Ramadan dan Jihad Melawan Teror

Ramadan dan Jihad Melawan Teror

UMAT Islam kembali memasuki bulan suci Ramadhan. Sepekan menjelang Ramadhan, publik Tanah Air dikejutkan dengan adanya aksi teror beruntun: teror Mako Brimob Depok, ledakan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, di Sidoarjo, dan di Mapolrestabes Surabaya.

Aksi biadab ini setidaknya merenggut nyawa 25 orang, baik dari pelaku maupun polisi dan masyarakat di lokasi kejadian. Keamanan dan kenyamanan warga menjadi terusik dan diliputi kabut pekat rasa ketakutan, padahal dalam beribadah Ramadan sangat diperlukan kedamaian, ketenangan, dan kekhusyukan.

Mengapa aksi keji yang tidak berperikemanusiaan itu terjadi lagi? Mengapa kejahatan kemanusiaan itu menghantui dan menakuti warga masyarakat dan bangsa menjelang bulan suci Ramadhan? Bagaimana kita semua bersatu padu berjihad melawan aksi teror dan terorisme hingga ke akar-akarnya sekaligus mengungkap motif, siapa dalang dan aktor intelektual di balik semua perbuatan terkutuk itu?

Kita semua tentu mengutuk dan prihatin dengan aksi teror yang telah merenggut banyak korban jiwa manusia tidak berdosa. Kutukan demi kutukan tentu tidaklah cukup karena hanya merupakan ekspresi kegeraman kita atas aksi kekerasan yang merusak sendi-sendi kemanusiaan, kebangsaan, dan peradaban.

Kita perlu berpikir cerdas dan bertindak strategis dengan melibatkan segenap komponen bangsa: ulama, tokoh agama, tokoh masyarakat, pendidik, aparat penegak hukum, rakyat sipil, dalam me­cegah aksi serupa dan berjihad melawan teror, terorisme, dan ideologi radikal.

Jihad kontraterorisme merupakan sebuah keharusan di tengah ancaman teror yang mengerikan dan berpotensi “mengadu domba” di antara warga bangsa yang plural dan multikultural ini. Bagi umat Islam, jihad melawan teror dan terorisme merupakan panggilan iman seperti jihad melawan penjajah dan penjajahan. Karena teror dan terorisme itu musuh bersama sekaligus musuh semua agama.

Akar Ideologi Radikal 

Ideologi radikal dan aksi kekerasan dengan teror tidak identik dan tidak boleh diatasnamakan agama tertentu. Karena agama apa pun tidak ada yang mengajarkan teror dan terorisme. Semua agama mengajarkan kasih sayang dan perdamaian abadi.

Jika kemudian sebagian kecil pemeluk agama itu berideologi radikal, berhaluan keras, dan mengobarkan semangat “masuk surga” melalui amaliyah istisyhadiyyah  (peledakan bom bunuh diri untuk meraih mati syahid), dapat dipastikan bahwa pemahaman semacam itu salah besar. Pemahaman keliru dan sesat ini boleh jadi disebabkan cuci otak dan indoktrinasi yang menyesatkan dengan janji “angin surga”.

Munculnya ideologi radikal sungguh kompleks. Di satu segi penganut ideologi ini boleh jadi mengalami semacam kekecewaan dan keputusasaan berat terhadap sistem sosial politik yang ada. Pada saat yang sama, doktrin bahwa negara ini memakai sistem thaghut (kafir) membuat mereka merasa berada dalam situasi yang mengharuskan hijrah dari “negeri kafir” (dar al-kufri) menuju negeri Islam (dar al-Islam). Spirit untuk berhijrah dan mengganti sistem pemerintahan dengan negeri “impian” mereka inilah yang menjadi salah satu akar ideologi radikal yang memosisikan mereka harus terus berjuang dan berperang melawan sistem thaghut.

Mereka memandang negara Pancasila dan sistem pemerintahan yang ada sebagai target untuk diperangi. Doktrin jihad yang luas, luwes, dan multidimensi itu kemudian direduksi menjadi sekadar qital (berperang). Dan qital yang mereka dambakan adalah perang instan dan cepat untuk mengantarkan mereka masuk surga, tak peduli dengan meledakkan diri dan membunuh banyak orang tidak berdosa.

Jadi salah satu akar ideologi terorisme adalah indoktrinasi dan reduksi ajaran agama yang menyimpang, diperkuat dengan janji menjadi syahid yang kompensasinya adalah masuk surga daripada hidup di dunia menderita dan sengsara karena berbagai persoalan sosial.

Meluruskan Makna Jihad

Konsep jihad sering kali dimaknai hanya sebagai bentuk perlawanan, tindakan konfrontatif atau perang suci, padahal misi profetik Nabi SAW adalah pembumian agama perdamaian dan kasih sayang, bukan kekerasan, penindasan, terorisme, dan perang (QS Al-Anbiya [21]: 107)

Secara semantik, jihad dapat dimaknai sebagai upaya mengerahkan segala kemampuan dengan penuh kesungguhan dalam rangka menghadapi dan mengatasi kesulitan, kesukaran, dan tantangan kehidupan. Al-Ashfahany (w. 502) memaknai jihad sebagai “mengerahkan daya upaya untuk menangkis serangan dan menghadapi musuh yang tidak tampak seperti hawa nafsu dan setan dan musuh yang tampak seperti orang kafir dan musyrik.

Oleh karena itu, menurut Ibn al-Qayyim, jihad melawan diri sendiri (jihad an-nafs) itu merupakan jihad terbesar dan terberat bila dibandingkan dengan jihad melawan setan, orang-orang kafir, musyrik, dan orang munafik.

Sebab musuh yang dihadapi adalah diri sendiri yang tidak kasatmata, sedangkan jihad melawan musuh-musuh Islam itu dapat dilihat dengan jelas. Pada saat yang sama, dalam diri manusia terdapat jiwa kebinatangan yang cenderung memengaruhinya untuk memperturutkan hawa nafsunya.

Jika jiwa kemanusiaan (al-nafs al-insaniyyah) itu tidak mampu mengatasi jiwa kebinatangannya, hidup manusia akan selalu dijajah oleh hawa nafsunya. Yang paling berbahaya adalah orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.

“Tahukah engkau orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (QS al-Furqan [25]: 43). Jika hawa nafsu dipertuhankan, yang bersangkutan itu tidak lebih dari budak nafsu.

Allah mensyariatkan puasa Ramadhan antara lain agar muslim selalu waspada dan bersikap hati-hati terhadap musuh yang ada dalam diri sendiri. Karena itu Nabi SAW pernah menyatakan bahwa “puasa itu perisai” (HR Muslim). Dengan demikian perisai paling kuat adalah jihad melawan musuh dalam diri sendiri dan godaan setan.

Jihad melawan hawa nafsu angkara murka dalam bentuk menahan diri untuk tidak meneror dan bertindak kekerasan idealnya diaktualisasi, sehingga umat Islam tidak terjebak dalam rutinitas puasa tanpa makna.

Karena itu jihad melawan teror dan terorisme harus menjadi komitmen dan agenda para shaimin dengan mengembangkan sikap toleran, menerima perbedaan, menghargai dan berempati terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT dan kepada sesama.

Aktualisasi jihad melawan teror dan terorisme diwujudkan dengan menunjukkan sikap harmoni, damai, terbuka, dialogis, dan bertindak penuh kearifan serta menjauhkan diri dari penjajahan hawa nafsu yang menyesatkan dengan aksi teror.

Melalui puasa lahir batin atau puasa holistis, umat Islam dapat meraih tujuan puasa, yaitu menjadi orang yang bertakwa secara autentik (QS Al-Baqarah [2]:183): takut kepada azab Allah jika membunuh manusia tak berdosa, takut tidak masuk surga jika merusak tatanan kehidupan dengan kekerasan, dan takut tidak memperoleh rahmat dan ampunannya karena tidak meneladani sifat dan nama baik Allah (Al-Asma’ al-Husna): Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Damai dan Pemberi keselamatan.

Puasa fisikal (tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan suami-istri) harus ditransformasi menjadi puasa liberatif-transformatif (yang membebaskan dan bervisi perubahan positif) dari “penjara hawa nafsu” menuju muslim yang sukses memuasakan panca­indera, lisan, hati, dan pikirannya, sehingga menjadi lulusan pendidikan Ramadhan yang berkarakter takwa dengan mnebarkan ajaran kasih sayang, cinta damai, dan antikekerasan dan terorisme.

Jihad sejati mlalui pendidikan Ramadhan sudah semestinya menjadi salah satu solusi untuk mewujudkan kehidupan damai, rukun, toleran, dan saling menghargai perbedaan, sekaligus memerangi teror dan terorisme yang memang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan, kemnusiaan, dan persatuan ke­bangsaan.

Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana UIN Jakarta dan UMJ (mf)