun cenderung kotor, tempat orang membuang hajat yang menimbulkan pemandangan dan bau tak sedap. Rendahnya etika publik ini tidak saja terlihat dalam berkendaraan, melainkan juga dalam wacana politik dan media massa.

 

Sengketa keluarga, terutama keluarga para selebriti,sering menjadi sumber sensasi yang dijual oleh surat kabar dan televisi semata untuk menaikkan oplah dan rating.Pemberitaan itu bukannya membantu mendamaikan, tetapi malah terkesan mempertajam konflik dan memperbesar persoalan serta menyebarkannya kepada masyarakat luas.

 

Di situ batas antara wilayah privasi dan wilayah publik menjadi kabur.Perlu dibedakan hal-hal yang pantas dipublikasikan dan yang mesti ditutupi. Seorang teman bercerita, kalau Anda jalan-jalan ke Spanyol dan Anda kehilangan dompet atau tas karena dicopet, maka tak akan ada surat kabar atau televisi setempat yang memberitakan. Alasannya sederhana saja: untuk menjaga citra bangsanya dan agar turis luar tetap mau datang ke Spanyol.Kondisi ini sangat berbeda dari Indonesia.

 

Lagi-lagi seorang teman bercerita, membeludaknya turis ke Malaysia, Singapura, dan Thailand karena diuntungkan oleh Indonesia. Sekian berita dan cerita kerusuhan yang terjadi di sini disebarkan ulang di negeri tetangga sehingga turis enggan dan takut ke Indonesaia. Siapa sumber beritanya? Media massa kita sendiri. Kalau ada pemberitaan turis dijambret, maka media massa tetangga tinggal memberitakan ulang.

 

Juga berita betapa semrawutnya suasana airport yang tidak aman baik bagi para TKI maupun turis yang baru tiba,yang memetik untung adalah negara tetangga. Dengan cerita ini tentu saya tidak antikebebasan pers.Peran pers justru ingin membantu memberitakan agar masyarakat berhati-hati dan pemerintah mengambil tindakan.

 

Namun ketika pemberitaan terus-menerus sementara pemerintah tidak melakukan perbaikan, maka akumulasi dari semua itu ternyata memukul balik wajah kita sehingga turisme bangsa ini jauh ketinggalan. Padahal, kekayaan alam dan budaya sungguh bangsa ini tak sebanding dengan negaranegara jiran. Dalam dunia arsitektur, landscaping dan tata kota pun begitu. Dilihat dari segi bangunan, banyak sekali yang indah, bagus, dan modern arsitekturnya.

 

Begitu masuk, kita dibuat kagum oleh interiornya yang sangat bagus. Namun keindahan interior dan arsitektur bangunan tadi menjadi rusak ketika lingkungan luarnya kumuh dan sangat kontras. Lagi-lagi, pertumbuhan masyarakat kita memang cenderung menjadi egois, sehingga kehidupan sosialnya selalu saja tidak sedap dilihat dan didengar. Anggapan dan kepercayaan bahwa masyarakat kita senang gotong-royong dan peduli terhadap penderitaan orang lain sudah lama dipertanyakan.

 

Ketika terjadi penjambretan atau penodongan di jalan, orang memilih diam mencari selamat, bukannya ramai-ramai menolong secara serempak. Derita apa lagi yang mesti ditanggung masyarakat akibat semburan lumpur di Sidoarjo? Tetapi derita itu berkepanjangan entah sampai kapan.

 

Untuk menentukan status hukum siapa yang salah bisa saja diundur-undur.Tetapi derita rakyat justru semakin parah. Lagi-lagi, wajah kita dalam ruang publik memang sungguh tidak enak diceritakan.(*)

 

Tulisan ini pernah dimuat di Koran Seputar Indonesia, Jumat 21 November 2008