Proses Mengindonesia

Proses Mengindonesia

Sejak 1974 saya hijrah ke Jakarta. Sejak itu hampir tidak pernah berbahasa Jawa, kecuali ketika pulang kampung ke Magelang berkumpul dengan keluarga.Sebaliknya, keluarga saya hampir tidak pernah berbahasa Indonesia, kecuali ketika bertemu teman- teman saya dari Jakarta yang singgah ke rumah.

Lalu, anak saya yang lahir dan tumbuh di Jakarta hanya mengenal bahasa Indonesia plus bahasa Inggris. Apa makna semua ini dari segi psikologis-antropologis? Pertama,keluarga yang melakukan urbanisasi dari desa ke kota setidaknya memiliki dua rumah budaya. Meski mereka sudah merasa menjadi penduduk kota, seperti saya di Jakarta, meskipun tinggal di Ciputat, masih memiliki ingatan dan hubungan emosional yang kuat dengan kampung halaman.

Kerinduan untuk menengok kampung halaman masih kuat, sehingga setiap Lebaran ikut meramaikan acara pulang mudik. Kedua, pada generasi anak yang lahir dan tumbuh di kota, mereka secara emosional tidak memiliki dorongan pulang mudik. Kalaupun ramai-ramai pulang mudik, lebih karena dorongan solidaritas pada orang tuanya dan hitung-hitung rekreasi.

Ketiga, ikatan dan penjaga tradisi serta bahasa daerah sekarang ini kian melemah. Penduduk Jawa, misalnya, yang merupakan penduduk terbesar Indonesia yang didominasi bahasa Sunda dan Jawa, sekarang yang menjadi bahasa utamanya adalah bahasa Indonesia. Dalam hal ini pengaruh media massa sangat dahsyat.

Surat kabar atau majalah yang menggunakan bahasa daerah sulit ditemukan. Keempat, disadari atau tidak, dengan segala plus-minusnya proses Indonesianisasi sekarang ini kiat menguat. Setidaknya dari segi bahasa Tentu saja jati diri bangsa Indonesia tidak cukup hanya diandalkan pada penggunaan bahasa Indonesia.

Namun, setidaknya bahasa Indonesia menjadi pengikat dan medium paling efektif untuk menjaga dan memperkuat rasa keindonesiaan kita. Dibanding negara-negara lain di dunia, politik bahasa nasional kita paling berhasil. Sekian ratus etnis bisa diikat dan disatukan dengan satu bahasa Indonesia,sehingga komunikasi sosial dan medium pembelajaran di sekolah dapat berlangsung dengan mudah.

Bayangkan saja, betapa repotnya melakukan komunikasi sosial dan proses pembelajaran di sekolah kalau tidak memiliki bahasa nasional yang dipahami semua masyarakat. Pusat terjadi proses indonesianisasi yang paling efektif tentu saja berlangsung di universitas-universitas unggulan yang mahasiswa maupun dosennya datang dari berbagai wilayah Nusantara.

Saya sendiri sangat merasakan dengan kuliah di UIN Jakarta. Di situ saya berjumpa teman-teman kuliah maupun pengajar lintas etnis. Lalu aktif di organisasi mahasiswa dan pers sehingga memudahkan bergaul dengan teman-teman lintas profesi dan agama. Hanya saja, sekali-sekali muncul kekhawatiran.

Akibat desentralisasi yang telah mendorong munculnya semangat dan identitas kedaerahan bisa saja akan menggerogoti semangat keindonesiaan. Ada lagi perguruan tinggi yang warna dan aura lokalnya begitu kental. Ini kurang bagus untuk mempersiapkan caloncalon pemimpin dan politisi yang hendak berkiprah dalam panggung nasional dengan penduduknya yang plural.

Semangat dan komitmen keindonesiaan itu tidak saja digerogoti oleh militansi etnisprovinsialisme, tetapi bisa juga oleh eksklusivisme kepartaian dan ideologi transnasional.

Aktivis politik yang bergabung dalam parpol jangan sampai lebih sibuk memikirkan target next election sampai lengah berpikir tentang next generation. Parpol yang bermunculan di era reformasi ini pada awalnya mengusung tema dan semangat membangun negara, memajukan bangsa, bukan sebuah perseroan terbatas untuk mengejar kedudukan dan keuntungan materi.

Memudarnya identitas kedaerahan haruslah diarahkan beralih untuk menemukan semangat, identitas,dan rumah keindonesiaan. Sungguh tragis kalau identitas kedaerahan memudar, sementara kebanggaan keindonesiaan juga kian melemah. Mestinya para elite dan aktivis parpol berdiri paling depan untuk mengembalikan kebanggaan berbangsa dan bernegara.

Sangat disayangkan,proses politik yang tengah berlangsung akhir-akhir ini bukannya memberikan semangat dan solusi untuk memperkokoh keindonesiaan dan menyejahterakan rakyatnya, melainkan yang mengemuka masih saja seputar korupsi dan lemahnya penegakan hukum.

Â