Solusi Budaya Mengatasi Konflik Indonesia-Malaysia

Solusi Budaya Mengatasi Konflik Indonesia-Malaysia

Oleh M Bambang Pranowo

Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan tanggapannya atas ketegangan hubungan Indonesia- Malaysia di Mabes TNI, Cilangkap, awal September lalu suasana konflik antardua negara serumpun–yang dipicu penahanan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), 13 Agustus lalu oleh polisi Malaysia–itu makin reda.

Dalam pidatonya,SBY menyatakan bahwa antara Indonesia dan Malaysia terdapat hubungan yang sangat erat, tidak hanya masalah ekonomi, tapi juga budaya. Menurut SBY dalam pidatonya, ada sekitar 13.000 pelajar dan mahasiswa Indonesia belajar di Malaysia dan 6.000 mahasiswa Malaysia belajar di Indonesia.Wisatawan Malaysia yang berkunjung ke Indonesia tergolong ketiga terbesar dalam kunjungan wisatawan mancanegara.

Investasi Malaysia di Indonesia lima tahun terakhir mencapai USD1,2 miliar, sedangkan investasi Indonesia di Malaysia bernilai USD534 juta. Sementara, perdagangan kedua negara mencapai USD11,4 miliar pada 2009. Dengan demikian,jika terjadi konflik terbuka, baik Indonesia maupun Malaysia akan rugi.Karena itu, ungkap SBY, persoalan yang muncul antara Indonesia dan Malaysia tidak selalu berarti ancaman bagi kedaulatan dan keutuhan wilayah.

Pendekatan Budaya

Sebetulnya dalam hubungan antara Indonesia dan Malaysia, masalah-masalah budaya jauh lebih intens interaksinya dibanding masalah-masalah ekonomi. Ini terjadi karena antara Indonesia dan Malaysia,secara historis mempunyai bahasa dan darah yang serumpun. Karena itu, hubungan antara Indonesia dan Malaysia, lebih dari sekadar hubungan ekonomi dan budaya, tapi juga kekerabatan (genealogis).

Hal ini bisa dilacak dari keturunan dan garis darah beberapa sultan di Malaysia, yang tidak sedikit di antaranya, berasal dari Sumatera, Jawa, dan Sulawesi.Begitu juga para ulama di Malaysia, di antaranya banyak yang belajar atau nyantripada kiaikiai di Sumatera dan Jawa. Dalam konteks inilah bangsa Indonesia mestinya bisa memahami klaim Malaysia terhadap kesenian reog Ponorogo dan kerajinan batik.Klaim itu sangat mungkin merupakan cermin perasaan kedekatan budaya antara Malaysia dan Indonesia. Sayangnya klaim karena kedekatan budaya tersebut mendapat reaksi yang tidak nyaman dari bangsa Indonesia.

Padahal, kalau klaim itu ditanggapi positif maka kedekatan kultural antara Malaysia dan Indonesia makin kental. Dan reog Ponorogo pun akan makin populer di Malaysia sehingga berdampak positif pada kemajuan pariwisata Ponorogo. Hal yang identik,bisa kita lihat dalam lagu-lagu pop Malaysia. Hampir semua lagu yang populer di Indonesia, juga populer di Malaysia. Artis seperti Krisdayanti, dan Chrisye misalnya, sangat populer di Malaysia.Yang menarik adalah, jika artis Malaysia ingin populer dan lagu-lagunya diterima masyarakat yang lebih luas, maka mereka mau tak mau harus menyanyikan lagu-lagunya dalam bahasa atau cengkok Indonesia.

Lagu Isabela dari group band Search asal Malaysia, misalnya, sangat terkenal di Indonesia karena dinyanyikan dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya, lagu Antara Anyer dan Jakarta ciptaan musisi Indonesia Oddie Agam yang dinyanyikan artis Malaysia Sheila Majid sangat menggetarkan hati bangsa Indonesia karena bukan saja liriknya sangat mengesankan dan penuh kenangan tapi suara penyanyinya pun sangat Indonesia. Dalam konteks ini, Azyumardi Azra mengibaratkan hubungan Indonesia dan Malaysia seperti hubungan budaya antara Amerika Serikat dan Inggris.

Bila penyanyi Inggris ingin lagu-lagunya mendunia dan lebih diterima masyarakat internasional, maka mau tidak mau,dia harus menyanyi dalam bahasa Inggris cengkok Amerika.Ilustrasi di atas menggambarkan betapa dekatnya hubungan antara Indonesia dan Malaysia. Dalam konteks budaya, Indonesia adalah mainstreamdari budaya Malaysia. Secara historis, wilayah Malaysia sekarang, misalnya, dulu pernah masuk dalam Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan (abad VII) dan juga masuk dalam wilayah Kerajaan Majapahit di Jawa (XIV).

Dampak peristiwa historis tersebut, saat ini, banyak sekali kesamaan sosial dan budaya antara warga Indonesia dan Malaysia. Apalagi di wilayah-wilayah yang secara geografis amat dekat dengan Malaysia seperti Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Di wilayahwilayah tersebut tak hanya terjadi hubungan sosial budaya yang intens tapi juga kekerabatan sedarah. Tak sedikit para raja, pejabat, dan ulama M a l a y s i a yang asal-usul keturunannya berasal dari Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Mereka juga banyak yang belajar ilmu agama di Sumatera,Jawa,dan Sulawesi. Semua itu merupakan modal besar untuk melakukan pendekatan budaya dalam memecahkan persoalan yang muncul antara Indonesia dan Malaysia.

Kenapa pendekatan budaya untuk meredam konflik? Karena persengketaan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia tampaknya amat kompleks. Ketika Indonesia menangkap tujuh ”pencuri ikan” dari Malaysia, tiga petugas dari KKP menganggap tujuh nelayan Malaysia itu masuk ke perairan Indonesia secara ilegal. Sebaliknya, ketika tiga petugas KKP ditangkap polisi Malaysia, pihak Malaysia pun beranggapan, petugas KKP berada di perairan Malaysia secara ilegal. Siapa yang salah dan siapa yang benar? Dalam kasus itu, klaim perairan Indonesia berdasarkan pada Peta 349 Tahun 2009 sedangkan klaim perairan Malaysia berdasarkan Peta Tahun 1979.

Kedua pihak sama-sama mengklaim perairan tersebut secara unilateral (sepihak). Itu baru persoalan perbatasan Indonesia dan Malaysia di perairan sekitar Pulau Bintan.Padahal, potensi persengketaan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia terdapat di banyak tempat,baik di perairan maupun daratan. Sepanjang perbatasan Serawak dengan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, di sana banyak sekali titik yang bisa memicu ketegangan antar dua negara serumpun itu. Petugas Indonesia di perbatasan kedua negara di Entikong, misalnya, sering bersikap formalistik bahkan militeristik dalam menghadapi migrasi orang-orang desa di perbatasan ke Malaysia.

Alasan petugas, orang desa perbatasan yang tinggal berlamalama di wilayah Malaysia dianggap sudah menjadi warga negara Malaysia. Padahal, orang-orang desa perbatasan yang bermigrasi ke Malaysia, mungkin tidak punya pikiran untuk mengganti warga negara. Maklumlah, Tanah Air di mana orang dilahirkan biasanya mempunyai ikatan psikologis dan sosiologis yang amat kuat dengan orang bersangkutan. Lagi pula, budaya migrasi antarwilayah tersebut sudah ada jauh sebelum ada perbatasan RI-Malaysia itu sendiri. Dengan demikian, seandainya masalah itu diselesaikan secara budaya, maka persoalan yang menegangkan dapat dihindari.

Mengubah Pendekatan

Saat ini, jika melihat banyaknya titik persengketaan wilayah antara Indonesia dan Malaysia, pendekatan formalistik dan militeristik sangat mungkin dapat mempertajam ketegangan antara bangsa serumpun dan sedarah tersebut. Bisa kita bayangkan,di lautan saja, setidaknya ada 18 titik konflik perbatasan antara Indonesia dan Malaysia,yaitu di Pulau Sentut, Tokong Malang Baru, Damar, Mangkai, Tokong Nanas, Tokong Belayar,Tokong Boro, Semiun, Subi Kecil,Kepala,Sebatik, Gosong Makasar, Maratua, Sambit, Berhala,Batu Mandi,Iyu Kecil, dan Karimun.Sedangkan di daratan, titik konflik itu membentang sepanjang perbatasan Serawak dan Kalimantan Barat-Kalimantan Timur.

Tampaknya sulit untuk memecahkan persoalan perbatasan tersebut bila pendekatannya formalistik dan militeristik kaku. Persoalannya sangat kompleks karena masing-masing negara memakai pendekatan berbeda.Titik temunya akan sulit kecuali melalui pendekatan budaya yang bersifat kekeluargaan. Jika pendekatan ini dilakukan, niscaya banyak hal bisa dipecahkan bersama karena pada hakikatnya setiap negara menginginkan hidup berdampingan secara aman dan damai. Investasi untuk membangun kehidupan yang aman dan damai serta bersahabat antara Indonesia dan Malaysia sangat besar, baik dari aspek agama, sosial, budaya, maupun aliran darah (kekerabatan).

Jika dua Jerman yang terpisah karena Perang Dingin bisa bersatu setelah salah satu pencetus perang dingin itu runtuh (Uni Soviet), bukan sesuatu yang tak mungkin, kelak Indonesia dan Malaysia bersatu kembali ketika situasi dan kondisinya memungkinkan. Bersatunya warga serumpun dan sedarah itu bukan karena salah satu merasa lebih tinggi dan memenangkan peperangan tapi lebih disebabkan adanya kesadaran budaya untuk hidup bersama seperti keluarga besar, seperti bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur. Semoga!(*)

Tulisan ini pernah dimuat di Seputar Indonesia, 15 Septyember 2010

Penulis adalah Guru Besar Sosiologi Agama FISIP UIN Jakarta

 

Â