Tak Ada Agama (yang) Sendiri

Tak Ada Agama (yang) Sendiri

Christian Conference of Asia (CCA) yang berkantor pusat di Chiang Mai, Thailand, mengumpulkan sekitar 400 pemuda dari seluruh negara Asia dan beberapa dari Eropa dalam satu perhelatan akbar Asian Ecumenical Youth Assembly di Manado (6-13 April 2018).

Kegiatan ini mengangkat tema pokok “Lord, send your light and truth to lead us”. Saya yang dianggap mewakili muslim, bersama dengan Pendeta Swami Navananma Jnana Tapaswi (Hindu India), Bikkhu Phramaha Boonchuay Doojai (Buddha Thailand), Profesor Zhang Chongfu (agama Tao China), dan Mathews George Chunakara (Sekjen CCA, mewakili Kristen), memberi ceramah tentang “cahaya dan kebenaran” (light and truth) dalam perspektif agama masing-masing.

Suatu tema yang dianggap sangat relevan dengan konteks dunia saat ini ketika kebencian, konflik, dan permusuhan meredupkan atau bahkan menjadi tabir bagi cahaya terang agama. Doktrin tentang cahaya dan kebenaran bukan monopoli satu atau dua agama tertentu. Hampir semua tradisi keagamaan yang hidup (living religions) memiliki ajaran tentang dua hal itu, tetapi muncul dalam bahasa dan ekspresi yang berbeda satu sama lain.

Dalam tradisi agama-agama Asia, cahaya biasanya dipahami sebagai kekuatan pikiran dan ke sadaran, energi yang bersih, kesadaran penuh akan dharma dan praktiknya serta usaha-usaha spiritual menuju moksa, nirvana, dan mukti (kesempurnaan).

Dalam Buddhisme dan Taoisme misalnya, Tuhan dipahami sebagai yang impersonal sehingga tidak langsung terkait dengan cahaya dalam pengertian spiritualnya. Sebaliknya, dalam tradisi agama-agama Semitik, cahaya diyakini berasal dari Tuhan, bahkan dalam Islam, Tuhan menamakan diri-Nya sebagai “Cahaya” (Al-Nur ).

Tuhan sebagai cahaya atau sumber cahaya ternyata juga menitipkan cahaya-Nya (roh-Nya) kepada setiap bayi yang akan lahir (QS Al-Hijr: 29). Jadi dalam tradisi Yahudi, Kristen, dan Islam, manusia memiliki dua cahaya, yakni cahaya yang inheren dalam dirinya sebagai titipan Tuhan (internal) dan cahaya atau sinar yang memancar dari Tuhan (eksternal).

Ketiga agama itu mengidentifikasi diri mereka sebagai agama cahaya yang membawa “umat manusia dari kegelapan menuju cahaya”. Semua tradisi keagamaan, yang besar dan kecil, yang meyakini Tuhan personal dan impersonal, percaya bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Mahabenar, Tuhan Yang Mahamutlak itu.

Para filosof meyakini bahwa kebenaran nyata harus berdasar rasio dan akal budi yang kokoh. Para teolog dan ahli hukum agama berbeda lagi. Semua kebenaran telah tertulis dalam kitab suci dan sabda nabi. Tugas para teolog dan ahli-ahli hukum harus bisa menjelaskan kebenaran teo logis itu dengan menggunakan rasio, logika, dan berdasar fakta-fakta empiris.

Bagaimanapun semua tafsir atas kebenaran mutlak Tuhan tetap saja menghasilkan “kebenaran relatif” meskipun sudah menggunakan kedalaman ilmu dan kecanggihan metodologi.

Tapi kini muncul banyak problem keagamaan dan kemanusiaan karena tidak sedikit orang-orang beriman itu merasa “memiliki kebenaran mutlak”, merasa “mewakili kehendak Tuhan”. Sikap curiga, saling menghakimi, dan akhirnya permusuhan dan konflik menjadi “buah pahit” dari kebenaran kebenaran relatif yang mereka pahami.

No Religion is an Island

Dialog antaragama atau dialog antariman (interfaith dialogue) di Tanah Air menjadi isu yang hangat dan praktik yang mengundang antusiasme sejak 1990-an. Salah satu alasan pokok dialog adalah bahwa agama-agama tak bisa sendirian lagi menghadapi problem-problem sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, baik internal maupun eksternal agama.

Abraham Joshua Heschel, profesor agama Yahudi dan rabi Amerika terkemuka, sampai harus menulis buku berjudul No Religion is an Island (1991) untuk mengingatkan bahwa satu agama tak akan bisa hidup sendirian, tak bisa mengisolasi diri, dan tak mungkin sendirian menghadapi isu dan problem kekinian yang rumit dan kompleks.

Dialog adalah kebutuhan, bukan sekadar pilihan. Dua model dialog masih relevan dan kontekstual. Pertama, dialog teologis, untuk mendengar beberapa ajaran pokok agama langsung dari pemeluknya supaya mendapat pemahaman yang benar dan utuh.

Bahkan dalam sikap yang ter buka dan simpatik, seseorang bisa mendapat wawasan dan pengalaman baru dari partner dialognya untuk memperkaya wawasan keagamaannya sendiri. Tapi minimal bisa memahami agama orang lain secara objektif. Kita sering mendengar agamawan ketika membandingkan atau menghubungkan agamanya dengan agama orang lain selalu dalam kacamata subjektif dan sering kali penuh kekeliruan dan kesalahan.

Sering kali kita mendengar dari muslim misalnya bahwa hanya Islam saja yang menganut tauhid murni (monoteisme), sedangkan agama lain, Kristen misalnya dengan doktrin Trinitas dan Hindu dengan ajaran Trimurti, dianggap politeis alias musyrik.

Pertanyaannya: apakah benar pemeluk agama Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu menyembah beberapa tuhan atau banyak tuhan yang berdiri sendiri-sendiri (independen)? Bagi para pemeluknya, tentu saja pemahaman itu adalah kekeliruan yang fatal.

Apakah yang dimaksud dengan tuhan personal dan impersonal? Apakah dewa dan dewi itu adalah (sama dengan) tuhan (zat) yang maha-absolut? Pertanyaan ini harus dijawab secara objektif, yakni langsung dari sumber pertama pemeluknya. Pemeluk agama apa pun, apalagi kaum awamnya, ketika menilai agama orang lain, sebagian besar dalam pandangan subjektif.

Karena itu, dalam studi perbandingan agama, orang yang mengkaji agama orang lain dengan ukuran agama sang pengkaji disebut sebagai studi “pertandingan agama”. Kalau pertandingan, pasti ada yang menang dan kalah. Yang menang pastilah agamanya sendiri. Dalam studi agama-agama, model studi ini, yang berkembang di dunia Islam sejak abad ke-14 dan di dunia Kristen sejak abad ke-19 sudah ditinggalkan sejak 1990- an karena dianggap subjektif alias tidak ilmiah.

Model studi “pertandingan agama” atau pemahaman yang keliru tentang agama orang lain yang dikampanyekan di wilayah publik pada gilirannya akan melahirkan pertentangan, permusuhan, dan konflik. Karena itu dialog teologis masih sangat penting dan relevan.

Kedua, dialog aksi atau dialog sosial atau dialog etis. Hans Kung menyebutnya sebagai dialog humanum (kemanusiaan). Para tokoh agama bertemu dan mendiskusikan problem-problem sosial kemanusiaan yang sebenarnya masih bagian dari ajaran agama. Para tokoh beragam agama mungkin dapat menyumbangkan ide dan gagasan sebagai alternatif solusi dalam soal kemiskinan, bencana alam, kemacetan di jalan yang parah, ledakan penduduk, kelangkaan air bersih, kejahatan siber, korupsi, dan lain-lain.

Dunia Simulakra

Bahkan kini, di era revolusi teknologi informasi, umat manusia memasuki dunia simulasi, simulakra, dan hiperealitas. Jika simulasi yang berarti realitas tiruan masih mengacu pada realitas yang sebenarnya, simulakra berarti realitas tiruan yang sudah tidak lagi merujuk pada realitasnya yang asli.

Dalam dunia simulakra ini, orang sudah sulit lagi membedakan mana yang asli dan mana yang palsu, yang sejati dari yang semu, yang substansi dari ekspresi (kulit luar/penampakan). Puncaknya adalah dunia hiperealitas yang disebut oleh filosof Jean Baudrillard sebagai “keadaan runtuhnya realitas” karena telah diambil alih oleh rekayasa virtual yang dianggap lebih nyata dari realitas itu sendiri.

Realitas-realitas virtual seperti media online , Facebook, Twitter, atau sinetron tampak lebih real daripada kenyataan sebenarnya dan mengontrol pola pikir serta perilaku manusia. Citra dianggap lebih meyakinkan daripada fakta dan mimpi lebih dipercaya ketimbang kenyataan sesungguhnya.

Hiperealitas adalah realitas itu sendiri. Dunia hiperealitas yang ciri khasnya adalah pencitraan, semu, meledak-ledak, kehilangan asal-usul dan kedalaman makna, kini dirayakan dimana mana sebagai kebenaran yang sesungguhnya.

Dunia simulakra dan hiperealitas melahirkan –salah satunya–adalah “anak haram” yang tak di kehendaki, yakni gelombang hoaks, informasi palsu, fitnah, dan ujaran kebencian yang sangat rentan dianggap sebagai “kebenaran sesungguhnya”. Keadaan ini tidak semata membuat manusia menjadi bodoh dan teralienasi dari kesejatiannya, tetapi juga membuat perpecahan, disintegrasi bangsa dan bisa meledak menjadi perang dalam skala besar.

Menghadapi masalah-masalah sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang semakin rumit dan kompleks, umat beragama kini membutuhkan suluh, pelita atau cahaya untuk dijadikan kompas. Dalam konteks inilah tak mungkin lagi ada agama berdiri sendirian.

Semua tokoh agama yang beragam harus bergandengan tangan dan yang terpenting adalah mewartakan “kebenaran yang asli” serta memohon kepada Tuhan akan cahaya-Nya yang terang untuk membimbing umat manusia. (zm)

Dr. Media Zainul Bahri

Penulis adalah Ketua Jurusan Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tulisan dimuat Koran SINDO, Sabtu 5 Mei 2018. (lrf/zm)