Teror Lagi, Bom Lagi….

Teror Lagi, Bom Lagi….

Kita lelah dan cemas mendengar berita terjadi teror bom yang berulangkali mencuat ke tengah masyarakat. Bagi otak dan pelakunya mungkin tertawa, merasa berhasil membuat masyarakat resah dan muncul debat publik bernada marah serta kesal.

Sejauh ini saya tidak begitu kaget kalau saja yang terjadi sebatas demo dan tindakan kekerasan dengan mengusung simbol dan retorika agama.Teman-teman di UIN Jakarta telah berulangkali mengadakan penelitian sikap masyarakat dan pelajar yang hasil temuannya mengindikasikan munculnya paham konservatisme-radikalisme dalam beragama. Sikap intoleransi beragama menguat di tengah masyarakat.

Namun, menjadi persoalan serius ketika muncul tindakan peledakan bom bunuh diri dan sederet rencana peledakan bom lain yang pasti akan menyusahkan dan mengadu-domba sesama warganegara. Indonesia yang sejak awal disadari sebagai masyarakat majemuk, baik dari segi bahasa, suku, dan agama, akan kacau dan goyah kalau radikalisme-terorisme dibiarkan. Terlebih lagi ketika membajak simbol-simbol Islam untuk kepentingan materi dan politik.

Mengapa terorisme tetap bertahan dan selalu membuat resah? Menurut mereka, salah satu penyebab atau stimulannya adalah karena mereka kecewa dan marah pada pemerintah yang dianggap setengah hati dalam memberantas korupsi dan gagal menyejahterakan rakyat. Para elite politik dan sebagian ulama lebih asyik berebutjabatanpolitikdankurang peduli membina pengikutnya. Korupsi dan money politics dijumpai dan disaksikan sendiridi mana-mana.

Hampir tidak ada yang tanpa uang sogokan ketika berurusan dengan birokrasi. Terlebih kalau seseorang ingin menjadi pegawai negeri sipil. Mahasiswa yang kuliah setengah mati untuk mengejar indeks prestasi yang bagus, tanpa uang dan perkoncoan, sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Rasa marah, kecewa, dan frustrasi menghadapi realitas sosial akan menjadi sasaran empuk bagi mereka yang menawarkan insentif untuk mengurangi beban hidup. Maka, semakin banyak jumlah pengedar dan pemakai narkoba.

Ada yang terjerumus dalam pergaulan bebas demi memperoleh uang dan melepaskan kepengapan.Ada lagi yang merasa mendapatkan oase ketika bergabung dalam sebuah kelompok pengajian yang eksklusif. Dari sinilah kemudian berkembang semakin eksklusif, tertutup, merasa diri mereka paling benar paham keagamaannya, paling lurus dan tebal imannya,serta paling dekat dengan Tuhannya.Lebih jauh lagi lalu menganggap kafir dan musuh Tuhan siapa yang di luar kelompok mereka.

Namun,yang perlu diperhatikan, radikalisme itu bermula dari kekecewaan sosial, lalu berkembang menjadi sikap keberagamaan yang tertutup. Mereka yang bergabung dengan berbagai forum pengajian dengan ustaz dan dosen yang berbeda-beda,atau mahasiswa yang aktif di organisasi yang sudah mapan, tidak mudah terjatuh pada gerakan radikalisme- destruktif. Jadi, faktor agama tampaknya datang kemudian berperan memberikan justifikasi dan tambahan amunisi, sehingga menjadi lebih militan dan berani mati. Sikap demikian ini untuk konteks remaja Palestina mudah dimaklumi.

Tetapi, ketika sikap ini berkembang di Indonesia, semua ulama dan tokoh-tokoh ormas Islam sangat menyesalkan, bahkan mengutuk. Indonesia bukanlah darul harb atau daerah perang, melainkan darul khidmah (daerah pengabdian) atau darud dakwah (daerah dakwah) yang mesti dilakukan dengan damai, lemah lembut,dan cerdas. Terlebih lagi para pendiri bangsa dan negara sudah menetapkan fondasi Pancasila dan motto Bhinneka Tunggal Ika.

Jadi memaksakan salah satu agama sebagai dasar negara sama saja dengan mengkhianati amanah para pendiri bangsa yang mayoritas tokoh agama (Islam) dan melawan konstitusi. Yang perlu kita lakukan, semua pihak mesti bergandengan tangan untuk menjaga keutuhan dan kerukunan hidup berbangsa dan bernegara. Pemerintah tidak akan mampu menghadapi radikalisme- terorisme tanpa dukungan masyarakat. Sebaliknya, masyarakat juga tidak akan mampu menghadapi mereka tanpa keterlibatan aktif aparat pemerintah.

Hanya saja,pemerintah mestinya yang lebih aktif memberdayakan kekuatan masyarakat dan memberikan fasilitas untuk melakukan langkah strategis dan komprehensif dalam memberantas terorisme- radikalisme. Tokohtokoh agama,pimpinan ormas, dan intelektual kampus didorong dan difasilitasi untuk mempersempit ruang gerak pada tataran ideologis-teologis, lalu pemerintah (polisi dan militer) mempersempit ruang gerak fisik dan pagar-pagar legalitasnya.

Orang boleh saja kecewa terhadap kinerja pemerintah dan perilaku para elite parpol. Atau menaruh curiga kepada kekuatan asing yang ikut bermain. Tetapi, jangan sampai kekecewaan atau bahkan kemarahan itu menjadi humus bagi suburnya radikalisme-terorisme yang akan merobohkan rumah Indonesia dan menyengsarakan warganya.