The Best Among The Worst

The Best Among The Worst

Kultur politik Indonesia persis tecermin dalam lomba panjat pohon pinang yang amat digemari rakyat tiap memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Di sana tak ada pemenang sejati karena konsep kemenangan hanyalah akibat kejatuhan yang lain, itu pun dengan cara menginjak sesama teman sendiri.

Selama kultur semacam itu masih dipertahankan, selama itu pula prestasi politik bangsa tidak akan pernah meningkat,bahkan menurun. Di sana tersedia batang pinang yang licin dan tidak begitu tinggi ukurannya, tetapi peserta lomba yang terdiri atas beberapa kelompok amat sulit mencapai puncaknya. Berulang kali tiap kelompok berjuang memanjatnya untuk meraih hadiah yang telah digantung di pucuk batang.

Tak ada pemenang yang berhasil tanpa pernah gagal, badan kotor, jatuh, bahkan ada yang terkilir. Sementara itu penonton bertepuk tangan. Dari segi pendidikan mental, permainan itu cukup bagus untuk melatih apa yang disebut adversity quotient (AQ), yaitu daya juang untuk meraih kesuksesan yang memiliki motto: how to make a challenge becomes opportunity. Namun, bila model lomba itu dipraktikkan dalam politik Indonesia, sungguh amat menyayat nurani.

Sepertinya kultur politik di Indonesia sudah macam lomba panjat pinang,yaitu sebuah perebutan dan persaingan antar kelompok partai politik untuk meraih posisi puncak dan tidak pernah menghasilkan pemanjat sejati. Kelompok yang menang semata hanya diuntungkan kelompok lain yang sudah lelah dan jatuh. Mental demikian berbeda dari mental pendaki gunung (climber) yang berjuang menaklukkan puncaknya yang tinggi,tidak sependek pohon pinang.
Tragisnya, dalam lomba panjat pinang, kelompok yang meraih kemenangan adakalanya berebut hadiah. Persis partai-partai pemenang pemilu yang berhasil masuk kabinet lalu berebut departemen yang dikategorikan “basah”. Implikasinya, karier sebagai penguasa dijalani sebagai pengusaha. Karenanya, yang kemudian dipertengkarkan adalah bagaimana membagi BUMN di antara partai politik yang duduk di kabinet.

Konsep demokrasi untuk kesejahteraan rakyat berganti menjadi kleptokrasi untuk memperkaya diri dan partainya. Mungkin sekali mental kita yang selalu ingin mencuri dipengaruhi proses pendidikan yang salah sejak kecil. Menurut teori psikologi kognitif, apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan seseorang merupakan resultante dari berbagai informasi yang diterima yang berlangsung berulang-ulang.

Dengan demikian apa yang sering dilihat dan didengar sejak kecil pada urutannya akan membentuk karakter seseorang. Dalam konteks ini, kita pantas merenung ulang berbagai tradisi yang berperan membentuk karakter bangsa. Tidak saja menggemari lomba panjat pinang, sejak kecil anak-anak sekolah sudah diracuni dongeng "Kancil Mencuri Ketimun." Kancil digambarkan sebagai hewan yang cerdas, lincah, dan licik, amat pintar mencuri dan menipu, dan selalu lihai berkelit dari hukuman.

Karena itu, di mata anak-anak, kancil merupakan sosok menarik dan dikagumi. Proses sosialisasi dan internalisasi nilai “kancil” ini pada urutannya membentuk persepsi bahwa mencuri itu seni dan kepintaran yang merupakan keunggulan seseorang. Kalau analisis psikologis itu benar, wajar bila para pemimpin bangsa ini banyak yang senang mencuri,bahkan merasa bangga jika berhasil dan pandai berkelit seperti kancil dalam cerita itu.

Karena itu, perlu dipertimbangkan untuk mengubur dongeng bagi kanak-kanak “Kancil sang Pencuri” yang dulu kira-kira dimaksudkan untuk membangkitkan keberanian dan kecerdikan kaum pribumi (yang lemah, kecil) melawan penjajah (yang jauh lebih kuat, berkuasa). Kebusukan politik sudah begitu akut sehingga perilaku politisi kita tak ubahnya seperti kepiting. Apa yang khas dari kepiting?

Jika Anda berhasil menangkap banyak kepiting lalu ditaruh di dalam panci atau keranjang, tak usah khawatir kepiting akan pergi meski tidak ditutup. Jika ada kepiting dalam keranjang yang hendak keluar memisahkan diri, kepiting lain akan menyeret dan menahannya dari belakang. Perilaku saling menyandera dan menjegal juga terlihat dalam panggung politik kita. Jadi “politisi kepiting” akan bersemboyan “kalau korupsi partaiku terbongkar, maka korupsi yang dilakukan partai lain juga harus terbongkar”.

Tentu saja saya tidak sampai hati dan tidak punya bukti administratif untuk mengatakan, teman-teman saya bagai “politisi kepiting” yang solider dalam hal korupsi.Atau menyebut mereka bagai kancil yang cerdik, tetapi suka mencuri. Tidak juga tega memberi predikat politisi kita sebagai rombongan pemanjat pohon pinang yang memperoleh kemenangan setelah diri dan kawannya babak belur dan seluruh badan kotor.Tapi rasanya tidak berlebihan, siapa pun yang menang dalam persaingan politik saat ini bukan karena pada dasarnya mereka baik secara otentik, tetapi karena yang lain jauh lebih buruk.The best among the worst

Â