Salah Kaprah “Infotainment” Indonesia

Salah Kaprah “Infotainment” Indonesia

Oleh : Gun Gun Heryanto

Infotainment akhir-akhir ini kembali menuai kontroversi. Ada dua hal yang menarik kita cermati dari polemik tersebut. Pertama, terkait fatwa haram infotainment dari Pengurus Pusat Muhammadiyah baru-baru ini yang serupa dengan fatwa hasil Musyawarah Ulama NU pada Juli 2006. Kedua, kontroversi para pekerja infotainment melalui PWI yang menjerat Luna Maya dengan UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE), khususnya Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45 ayat 1 setelah Luna curhat dalam akun microblog Twitter, Rabu (16/12).

Mengapa Muhammadiyah dan NU satu suara mengharamkan infotainment? Kedua organisasi besar ini menganggap infotainment banyak mengandung fitnah dan ghibah.

Istilah para pekerja infotainment sengaja digunakan dalam konteks tulisan ini, mengingat masih perdebatan panjang apakah peliput jagat hiburan ini sebagai jurnalis? Begitupun muatan kerja mereka, apakah dapat dikategorikan sebagai jurnalisme infotainment, ataukah mereka semata-mata pekerja hiburan yang sedang meminjam ranah peran para wartawan untuk legitimasi profesi ini di masyarakat.

Konsep infotainment awalnya dipopulerkan oleh para penggiat di Jhon Hopkins University (JHU), Baltimore, AS. Mereka bukan orang-orang yang bekerja untuk media, melainkan dalam misi kemanusiaan meningkatkan kesejahteraan manusia melalui berbagai aspek kesehatan. Misi mereka ini didukung oleh Center of Communication Program (CCP) yang bertugas mengomunikasikan pesan-pesan kesehatan ke masyarakat.

Para pakar komunikasi di CCP termasuk Everet M Roger merumuskan formula jitu penyampaian pesan yang mereka namakan infotainment.  Ini merupakan neologisme yang menggabungkan information dan entertainment. Basis utamanya adalah informasi, adapun hiburan disisipkan sebagai pancingan untuk memalingkan perhatian khalayak. Dengan demikian porsi terbesar dalam formula tersebut tentu saja adalah informasi itu sendiri bukan hiburan.

Saat infotainment diadopsi untuk kebutuhan industri media massa kita, terjadilah salah kaprah. Infotainment dimaknai sebagai informasi tentang dunia hiburan, lebih khusus lagi seputar para selebritas dan pesohor lainnya. Unsur hiburan menjadi fokus utama, sementara makna substantif dari sebuah informasi kerapkali direduksi. Misalnya melalui publikasi yang oleh Paul Jhonson dalam tulisannya The Media and Truth: Is There a Moral Duty? (1997) ditandai oleh banyaknya tindakan yang masuk kategori Seven Deadly Sins. Ketujuh hal yang membahayakan itu ialah  distorsi informasi, dramatisasi fakta palsu, menggangu privacy, pembunuhan karakter, eksploitasi seks, meracuni pikiran anak-anak, dan penyalahgunaan kekuasaan.

Faktanya, hingga saat ini kecendrungan tayangan infotainment makin meningkat. Bahkan, bagi stasiun-stasiun televisi program ini seolah menjadi bagian utuh dari logika akumulasi keutungan. Kellner dalam bukunya Television and the Crisis of Democracy (1990) menyebutnya sebagai the logic of accumulation and ecxlusion. Ada kecenderungan siaran televisi lebih banyak diatur “konstitusi” rejim kediktatoran pasar yang menonjolkan kompetisi dan akumulasi modal sebebas-bebasnya. Sebagian besar dari tayangan tersebut memang tidak layak dikategorikan produk jurnalistik karena banyak melanggar etika dan UU Pokok Pers No.40 tahun 1999.

Yang merisaukan adalah, tindakan PWI mengadukan Luna ke polisi dengan jerat UU ITE. Penggunaan pasal karet ini dikawatirkan menjadi  penanda sepihak bahwa ranjau kebebasan pers di UU ITE ini sudah bisa diterima oleh para pekerja media. Padahal, faktanya banyak jurnalis yang menolak keras bahkan menginginkan yudisial review. Jika jerat ini tetap dipasang, maka tentu akan menjadi rujukan di kemudian hari bagi penguasa atau siapapun yang kepentingannya merasa terganggu untuk menggunakan pasal serupa.

Penulis adalah Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Kandidat Doktor Komunikasi UNPAD

Â