Sosio-antropologi Wisata Indonesia

Sosio-antropologi Wisata Indonesia

Menara Eiffel Paris 19 Oktober 2011. Muhammad Saleh, pemuda kulit hitam asal Senegal sedang menjajakan berbagai suvenir Paris di tengah suhu udara yang kian dingin di lanskap Eropa. “Empat, sepuluh Euro. Murah, murah, murah”, katanya menawarkan kerudung bertulisan ‘Paris’ dalam bahasa Indonesia ketika delegasi World Culture Forum asal Indonesia turun dari kendaraan—mula-mula rencananya hanya untuk sekadar berfoto.

Senang dan bangga ada para pengasong di salah satu kota pusat wisata dunia merayu calon pembeli yang mereka bisa tahu berasal dari Indonesia dengan bahasa Indonesia. Dan, fenomena ini bisa ditemukan tidak hanya di Menara Eiffel, tapi juga di toko-toko parfum terkenal di Paris. Memang, para pe jual ini tidak bisa diajak berbicara dengan bahasa Indonesia yang rumit; tetapi setidaknya mereka bisa berkomunikasi secukupnya dengan para pelancong Indonesia.

Sebagai perbandingan, para pelayan toko di Makkah, Madinah, dan Jeddah sudah lama menjajakan dagangannya dengan bahasa Indonesia. Tidak heran karena secara historis, jamaah haji dan para penuntut ilmu asal Nusantara sudah kian banyak yang datang ke Tanah Suci sejak akhir abad ke-16. Karena itu, ada kebutuhan kalangan perdagangan untuk bisa bicara bahasa Indonesia. Peningkatan jumlah jamaah haji dan umrah Indonesia secara fenomenal dalam dua dasawarsa terakhir, membuat kemampuan berbahasa Indonesia—minimal sekalipun—merupakan kebutuhan riil bagi lingkungan dagang setempat.

Gejala ini juga bisa ditemukan di Yerusalem, yang dalam beberapa tahun terahir juga menjadi tujuan wisata keagamaan, baik Muslim maupun Kristiani. Kini, menjadi pemandangan biasa melihat para peziarah atau wisatawan Indonesia di Bandara Istanbul misalnya, yang mengadakan perjalanan ke kota Istanbul, atau transit menuju Yerusalem atau Roma atau Andalusia.

Kini, di Yerusalem misalnya kian banyak pula warga lokal pemandu ziarah keagamaan yang bisa berbahasa Indonesia. Dalam kunjungan ke Yerusalem akhir Mei lalu, saya menemukan setidaknya ada tiga travel agen di Yerusalem yang melayani para wisatawan asal Indonesia. Pekan lalu saya juga menemukan 15 wisatawan Muslim-Muslimat yang ‘ziarah rohani’ ke Istanbul dan Kordova untuk melihat warisan Islam di kedua kawasan tersebut Tetapi jelas, Paris, Yerusalem dan Andalusia secara konvensional bukan tempat tujuan rihlah orang-orang dari Nusantara.

Karena itu, adanya para pengasong di Paris yang menjajakan dagangan dengan bahasa Indonesia merupakan gejala baru—sosioantropologis dan ekonomis—seperti saya diskusikan dengan Profesor Heddy Shri Ahimsa Putra, guru besar antropologi UGM Yogyakarta, ketika ‘diserbu’ pedagang asongan asal Senegal di kaki Menara Eiffel.

Gejala ini mencerminkan dua hal; pertama perkembangan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia yang terus membaik— mes ki juga masih tetap ada me reka yang miskin dalam jumlah besar. Kelas mene ngah—khususnya di kalangan umat Muslimin—membuat mereka lebih bisa menik mati kehidupan di luar batas-batas kebutuhan pokok, seperti pangan, papan, sandang, dan kendaraan.

Mereka bisa memiliki savingyang memungkinkan mereka menikmati wisata, baik di dalam maupun luar negeri. Dengan dana antara 1.500 dolar AS hingga 2.000 dolar AS, mereka sudah dapat berangkat umrah— karena masa tunggu ibadah haji yang kian bertahun-tahun—atau wisata rohani ke tempat-tempat lain di Timur Tengah dan Eropa.

Sedangkan untuk wisata Nusantara sendiri bisa disaksikan intensitas perjalanan pada musim libur sekolah dan akhir pekan panjang. Keluarga dalam jumlah besar mengunjungi tempat wisata populer semacam Bali, Lombok, Bukittinggi, Makassar, dan seterusnya sehingga sangat sulit mendapat kan seatpesawat. Menurut data Departemen Pariwisata (kini bertambah dengan Ekonomi Kreatif) membelanjakan lebih banyak uang dibanding kebanyakan wisatawan mancanegara.

Kedua, wisata rohani khususnya juga mencerminkan peningkatan kebutuhan mendapatkan pengalaman spiritual di luar kerutinan keagamaan sehari-hari. Pada satu segi, wisata rohani ini bagi sebagian orang boleh jadi menjadi ‘gaya hidup’, seperti terlihat gejalanya pada umrah di musim liburan dan Ramadhan.

Termasuk di antara gejala ‘gaya hidup’ itu adalah paket umrah yang disertai dengan ‘ijab-qabul’ pernikahan di Masjidil Haram Makkah atau di Masjid Nabawi Madinah. Tidak ada yang salah dengan gejala ini; karena bagaimanapun wisata rohani tetap memberikan pengalaman rohani yang tidak selalu dengan mudah dapat diperoleh.

Dalam konteks itu, wisata rohani turut menyumbang kepada dinamika Islam Indonesia. Dengan perjalanan wisata rohani, para wisatawan Muslim dapat melihat se jarah, warisan, dan realitas Islam dan kaum Mus limin di tempat lain. Dengan begitu, mereka selanjutnya dapat membandingkannya dengan realitas dan dinamika Islam Indonesia yang tidak bisa lain dapat membuat mereka bersyukur dan bangga menjadi Muslim Indonesia.

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tulisan dimuat pada Harian Republika, Kamis (27/10).

Â