Rekomendasi Via Harvard

Rekomendasi Via Harvard

Pengalaman Indonesia dalam hal menangani keragaman dan kehidupan masyarakat majemuk yang bisa rentan terhadap konflik bagi kian banyak orang luar sangat menarik. Apalagi, kalau hal itu dikaitkan dengan masalah 'mayoritas-minoritas', baik secara keagamaan maupun politik, yang tidak hanya ada di lingkungan masyarakat Muslim, tetapi juga dalam masyarakat non-Muslim di banyak bagian dunia.

Gejala ini terlihat, misalnya, dari lokakarya membahas masalah tersebut, yang diselenggarakan The Harvard University Initiative on Contemporary Muslim Societies dan Harvard's Center for Middle Eastern Studies, akhir Oktober 2011 lalu. Memberikan presentasi dalam sesi berbeda dengan Prof Bahtiar Effendy, dekan FISIP UIN Jakarta, saya mendengar dan melihat jelas pengalaman banyak masyarakat lain.

Dan, ketika saya refleksikan, Indonesia dapat menjadi lessons learned yang baik bagi banyak masyarakat Muslim di tempat-tempat lain. Meski Indonesia tidak mempunyai masalah dalam hal pluralisme dan kemajemukan di lingkungan intra dan antaragama berbeda, tetapi skalanya jelas jauh lebih rendah dibandingkan apa yang terjadi di banyak negara Muslim Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan.

Karena itu, Indonesia dalam hal pengelolaan pluralisme dan kehidupan masyarakat begitu majemuk berada dalam posisi pas memberikan rekomendasi kebijakan bagi masyarakat-masyarakat Muslim lain di kawasan dunia Islam. Di antara rekomendasi yang saya sampaikan via Harvard itu adalah, pertama, adopsi dasar negara non-confessional-tidak berdasarkan agama-seperti Pancasila. Tetapi, pada saat yang sama Pancasila akomodatif terhadap agama, tidak memusuhi agama-religiously friendly.

Dengan Pancasila, hubungan di antara komunitas agama berbeda diatur tidak berdasarkan 'mayoritas-minoritas', tetapi atas prinsip kesetaraan warga. Karena itu, pelajaran yang bisa diambil adalah negara seyogianya tidak mengadopsi agama sebagai dasar negara, juga tidak mengambil ideologi yang tidak bersahabat dengan agama yang pada gilirannya dapat menciptakan kepincangan dalam hubungan antarumat beragama yang berbeda. Kedua, adopsi prinsip negara-bangsa yang akomodatif terhadap perbedaan agama dan tradisi budaya, yang dalam konteks Indonesia adalah bhinneka tunggal ika atau 'kesatuan dan keragaman'.

Tidak banyak negara yang mempunyai pilar kebangsaan resmi semacam ini, kecuali hanya Indonesia dan AS dengan 'e pluribus unum'-keragaman dalam kesatuan. Prinsip ini adalah dasar bagi multikulturalisme, yaitu 'politik pengakuan' atas setiap keragaman yang ada dalam kehidupan negara-bangsa, sehingga mendorong terciptanya kehidupan bersama yang damai dan saling menghargai. Dengan demikian, hubungan budaya yang ada bukanlah atas dasar mayoritas-minoritas.

Ketiga, penguatan ormas, lembaga, LSM arus utama Islam, seperti NU, Muhammadiyah, dan banyak lagi yang terdapat di seluruh nusantara. Mereka selain berpegang dan mengembangkan Islam washatiyah, juga bergerak dalam pemberdayaan dakwah, pendidikan, ekonomi, dan kesehatan.

Tak kurang pentingnya, peran mereka juga sangat krusial sebagai civil society dalam pemeliharaan kohesi sosial, baik intra maupun antarumat beragama. Sebagai civil society, mereka juga berperan penting sebagai mediasi di antara negara pada satu pihak dengan masyarakat akar rumput pada pihak lain.

Keempat, penguatan dan pemberdayaan intra dan antardialog agama, baik pada tingkat nasional, provinsi, dan lokal secara reguler, baik yang diselenggarakan oleh masyarakat sendiri maupun pemerintah atau semipemerintah semacam FKUB.

Dialog semacam ini sangat penting dalam menumbuhkan saling pengertian dan  percaya, juga dalam menyelesaikan konflik yang bisa muncul dalam masyarakat sewaktu-waktu. Karena figur-figur yang terlibat dalam dialog intra dan antaragama kadang-kadang merasa sebagai 'pemadam kebakaran' ketika menghadapi konflik intra atau antaragama, diperlukan kerja sama dan koordinasi lebih komprehensif dan reguler di antara berbagai pihak terkait.

Kelima, penguatan demokrasi sebagai mekanisme penyelesaian masalah secara damai. Pertumbuhan dan konsolidasi demokrasi seyogianya dipandang sebagai proses berkelanjutan, bukan sudah selesai atau dibiarkan bertumbuh alamiah. Pada saat yang sama, penegakan hukum secara  tegas dan konsisten-tidak partisan dan setengah hati-juga merupakan faktor penting bagi terpeliharanya kehidupan bersama yang damai dan harmonis.

Rekomendasi-rekomendasi ini memang tidak mudah dan dapat secara serta-merta diterapkan dalam masyarakat dan negara lain, khususnya di dunia Arab yang memiliki sejarah dan sosiologi berbeda. Tetapi, jika Indonesia diharapkan banyak kalangan dunia ikut berbagi pengalaman dengan masyarakat-masyarakat yang tengah mengalami transisi di dunia Arab, rekomendasi-rekomendasi itu pada tempatnya dipertimbangkan.

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tulisan dimuat pada harian Republika, Kamis (1/12).