Profesor UIN:  Perempuan Jangan Jadi Subordinat

Profesor UIN: Perempuan Jangan Jadi Subordinat

Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, MA

Guru Besar Sejarah Politik Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta

 

[caption id="attachment_10106" align="alignleft" width="221"]Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, MA Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, MA[/caption]

Bersama Prof. Dr. Zaitunah Subhan, Prof Dr. Hj. Amany Lubis MA terpilih sebagai penerima UIN Woman’s Award 2015 dari Pusat Studi Gender dan Anak UIN Jakarta. Kepada BERITA UIN Online, puteri Prof. Dr. Nabilah Lubis MA ini bertutur tentang penghargaan yang diterima, kesibukan, dan pandangannya tentang peran yang harus dilakukan perempuan.

 

Anda dianugerahi UIN Woman’s Award. Apa tanggapan Anda?

Alhamdulillah saya dipercaya menjadi penerima anugerah UIN Woman Awards. Memang penerimaan award sempat tertunda karena saat diberikan, saya masih menjalankan tugas program visiting professor ke beberapa universitas Maroko, menjadi narasumber pada konferensi akademik dan kuliah umum. Tapi tentu saya bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Jakarta yang telah menganugerahkan penghargaan ini.

Apa sebetulnya kriteria sehingga Anda terpilih sebagai penerima award tersebut?

Saya betul-betul tidak tahu apa sebetulnya kriteria yang menjadi alasan saya menjadi penerima award tersebut. Apakah aspek akademik, keterlibatan dalam organisasi, atau aspek keluarga. Saya betul-betul tidak tahu. Sempat bertanya ke Bu Rahmi (Rahmi Purnomowati, SP., M.Si., Ketua PSGA, red.). Beliau hanya tersenyum dan bilang penentuan dilakukan tim khusus UIN Jakarta. Terlepas dari apa alasan sehingga saya bisa dipilih, namun ini adalah surprise sekaligus motivasi bagi saya untuk memberikan kiprah terbaik bagi UIN Jakarta, ummat, dan bangsa.

Lepas dari penghargaan tersebut, Anda adalah sosok dosen dengan karir akademik cemerlang. Apa yang membuat Anda bisa meraih karir seperti demikian?

Untuk akademik, saya telah menjadi dosen di UIN sejak 22-26 tahun lalu. Dengan rentang pengabdian tersebut, Alhamdulillah saya mendapat banyak pengalaman akademik, termasuk diantaranya berbagai kesempatan yang diberikan UIN Jakarta maupun lembaga lain sehingga saya mendapat jaringan akademik di luar negeri. Jaringan tersebut memungkinkan saya mempublikasikan tulisan dalam berbagai media akademik internasional seperti di Lebanon, bahkan Bangkok.

Selain itu, jaringan demikian memungkinkan saya mampu meraih gelar akademik tertinggi (profesor, red). Alhamdulillah di usia 42 tahun saya sudah professor. Bila sebelumnya gelar profesor di usia tersebut lebih banyak dicapai para dosen laki-laki, alhamdulillah saya bisa mengawali raihan gelar tersebut di kalangan dosen perempuan.

Ada kebiasaan sejak kecil yang ditanamkan orang tua? 

Dari kecil, orang tua telah membiasakan saya dekat dengan bacaan. Kedekatan tersebut terbawa hingga kini. Ketika saya kuliah di Universitas al-Azhar, Mesir, misalnya, selama 10 tahun di sana, saya banyak manfaatkan waktu dengan mengunjungi perpustakaan, baik untuk membaca, menelaah, maupun menulis. Selain itu, pengaruh orang tua dan pergaulan juga memungkinkan saya membaca berbagai literatur Inggris, Perancis, dan tentu saja berbahasa Arab. Sehingga ketika pulang ke Indonesia dan melanjutkan pendidikan hingga tingkat doktoral, kebiasaan membaca dan mengakses sumber-sumber tiga bahasa sudah bukan halangan lagi.

Alhamdulillah, sepanjang karir akademik, saya juga banyak dipertemukan dengan para guru yang banyak memberikan dorongan dan arahan sehingga saya bisa memelihara komitmen di dunia akademik. Beberapa guru yang cukup berpengaruh, misalnya almarhum Profesor Johan Meuleman (Profesor Sejarah Islam pada Universiteit Leiden) dan Profesor Azyumardi Azra (Profesor Sejarah UIN Jakarta). Mereka banyak mendorong saya menapak karir akademik. Bahkan, mereka seringkali menghadiahkan buku-buku kepada saya.

Jadi, secara akademik, saya bisa berkembang karena dekat dengan bacaan. Selain itu, alhamdulillah saya juga bisa mengikuti berbagai kegiatan meneliti, membaca, termasuk berinteraksi dengan kalangan akademisi intelektual dari banyak latar belakang dan perguruan tinggi.

Anda juga sibuk dalam sejumlah organisasi. Bisa diceritakan sedikit kesibukannya?

Dari sisi organisasi, alhamdulillah saya dipercaya untuk terlibat pada sekurangnya 18 organisasi, baik keislaman maupun profesi keilmuan. Salah satunya, saya diberi kesempatan terlibat sebagai pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lalu, al-Majlis al-‘Alamy li-l ‘Alimat al-Islamy yaitu organisasi intelektual perempuan dimana saya dipercaya menjadi ketua umumnya. Alhamdulillah saya juga dipercaya sebagai sekretaris Dewan Pakar ICMI, Perhimpunan Wanita Alumni Timur Tengah, International Woman Union yang berpusat di Sudan, Human Security Network yang berpusat di Belanda, Forum for Peace di Abu Dhabi, dan Asean Muslim Network di Bangkok. Belum termasuk di berbagai lembaga pendidikan dan media.

Selain menjadi ladang pengabdian, dipercaya terlibat dalam banyak organisasi memungkinkan saya bisa dididik untuk menjadi orang yang berkiprah menulis dan bermanfaat bagi umat. Mudah-mudahan Allah SWT tetap memberikan kesehatan dan kelancaran, serta memelihara semangat saya untuk melakukan pengabdian ini.

Bagaimana dengan keluarga?

Alhamdulillah, saya lahir dan tumbuh dalam keluarga yang memberikan support penuh dalam melakukan pengabdian ini. Kedua orang tua yang telah berhasil menanamkan kedisiplinan dan semangat belajar, suami yang memberikan kepercayaan dan mendukung penuh kiprah saya di luar rumah, anak-anak yang mampu memahami kesibukan ibunya. Namun sebagai anak, istri dari seorang suami, dan ibu bagi anak-anak, tentu saya usahakan agar kesibukan di luar tidak mengganggu perhatian bagi mereka.

Berangkat dari seluruh kiprah Anda, ada saran yang bisa dibagikan kepada para perempuan?

Kepada para wanita karir yang meniti karirnya, nilai yang bisa saya berikan adalah jagalah hubungan baik ke semua pihak, suami, anak-anak, mertua dan orang tua. Terbukalah tentang kegiatan kita di luar, termasuk misalnya saat kita akan pergi kemana. Jaga diri selalu, dan jangan lengah dari hal-hal yang tidak layak untuk dilakukan oleh seorang perempuan atau istri sehingga kita bisa menjaga kepercayaan keluarga bahwa kita bisa menjaga diri sendiri dengan baik saat berada jauh di luar rumah.

Selain itu, hal yang cukup penting adalah tanamkan kesantunan dalam berbicara dan berperilaku dalam keluarga. Saya misalnya tidak terbiasa dengan mengobrol dengan bahasa lu, gue, atau lainnya. Meski saya besar di Jakarta, di Ciputat ini, saya merasa bahasa demikian kurang layak. Termasuk saat di luar negeri, saya selalu berusaha memakai bahasa resmi. Rasanya lebih elok untuk didengar.

Apa strategi Anda dalam meniti sukses di dunia akademik, organisasi, maupun keluarga?

Intinya jangan malas. Dalam berorganisasi, misalnya, saya selalu berusaha terbuka untuk mendorong apalagi menyangkut profesi saya sebagai pendidik. Saya selalu katakan kepada mahasiswi, anda jangan malu dan jangan malas! Apapun yang ditugaskan dosen, tolong kerjakan dengan baik. Selalu belajar dan jangan pernah takut salah karena salah itu bisa diperbaiki.

Sukses istri tentu ada dukungan suami. Apa saran Anda bagi para suamidalam mendukung para istri?

Dalam sebuah rumah tangga, suami-istri harus saling melengkapi, saling pengertian, saling memahami dan memberi dorongan yang tidak setengah-setengah. Namun, sesekali kita juga perlu mengecek apakah, misalnya, izin yang diberikan suami kepada istri atau istri kepada suami, sudah didasari ikhlas atau malah terpaksa. Perempuan juga harus berani dalam mengutarakan usulan atau pendapat pribadinya. Selain itu, komunikasi suami-istri harus terus diperbarui dan dijaga dengan baik. Baik istri maupun harus sama-sama melakukan yang terbaik bagi yang lainnya. Jadi perempuan tidak selalu jadi subordinat, tapi juga tidak superior. (ZM/NJS)

Profil Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, MA

Lahir di Kairo, 22 Desember 1963. Amany menempuh pendidikan Sarjana di Universitas Al-Azhar Kairo. Lalu, melanjutkan pendidikan magister dan doktoral di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Sejak 26 tahun lalu, ia telah mengabdikan diri sebagai dosen Fakultas Syariah UIN Jakarta. Selain itu, ia juga banyak mengajar di berbagai perguruan tinggi Indonesia seperti menjadi dosen pada Program Timur Tengah & Islam Universitas Indonesia. Dengan seabreg aktifitas dan kecintaannya pada dunia akademik, Amany berhasil menjadi Profesor Sejarah Politik Islam.

Namun, di sela-sela kesibukannya mengajar, ibu dari Ayman (S1 Ekonomi Internasional, Universitas Cairo; S2 Magister Manajemen UI), Akram (HI FISIP UIN Jakarta), dan Radwa (SMA Kharisma Bangsa) ini aktif di berbagai forum profesional-akademik. Selain aktif di Majelis Ulama Indonesia, Amany kini tercatat memimpin al-Majlis al-Alamy lil-‘Alimat al-Islamy (MAAI), sebuah organisasi intelektual perempuan Muslim.