The Fallen Creature

The Fallen Creature

[caption id="attachment_8220" align="alignleft" width="300"]Guru Besar UIN Jakarta Prof Dr Komaruddin Hidayat Guru Besar UIN Jakarta Prof Dr Komaruddin Hidayat[/caption]

Komaruddin Hidayat

ADA pandangan teologis bahwa manusia itu bagaikan makhluk yang terjatuh (the fallen creature). Terusir dan terlempar dari alam surgawi karena menentang titah Ilahi sehingga manusia mesti menebusnya dengan hidup sengsara di muka bumi.

Kehidupan duniawi adalah sebuah rangkaian pencarian dan pendakian jalan pulang kembali ke alam surgawi yang penuh derita. Kelahirannya diawali dengan jeritan tangis, ujungnya adalah kekalahan ketika dihadapkan pada misteri kematian yang menakutkan. Di tengahnya adalah sebuah ketidaktahuan dan ketidakpastian.

Hatinya selalu dihinggapi perasaan harap-harap cemas. Berharap semoga menemukan cahaya terang dan jalan kemudahan untuk bisa kembali ke alam surgawi, tapi juga selalu cemas karena setiap langkahnya mengandung spekulasi tidak memberi jaminan kepastian. Trial and error.

Dalam pandangan teologis ini, kalau saja bukan karena kasih dan maaf dari Tuhan, maka hidup ini tak lebih sebagai rangkaian penderitaan yang sekali-sekali diselingi senyum kegembiraan. Kalau bukan kasih dan ampunan Tuhan yang kemudian mengutus rasul-Nya sebagai guru dan penggembala agung, maka manusia akan melihat dunia sebagai titik alpa dan omega.

Titik awal dan akhir yang dihubungkan dengan tali usia sangat pendek untuk ukuran individual. Kita tidak cerita apa sebelum dan sesudah kehidupan ini.

Jarak antara lahir dan mati bagaikan jarak tempuh dalam sebuah rumah singgah, masuk pintu depan, istirahat dan bermain sebentar di ruang tengah, lalu keluar pintu belakang. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika kaum atheis yang berpandangan pesimis mengatakan, hidup itu bermula dari kejatuhan dan berakhir pada kekalahan.

Namun, bersyukurlah bagi orang beriman, Tuhan maha pengasih dan pemaaf. Kehadiran manusia diyakininya bukan sebuah kutukan, melainkan sebuah ziarah untuk memakmurkan bumi dan menikmati indahnya ciptaan Tuhan.

Sebuah ziarah sambung menyambung lintas generasi dengan mandat yang amat mulia. Khalifah Allah di muka bumi. Manusia sebagai mandataris Tuhan mengingat kualitas dan posisinya paling unggul di tengah seluruh makhluk-Nya.

Meski posisinya sangat mulia, manusia tetaplah manusia. Sebagaimana kita sadari dan alami, hidup ini tak pernah terbebas dari dosa dan kesalahan. Bahkan, tak ada hari tanpa berbuat kesalahan.

Hanya saja ada kesalahan dengan akibat yang kecil, ada yang besar, dan fatal. Kesalahan atau kelengahan orang mengendarai sepeda, risiko dan akibat yang ditimbulkan jauh berbeda jika kesalahan serupa dilakukan seorang pilot. Kesalahan membuat keputusan yang dilakukan rakyat biasa, akibat yang muncul sangat jauh berbeda jika tindakan serupa dilakukan seorang presiden.

Masih dari sudut pandang teologis, salah satu asma Allah adalah pemaaf, pengampun, dan penerima taubat. Pasti Allah maha tahu bahwa manusia makhluk yang lemah, mengingat Allah sendiri yang mendesain dan menciptanya. Manusia tak pernah absen dari berbuat salah.

Bahkan, Adam sendiri terusir dari alam surgawi akibat kesalahan yang dilakukan. Karena itu, Allah selalu membuka pintu maaf dan taubat. Bayangkan, andaikan tak ada pintu maaf, maka hidup benar-benar sebuah rangkaian kutukan dan derita. Life is a terrible joke. Hidup itu guyonan yang mengerikan.

Begitu pun dalam kehidupan sehari-hari, andaikan tak ada kata maaf, maka yang terjadi adalah sebuah panggung perseteruan, baik vertikal maupun horizontal. Baik antarpribadi maupun kelompok. Baik antarpejabat dan rakyat. Muncul jarak menganga menimbulkan rasa nyeri di hati setiap tersentuh atau bertemu orang yang pernah menyakiti.

Karena itu, Tuhan selalu memuji pada orang yang suka memaafkan. Memaafkan itu sebuah sumber energi bisa mendekatkan hati yang berjauhan. Menyembuhkan luka yang tergores. Memperindah kehidupan dan membuat ringan beban hidup sehingga kita bukannya makhluk yang terlempar di bumi yang terkutuk, melainkan sebuah ziarah mesti dirayakan. (Farah NH/zm)

Penulis adalah Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Artikel dimuat dalam Koran SINDO, Jum'at, 21 Juli 2017.