Revolusi Arab dan Islamis

Revolusi Arab dan Islamis

Oleh: Prof Dr Azyumardi Azra, MA

Dunia Arab terus bergejolak pada pekan-pekan di Maret 2011. Revolusi kekuatan rakyat terus bertahan di Libya, meski penguasa Libya Muammar Qadafi menindas mereka secara militer sehingga menewaskan ribuan warga sipil. Tunisia dan Mesir juga menunjukkan tanda-tanda kembalinya ketidakpuasan massa pascatumbangnya Ben Ali dan Mubarak. Gejolak juga masih berlanjut di Yaman dan Bahrain. Gejala gejolak terlihat pula mulai muncul di Aljazair, Maroko, Oman, Yordania, dan juga bahkan Arab Saudi.

Sejauh ini sangat sulit memprediksi kapan dan bagaimana akhir gejolak politik yang melanda Dunia Arab sejak pertengahan Januari 2011. Yang pasti, pencapaian keseimbangan dan stabilitas politik di negara-negara Arab memerlukan waktu tidak hanya dalam hitungan bulan, tetapi bertahun-tahun. Transisi dari otoritarianisme ke arah sistem dan praktik politik demokrasi bukan sederhana dan mudah, namun menggoncangkan dan sekaligus menyakitkan.

Mengapa demikian? Tidak lain karena tak adanya infrastruktur, kelembagaan, dan kepemimpinan politik yang mampu memimpin atau setidaknya mengawal proses transisi tersebut. Kekuasaan otoritarianisme selama beberapa dasawarsa di negara-negara Arab hampir tidak menyediakan ruang bagi kemunculan kelembagaan dan kepemimpinan politik pascaotoritarianisme.

Pada saat yang sama, seperti ijma’ para peneliti dan analis politik dunia Arab, rezim-rezim otoriter juga melakukan modernisasi otoritarianisme. Ini terkait dengan pembukaan politik dan ekonomi (infitah/democratic opening) secara terbatas di banyak wilayah Dunia Arab sejak 1970-an, dan terus meningkat dalam masa pasca-Perang Dingin dan sesudahnya.

Tetapi perubahan itu tidak mengarah kepada —apalagi menghasilkan— proses demokratisasi yang riil. Sebaliknya, infitah memberikan legitimasi pada penyesuaian struktur kekuasaan politik internal rezim otoriter yang ada. Dengan begitu, rezim-rezim dapat menjadi lebih kompatibel dengan tatanan dan perkembangan politik internasional sembari tetap mempertahankan karakter otoritarianismenya. Hasilnya, mereka dapat melanggengkan kekuasaan sampai munculnya kekuatan rakyat belakangan ini.

Kelanggengan kekuasaan rezim-rezim otoriter di Dunia Arab bertambah pasti berkat dukungan AS dan sekutu-sekutunya. Karena kepentingan sendiri, mereka merasa aman dengan rezim-rezim otoriter tersebut, meski sikap ini bertentangan dengan demokrasi yang mereka anut. Di sinilah terdapat standar ganda negara-negara Barat.
Lebih jauh, dengan melanggengkan kekuasaan rezim-rezim otoriter, negara-negara Barat dapat sangat terbantu dalam marjinalisasi dan penyingkiran parpol dan gerakan Islamis yang mereka pandang sangat membahayakan kelangsungan dominasi dan hegemoni mereka di Dunia Arab. Lagi pula, jika democratic opening benar-benar terjadi, sangat boleh jadi rezim-rezim otoriter dan sekutu-sekutu Baratnya jatuh ke dalam apa yang disebut sebagai democratic trap—jebakan demokrasi. Tegasnya, gerakan Islamis yang dianggap mendapat dukungan luas dari rakyat, bakal memanfaatkan demokrasi untuk sampai ke puncak kekuasaan, dan selanjutnya menerapkan agenda Islamis mereka sendiri.

Tetapi, seberapa kuatkah gerakan Islamis di Dunia Arab? Berbagai studi menunjukkan, parpol dan gerakan massa Islamis menghadapi banyak masalah internal menyangkut ketiadaan kepemimpinan yang kuat. Tak kurang pentingnya adalah terus berlanjutnya friksi dan konflik internal, di antara mereka yang menolak partisipasi dalam pemerintah otoriter tagut dan pihak yang dengan alasan pragmatis turut serta dalam proses politik rezim. Ini, misalnya, terlihat dalam konflik di dalam Ikhwanul Muslimin (IM) yang terdapat di berbagai negara Arab di antara kelompok Qutbian garis keras dengan Hudaybian yang lebih kompromistis.

Memang parpol dan gerakan Islamis pernah mencapai peningkatan perolehan suara dalam pemilu ‘window dressing’ seperti dialami Partai Keadilan dan Pembangunan di Maroko pada 2002, IM di Mesir pada Pemilu 2005, dan Hamas dalam pemilu Palestina pada 2006. Tetapi, mereka gagal mendapat keuntungan politik signifikan lewat partisipasi politik seperti itu, dan sebaliknya melakukan kompromi-kompromi politik dengan rezim-rezim tagut. Hasilnya, mereka kehilangan kredibilitas sebagai aktor-aktor politik Islamis—dan kian mendapat tantangan dari lingkungan internal mereka sendiri.

Karena itulah, parpol dan gerakan Islamis tidak menonjol dalam kebangkitan kekuataan rakyat di banyak bagian Dunia Arab sekarang ini. Mereka agak tertolong karena juga tidak ada pemimpin sekuler yang menonjol. Tetapi, ini membuat keadaan menjadi lebih runyam karena hanya menyisakan petinggi-petinggi militer dengan organisasi yang relatif solid untuk membajak keberhasilan revolusi rakyat.

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tulisan dimuat di Harian Republika, Kamis 10 Maret 2011