UIN Jakarta Kukuhkan Profesor Ilmu Kesehatan Lingkungan

UIN Jakarta Kukuhkan Profesor Ilmu Kesehatan Lingkungan

[caption id="attachment_9795" align="alignleft" width="300"]Prof. Dr. H. Arif Sumantri, SKM., M.Kes. dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Kesehatan Lingkungan UIN Jakarta, Ahad (21/02). Dalam pidato pengukuhannya, Dekan FKIK ini mengingatkan pentingnya restorasi sanitasi dalam pengendalian Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Prof. Dr. H. Arif Sumantri, SKM., M.Kes. dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Kesehatan Lingkungan UIN Jakarta, Ahad (21/02). Dalam pidato pengukuhannya, Dekan FKIK ini mengingatkan pentingnya restorasi sanitasi dalam pengendalian Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)[/caption]

Auditorium Harun Nasution, BERITA UIN Online— UIN Jakarta mengukuhkan Prof. Dr. H. Arif Sumantri, SKM., M.Kes. sebagai Guru Besar bidang Ilmu Kesehatan Lingkungan pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK). Pengukuhan yang dilaksanakan dalam Sidang Senat dan Wisuda Sarjana UIN Jakarta ke-99 di Auditorium Harun Nasution, Ahad (21/02), ini ditandai prosesi penyematan toga guru besar oleh Rektor Prof. Dr. Dede Rosyada MA. Dalam pengukuhannya, Dekan FKIK periode 2015-2019 ini menyampaikan orasi ilmiah bertajuk Restorasi Sanitasi Pada Pengendalian Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Dalam orasi ilmiahnya, Arif mengingatkan masih berkembangnya masalah penularan penyakit menular bernama Dengue Haemorhagic Fever atau lebih lebih popular dengan nama penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Menurut lelaki kelahiran Jakarta, 8 Agustus 1965, ini persebaran penyakit DBD di Indonesia masih relatif tinggi dibanding di Singapura dan Malaysia. Bahkan, melalui regulasi dan kebijakan ketat, kedua Negara tetangga relatif berhasil membebaskan warganya dari ancaman penyakit DBD. Tingginya persebaran DBD di Indonesia, terlihat dari jumlah kasus sebanyak 3.882 kasus di 2015 dengan 100 jiwa diantaranya meninggal dunia. “Kendati turun dari 2014, dimana terdapat 7.244 kasus dengan 197 jiwa meninggal dunia, namun masih adanya ribuan kasus merefleksikan masih tingginya ancaman penyakit ini,” tutur peserta Post Doctoral di Juntend University, Tokyo (2011) ini. Dalam amatan Arif, masih tingginya kasus DBD di tanah air terjadi karena cara pencegahan melalui pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang belum optimal. Pasalnya, metode PSN lebih berorientasi pemberantasan nyamuk, tidak termasuk membunuh jentiknya. “Menghilangkan jentik kurang mendapat perhatian karena dianggap tidak jelas hasilnya dibanding pengasapan,” jelasnya. Bila masih menggunakan potensi demikian, Indonesia masih akan menyimpan potensi persebaran penyakit demikian. Terlebih, mengutip data Kementerian Kesehatan, sampai akhir tahun 511 kabupaten/kota di Indonesia berpotensi jadi tempat berkembangnya vector DBD. Sebab 90% dari jumlah tersebut atau 424 kabupaten/kota adalah endemic DBD. “Mengingat resiko yang ditimbulkannya, pencegahannya memerlukan langkah jelas dan optimal,” tandasnya. Salah satunya, kata Arif, pencegahan demikian bisa dilakukan dengan pendekatan restorasi sanitasi dengan memanfaatkan potensi kesehatan lingkungan sekitar, baik sumber daya alam, sumber daya buatan, dan berbagai komponen penunjang. Diantaranya pengaktifan posyandu, pembentukan daerah kesehatan lingkungan, penggalakan hidup bersih, dan pemanfaatan potensi sumber daya alam berupa tanam-tanaman pencegah penyakit tersebut. “Diharapkan, dengan restorasi sanitasi melalui penguatan kesehatan lingkungan, pengendalian vector DBD akan lebih efektif,” harapnya. (lrf/sf/zm)