Sekali Jepret, Cukup Dua Puluh Lima Ribu

Sekali Jepret, Cukup Dua Puluh Lima Ribu

 

Matahari mulai menyingsing. Cahayanya nampak redup tertutup kabut tebal pertanda hujan akan segera turun. Meski demikian, suasana di sekitar kampus UIN Jakarta, Minggu, 16 Januari 2011 pagi, tampak ramai. Ribuan orang hilir mudik memasuki areal kampus. Lalu lintas di Jalan Ir H Juanda pun tampak tersendat. Maklum, siang itu memang sedang digelar Wisuda Sarjana ke-82 di Auditorium Prof Dr Harun Nasution.

Wisuda Sarjana yang digelar empat kali dalam setahun itu, memang menjadi hajatan besar yang menyedot ribuan orang. Tak hanya sivitas akademika, wisudawan, dan keluarganya, para pedagang kagetan pun turut merangsek ke areal kampus demi mencari nafkah. Mereka menjajakan aneka dagangan, dari bunga, air mineral, asesoris, makanan, hingga menjajakan jasa fotografi.

Ya, jasa fotografi memang seolah mendapatkan ceruknya di tengah prosesi wisuda di UIN Jakarta. “Jepret, jepret...” suara kamera itu seolah saling bersahutan dari berbagai titik. Para fotografer terlihat sibuk dengan kameranya memotret para pengunjung wisuda yang hilir mudik. Meski belum pasti pengunjung itu membeli, bila merasa tak puas, sang fotografer dengan suka rela berspekulasi mengambil ulang gambarnya.

Sri Yanto (47), lelaki paruh baya kelahiran Yogyakarta itu misalnya. Ia mengaku sudah 23 tahun menjalani profesi sebagai fotografer “spekulan”. Untung dan rugi sudah menjadi resikonya. Meski demikian ia tak pantang menyerah demi memenuhi kehidupan anak dan istrinya. Pria yang mengaku  memiliki dua anak ini, setiap hari hilir mudik menghadiri berbagai acara dari wisuda hingga wisata. Berbekal kamera Canon D200, ia menjual jasanya ke berbagai pelosok ibukota.

“Sejak saya tinggal di Jakarta, saya sudah bergelut dengan kamera. Meski kadang rugi tapi saya tidak merasa kecewa karena pekerjaan ini punya nilai tersendiri bagi saya. Apalagi saya sudah bertahun-tahun kerja seperti ini, jadi sudah terbiasa dan hobi juga,” tuturnya.

Memotret di momen acara wisuda bukan kali ini saja dijalani Yanto. Sejak lama ia telah terbiasa menjadi fotografer wisuda. Bahkan begitu seringnya, ia sampai lupa berapa kali menjajakan jasanya di UIN Jakarta. Pria yang sempat menjalani profesinya di Kebun Binatang Ragunan ini, menjual hasil potretannya seharga Rp 25 ribu per lembar.

“Harga tersebut tidak tentu tergantung banyaknya jumlah pembeli. Jika kekurangan konsumen, saya menjajakan foto seharga Rp 10.000 per lembar. Tetapi kalau di luar, jika gambarnya berdampingan dengan ‘orang penting’ bisa saya jual Rp 35.000 per lembarnya,” imbuhnya.

Lain dulu lain sekarang, Yanto menuturkan, dulu saat masih menggunakan kamera analog dan roll (film) ia bisa mendulang untung lumayan. Boleh dikata penghasilannya cukup menjanjikan. Namun sekarang, saat kebutuhan hidup meningkat secara signifikan, teknologinya semakin berkembang dan mudah justru sering memperoleh kerugian terlebih banyaknya persaingan.  “Waktu tahun  1990-an masih banyak pendapatan, sekarang susah, sampai saat ini satu pun saya belum dapat memastikan,” keluhnya.

Senada dengan Yanto, Ii Widyani (24) dan ketiga temannya Yane, Tina, dan Wati juga mengaku kesulitan mencari konsumen yang mau membeli hasil karyanya. Tiga perempuan asal Bogor itu merasa terhambat dan kesulitan ketika menawarkan kepada konsumen karena tidak mempunyai ‘orang dalam’ dan hanya mengetahui acara tersebut dari mulut ke mulut. “Parahnya, waktu saya menawarkan, malah dibilang nggak resmi, padahal saya sudah minta izin, sama dengan pedagang lainnya,” tegasnya.

Malang kini nasibnya, modal yang dikeluarkan tidak mendapatkan income yang memuaskan. Kamera Canon D300 yang digenggamnya kini bak benda tak berguna. “Kalau dulu, kita berani datang ke acara jauh-jauh pasti mendapat untung lebih, sekarang malah modalnya ludes. Ya mau gimana lagi, Mas!” ujar Widyani mewakili ketiga temannya.

Selain berspekulasi, mereka juga membuka foto studio yang siap pake dengan background almari buku bertempat di pelataran Gedung Student Center. Dengan modal bersama sebesar Rp 500.000 yang terdiri dari biaya cetak, makan, dan transportasi, mereka memberanikan diri menjemput rejeki meski keuntungannya belum pasti.

Ini merupakan pengalaman pertama kalinya mereka mengais rejeki di kampus UIN Jakarta. Meski saat ini belum mendapatkan keuntungan, mereka tidak akan kecewa dan siap datang lagi untuk seterusnya. “Tapi kita akan berusaha sekuat-kuatnya, hari ini tidak untung semoga lain kali bisa dapat keuntungan yang lebih, doakan saja,” harapnya. [] Abdullah Suntani