Terorisme dan Negara Gagal

Terorisme dan Negara Gagal

Oleh: Azyumardi Azra

Kekerasan demi kekerasan terus berlanjut di Pakistan, Afghanistan, Irak, Yaman, dan kini Iran. Di tiga negara yang disebutkan pertama, bahkan bom bunuh diri yang mengorbankan banyak nyawa manusia seakan-akan telah menjadi rutinitas. Bom-bom bunuh diri sejak Ramadi, Irak ataupun di Karachi, Lakki Marwat, Pakistan, sepanjang pergantian 2009 dan awal 2010, misalnya, diledakkan tidak hanya terhadap sasaran-sasaran militer atau pemerintahan, tetapi juga di pasar dan masjid, rumah Allah yang merupakan tempat beribadah yang semestinya jauh dari tindakan kekerasan, apa pun bentuknya. Aksi-aksi teror semacam ini kelihatan belum menunjukkan tanda-tanda segera berakhir.

Teror. Tindakan pembunuhan massal tanpa pandang bulu tua muda, laki-laki perempuan, sipil militer dengan demikian seolah-olah telah menjadi fenomena sehari-hari di Pakistan, Irak, dan Afghanistan. Bom-bom bunuh diri tersebut tidak hanya mengakibatkan terus meningkatnya jumlah korban manusia yang merupakan penduduk setempat, tetapi juga merupakan self-infliction tindakan penghancuran diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara bersangkutan.

Negara yang terus mengalami aksi-aksi teror seperti itu telah sampai pada tubir sebagai negara gagal (failed states); negara-negara yang tidak mampu lagi melindungi para warganya dari berbagai bentuk kekerasan dan teror. Padahal, salah satu tugas pokok negara adalah memberikan perlindungan kepada segenap warganya melalui berbagai upaya sejak dari pre-emptif, preventif, dan represif terhadap kelompok dan individu yang potensial melakukan tindakan teror.

Memang tidak mudah bagi negara yang telah terjerumus ke dalam tubir negara gagal untuk mampu memainkan perannya melindungi warga negaranya. Karena, kegagalan itu terkait banyak dengan ketidakmampuan negara dan masyarakatnya sendiri, dalam mengatasi perbedaan dan keragaman di antara mereka secara damai sembari mengembangkan dan memperkuat toleransi, dan saling menghormati di antara mereka. Masyarakat-masyarakat Pakistan, Irak, dan Afghanistan sejak waktu yang lama mengandung aliran keagamaan dan mazhab yang berbeda semacam Sunni dan Syiah, atau kelompok moderat dan radikal; atau lapisan dan kelas sosial, seperti tuan tanah dan buruh tani; atau penduduk asli dengan mereka yang datang dari tempat lain (muhajir). Berbagai aliran keagamaan dan kelompok sosial ini gagal membangun hubungan baik satu sama lain. Akibatnya, relasi di antara mereka hampir selalu ditandai ketegangan, kekerasan, bahkan kini juga terorisme.

Masalahnya menjadi lebih rumit, ketika kekuatan luar semacam Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya ikut campur, apakah karena agresifisme AS sendiri atau karena diundang pihak tertentu di dalam negeri yang memerlukan kekuatan asing, untuk mengatasi masalah-masalah kian akut yang mereka hadapi. Tak bisa lain, kedatangan AS dan sekutu-sekutunya hanya meningkatkan lingkaran kekerasan dan terorisme yang nyaris tanpa akhir. Karena, kehadiran AS dan sekutunya bahkan menjadi pendorong lebih kuat lagi bagi kalangan masyarakat tertentu untuk melakukan tindakan kekerasan dan terorisme.

Terorisme seperti terlihat dalam pengalaman pada tingkat internasional beberapa tahun terakhir cenderung contagious, menular dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kelompok atau orang kepada kelompok dan orang lain. Ibarat virus mematikan, penyebarannya itu bisa sangat cepat karena dilakukan atas nama jihad dan pembelaan terhadap agama. Apalagi, penyebarannya disertai dengan iming-iming bagi para pelaku pengebom bunuh diri untuk langsung masuk surga ketika tewas beserta para korbannya, dan disertai janji bertemu dengan para bidadari. Kesalahpahaman semacam ini, kita ketahui, telah meracuni pikiran dan kepercayaan para pelaku pengeboman Marriot dan Ritz Carlton 17 Juli 2009; juga pelaku-pelaku bom bunuh diri lainnya di Tanah Air.

Karena itu, sangat tepat peringatan Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin akhir pekan lalu, agar pemerintah Indonesia lebih meningkatkan kewaspadaan, karena boleh jadi peningkatan bom bunuh diri di Pakistan dan tempat-tempat lain mendorong timbulnya kembali tindakan serupa di Tanah Air. Memang gembong-gembong teroris yang sempat merajalela di Tanah Air semacam Azahari dan Noordin M Top telah tamat riwayatnya; tetapi juga jelas, masih terdapat segelintir kalangan masyarakat yang menjadi pengikutnya, baik yang sudah ditahan Polri maupun yang masih bergentayangan.

Memang, berbeda dengan Pakistan, Afghanistan, atau Irak, masyarakat Indonesia lebih beruntung dapat mengelola perbedaan dan keragaman di antara mereka yang relatif sangat baik. Dan, ini tidak terlepas dari sikap masyarakat umumnya yang lebih arif dalam menyikapi perbedaan, kemudian bahkan menjadi salah satu prinsip pokok kehidupan berbangsa bernegara, yaitu Bhinneka Tunggal Ika, beragam tapi tetap satu jua. Seandainya masyarakat kita tidak bisa saling menerima perbedaan dan keragaman, cepat atau lambat Indonesia bisa terjerumus ke dalam kekerasan dan terorisme tanpa akhir.

Karena itulah, sikap saling menerima dan menghargai perbedaan serta keragaman mestilah senantiasa dipupuk dan dikembangkan masyarakat sendiri dan negara. Negara seyogianya tidak membiarkan tumbuhnya berbagai bibit dan bentuk intoleransi, yang sewaktu-waktu pernah muncul dalam masyarakat kita.

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 7 Januari 2010

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta