Rektor: Pembelajaran Islam Wasathiyah Perlu Dimasukkan Kurikulum

Rektor: Pembelajaran Islam Wasathiyah Perlu Dimasukkan Kurikulum

[caption id="attachment_15959" align="alignright" width="300"] Rektor UIN Jakarta Prof Dr Dede Rosyada menyampaikan arahan pada acara Workshop Kurikulum Resposif Gender yang diadakan PSGA UIN Jakarta, Kamis (23/2/2017) di Ruang Sidang Utama Gedung Rektorat lantai 2.[/caption]

Gedung Rektorat, BERITA UIN Online-- Ada tiga model pemikiran yang berkembang di UIN Jakarta, yaitu Ultra Kanan, Ultra Kiri dan Islam Wasathiyah. Demikian disampaikan Rektor UIN Jakarta Prof Dr Dede Rosyada pada acara Workshop Kurikulum Responsif Gender yang diadakan Pusat Studi Gender dan Anak UIN Jakarta, Kamis (23/2/2017) di Ruang Sidang Utama Gedung Rektorat lantai 2.

Dede menjelaskan, Ultra Kanan cirinya banyak mengeluarkan larangan, sedangkan Ultra Kiri serba permisif, sementara Islam Wasathiyah atau Islam garis tengah berada di antara keduanya.

Dalam setiap kasus yang menimbulkan kontoversi, LGBT misalnya, menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta itu, jangan selalu diidentikkan produk pemikiran UIN Jakarta.

“LGBT itu bukan dari produk pemikiran UIN Jakarta. Yang disebut produk UIN Jakarta itu adalah yang dikeluarkan resmi dari rektor,” ujar Dede.

Dicontohkannya, beberapa hari yang lalu enam orang delegasi Iran datang ke UIN Jakarta untuk melakukan inisiasi kerja sama dalam bidang pendidikan. Karena kunjungan ini, kemudian Rektor UIN Jakarta dibully dan dianggap pro Syiah.

“Ini cara berfikir yang salah.  Kita harus respek terhadap perbedaan. Dalam hal ini, lembaga manapun yang ingin menjalin kerja sama dalam bidang akademik, akan kita akomodir dengan baik,” imbuhnya.

Dede membandingkan ketika UIN Jakarta menjalin kerja sama dengan universitas-universitas di Eropa atau Amerika, tidak ada orang yang mempermasalahkan, padahal jelas-jelas mereka mayoritas non-muslim.

“Yang menjadi problem kita adalah Islam Wasathiyah belum tersosialisasi dengan baik kepada para mahasiswa, sementara mereka mempunyai tradisi yang berbeda,” tegasnya.

Ketika para mahasiswa menggelar halaqah kajian keagamaan tersendiri, sambung Dede, itu akan menjadi kajian positif jika ada pembimbing dari dosen yang ahli di bidang kajian tersebut, sehingga ide-ide yang muncul tidak tersesatkan.

“Ini not design by campus, tapi kajian keagamaan tersendiri. Oleh karena itu Islam Wasathiyah perlu dirancang dalam kurikulum dengan rekonstruksi yang modern dan sesuai dengan lingkungan kita yang responsif gender, sehingga tidak ke kanan dan ke kiri,” pungkas Dede. (mf)