Profesionalisme Bagi Guru dan Dosen

Profesionalisme Bagi Guru dan Dosen

[caption id="attachment_10167" align="alignleft" width="220"]Prof. Dr. Dede Rosyada, MA Prof. Dr. Dede Rosyada, MA[/caption] Oleh: Prof. Dr. Dede Rosyada, MA   Pengantar

            Guru dan dosen merupakan pendidik profesional dalam wilayah kerja yang sama, yakni ilmu dan pendidikan. Namun keduanya memiliki fungsi pengembangan ilmu yang berbeda. Bila guru berperan sebagai agen pembelajaran, maka dosen merupakan ilmuwan yang mengajar. Dalam diri guru melekat tugas mengajar dengan kewajiban mengembangkan teknik pembelajaran sehingga para siswa dapat terus belajar dan mengembangkan diri agar menjadi bagian dari masyarakat yang bermoral, religious, memiliki keahlian, berintegritas, dan sehat baik jasmani maupun rohani. Perbedaan guru dan dosen ditetapkan dalam regulasi pendidikan, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. UU ini menegaskan bahwa Guru merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini melalui jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sedangkan dosen merupakan pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebar-luaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

            Pengaturan guru dan dosen sebagai tenaga profesional menjadi perhatian serius seluruh pihak di negeri ini. mulai dari ahli pendidikan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan apparat pemerintah sendiri. Perhatian banyak pihak diberikan sebagai bentuk perhatian atas dunia pendidikan di Indonesia yang menjadi tumpuan proses pemajuan bangsa, dengan mengandalkan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Strategi perbaikan sektor pendidikan yang tidak dimulai dari aspek sarana dan fasilitas, kurikulum atau metode pembelajaran, tapi justru dari penguatan profesionalisme guru dan dosen merupakan satu hal yang perlu diapresiasi tinggi. Sebab profesionalisme guru dan dosen merupakan pilihan strategis dalam menghantarkan para siswa menjadi manusia Indonesia yang kreatif, inovatif dan mampu sehingga menjadi bangsa besar dengan kekuatan ekonomi yang ditopang oleh ilmu pengetahuan (knowledge based economy). Masyarakat yang pintar, memiliki skil dan ketrampilan, kreatifitas dan inovasi, akan mudah diserap pasar di mana pun mereka berada. Bahkan, mungkin saja mereka akan menjadi penggerak ekonomi bangsa lewat usaha-usaha kreatifnya. Memang, kini banyak anak bangsa yang menjadi pengusaha, baik skala kecil, menengah atau bahkan mungkin besar, dan banyak pula diantara mereka menjadi birokrat produktif dalam menghasilkan berbagai kebijakan yang mendorong pemajuan bangsa, atau menjadi profesional lain dalam berbagai bidang. Namun belum bisa dibuktikan apakah keberhasilan mereka menjadi orang-orang penting di bidangnya masing-masing merupakan hasil proses pendidikan yang tepat, atau karena faktor genetika, lingkungan atau lainnya. Oleh sebab itulah, secara hipotetik Indonesia sudah tepat memulai perbaikan sektor pendidikan dari peningkatan profesionalisme guru dan dosen.

Apa itu Profesional?

Istilah profesi lazim digunakan pada sebuah pekerjaan yang dijalankan seseorang dengan memenuhi berbagai kualifikasi yang dibutuhkan dalam memperoleh hasil sesuai standar atau tujuan yang ditetapkan. Pada saat yang sama, profesi juga difahami sebagai pekerjaan yang menjadi harapan ideal seseorang yang dipercaya mengerjakannya. Helen G Hurg[1] dari Rutgers University, New Jersey, menjelaskan bahwa profesi adalah sebuah pekerjaan yang dijalankan seseorang dengan sebelumnya memperoleh pendidikan yang cukup, dan memenuhi seluruh kualifikasi yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaannya itu. Secara lebih detail Hurd menjelaskan, bahwa pekerjaan yang bisa menjadi sebuah profesi, dan pekerjanya adalah profesional harus memenuhi beberapa ciri, yakni:

  1. Bahwa pekerjaan itu hanya bisa dilakukan oleh orang dengan pendidikan yang sesuai dengan pekerjaannya itu;
  2. Mereka yang mengikuti pendidikan atau pelatihan sudah berusia dewasa sehingga bisa lebih siap untuk terjun dalam pekerjaan profesinya itu;
  3. Pekerjaan tersebut juga harus memperoleh pengakuan dari instansi yang memberikan sertifikat pengakuan bahwa pekerjaan tersebut hanya bisa dilakukan oleh mereka yang berpendidikan khusus dan memperoleh legalitas berbentuk sertifikat atau sejenisnya;
  4. Lisensi pengakuan atau sertifikat dikeluarkan oleh sebuah badan yang dikelola sekelompok orang berkewenangan dari profesi yang sama;
  5. Berbagai aturan yang membentuk dan meregulasi profesi juga dikembangkan oleh organisasi profesi itu sendiri;
  6. Pekerjaan profesi menghasilkan pendapatan yang baik, prestisius, dan membuat para profesionalnya memiliki kekuatan sebanding dengan profesi lainnya;
  7. Profesi tersebut diawasi dan terus dievaluasi oleh mereka yang memahami profesi tersebut dan berasal dari komunitas yang sama, sehingga terbebas dari evaluasi dan kontrol yang salah;
  8. Berbagai aturan tentang profesinya itu ditetapkan oleh organisasi, dan bahkan jauh lebih powerful dibanding aturan lembaga legislatif sendiri;
  9. Para anggota organisasi profesi tersebut lebih terikat dengan organisasi profesinya daripada dengan organisasi lain di luar profesinya; dan,
  10. Pekerjaan yang menjadi profesinya itu menjadi terminal terakhir dari pengembaraan pekerjaannya, dan hampir tidak ada niat atau rencana untuk meninggalkan profesinya itu dan beralih pada profesi lain.

Berangkat dari berbagai batasan di atas, maka seorang pekerja profesional dalam bidang apapun, termasuk di pekerjaan pendidik baik sebagai guru maupun dosen, harus memiliki kriteria-kriteria di atas. Artinya, selain harus berpendidikan sesuai dengan pekerjaannya dan keahliannya diakui dari instansi terkait, seorang professional juga harus melakukan pekerjaannya secara total dan tidak berfikir beralih pada profesi lain, memiliki penghasilan yang memadai dan dihargai oleh profesi lain. Selain itu, ia juga harus memiliki organisasi profesi yang meregulasi profesinya, mengontrol kualitas pekerjaan profesinya, dan seluruh anggota organisasi profesi loyal pada organisasinya, karena organisasi tersebut adalah rumahnya sendiri dan organisasinya itulah yang melindungi pelaksanaan pekerjaan profesinya, dan mengembangkan kualitas profesionalitas mereka.

            Kendati demikian, tidak semua pekerjaan menagih profesionalitas. Ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang bisa dikerjakan semua orang, dengan atau tanpa pendidikan khusus. Akan tetapi, pekerjaan-pekerjaan tertentu, seperti layanan jasa kedokteran, harus dikerjakan oleh profesional yang memang dididik untuk melakukan pekerjaan sebagai dokter. Demikian pula layanan keperawatan, apoteker, akuntansi, jasa pengacara, termasuk guru dan dosen. Pekerjaan menjadi guru adalah profesi, mereka yang tidak memperoleh pendidikan untuk menjadi guru tidak bisa melakukan tugas keguruan, karena bisa salah perlakuan dalam mengajar para siswanya. Oleh sebab itu, syarat-syarat yang dituntut untuk mengerjakan pekerjaan profesi harus dipenuhi oleh siapapun yang memiliki minat dan keinginan menjadi guru.

            Konsep profesionalitas yang tidak jauh berbeda juga disampaikan Linda Evans. Menurut peneliti dari Leeds University ini, profesionalitas itu sudah harus menjadi sebuah ideologi, sikap, tindakan, intelektualitas, dan secara epistimologis berbasis pada pendirian individu saat harus melaksanakan tugas-tugas profesionalnya.[2] Dengan demikian, maka profesionalitas atau bisa juga disebut sebagai sebuah profesionalisme adalaj jika tingkat komitmen pekerjaan, keyakinan akan profesi, dan keteguhan untuk memajukan profesinya itu sudah menjadi sebuah keyakinan hidup bagi semua anggota organisasi profesi. Jika sudah menjadi sebuah keyakinan, maka profesionalisme itu akan menjadi sebuah budaya, karena tidak sekedar tahu tentang sebuah kewajiban, dan tidak sekedar tahu tentang kualifikasi yang harus dimiliki oleh setiap pekerja profesional, tapi semua kualifikasi tersebut sudah menjadi budaya, dan bahkan dalam kenyataan terlihat jauh lebih baik.

            Dengan demikian, sebuah pekerjaan menjadi pekerjaan profesi jika hanya bisa dikerjakan oleh orang yang terdidik dengan baik untuk pekerjaan yang dikerjakannya. Arsitek adalah profesi, karena hanya mereka yang terdidik dengan baik dalam ilmu arsitektur yang dapat menjadi seorang arsitek. Demikian pula dengan insinyur yang memiliki keahlian membangun gedung atau bendungan yang harus dipelajari dengan baik, sehingga bisa membangun infra struktur fisik tersebut dengan kekuatan yang terukur. Untuk menjadi profesional dalam bidang teknik tersebut perlu pendidikan serius, sehingga memperoleh lisensi untuk bekerja dalam bidangnya, setidaknya dari lembaga pendidikan yang melahirkannya, atau dari asosiasi profesi yang mewadahinya. Demikian pula dengan guru dan dosen, untuk menjadi pendidik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, serta pendidik di perguruan tinggi, memerlukan proses pendidikan yang baik, dan memperoleh sertifikat pendidik dari institusi yang berkewenangan.

            Kemudian, pekerjaan profesi juga memberikan penghasilan yang memadai, mencukupi, dan bahkan membanggakan sehingga tidak disepelekan oleh profesi lain. Profesi akuntan, tidak boleh disepelekan oleh profesi pengacara, hanya karena rata-rata penghasilannya lebih kecil. Demikian pula jangan sampai profesi dokter disepelekan oleh profesi akuntan, hanya karena penghasilan akuntan lebih kecil daripada dokter. dan jangan sampai profesi guru disepelekan oleh akuntan atau dokter hanya karena penghasilan guru lebih kecil daripada akuntan atau dokter. Oleh sebab itu, ketika guru menjadi pekerjaan profesi, guru harus meningkatkan kompetensi untuk berdedikasi penuh dengan ilmunya terhadap profesi yang menjadi kebanggaannya, dan pada saat yang sama, pemerintah atau yayasan pengelola pendidikan harus meningkatkan gaji dan tunjangan guru tersebut, sehingga tidak disepelekan oleh akuntan publik dan oleh dokter, hanya karena penghasilan guru di bawah penghasilan mereka.

Tidak cukup hanya dengan sebuah pelatihan, keahlian, penghasilan yang memadai, respect dan apresiasi terhadap profesi lain, ketika sebuah pekerjaan sudah menjadi sebuah profesi dan pekerjanya menjadi profesional, seorang profesional juga harus berintegritas, dan menurut Michael Davis dalam tulisannya “Professionalism means putting your profession first”, seseorang harus mendahulukan profesinya dari apapun juga.[3] Dicontohkan Davis, andai anda sudah memegang tiket untuk makan siang di sebuah restauran, tapi klien anda memerlukan waktu anda untuk berkonsultasi atau berkomunikasi, dia harus menunda makan siangnya dan mendahulukan kliennya. Jika seorang dokter sudah siap-siap untuk berlibur dengan keluarga, tapi tiba-tiba pasiennya memerlukan pertolongan, dia harus mendahulukan menolong pasien dibanding berlibur bersama keluarga. Demikian pula dengan seorang guru atau dosen yang sudah bersiap untuk bertamasya bersama keluarganya, harus menunda perjalanannya, jika ada siswa atau mahasiswa yang membutuhkan waktu untuk berkonsultasi, mengenai pelajaran, pekerjaan tugas, skripsi atau karya ilmiah lainnya.

Oleh sebab itu, Davis lebih lanjut menegaskan ada dua aspek makna[4] profesi bagi seseorang professional yang menjadikan profesinya sebagai sebuah profesionalisme, yakni bahwa pengakuan profesionalisme adalah pengakuan moral, bukan saja skill dan keahlian, tapi justru integritas terhadap profesinya menjadi lebih penting dari segalanya. Melaksanakan kewajiban profesi menjadi lebih penting dari segala apapun. Tidak bisa seorang guru atau dosen profesional menunda mengajar hanya karena cuaca hujan, transportasi macet, atau karena alasan apapun di luar profesinya. Tugas seorang guru adalah mengajar, membimbing, mengevaluasi, melakukan mentoring dan semua tugas-tugas akademik untuk menghantarkan para siswanya mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh mereka sendiri, keluarga masyarakat dan bahkan negara. Demikian pula dengan dosen, yang bukan saja sebagai pengajar tapi juga ilmuwan yang bertugas melakukan penelitian, menemukan teori baru, teknologi baru dan bahkan instrumen-insrumen baru yang bisa digunakan oleh para pemangku kepentingan, industri, perdagangan, atau bahkan layanan jasa di kantor-kantor layanan publik.

Kemudian yang kedua adalah keanggotaan dalam organisasi profesi yang dapat memberikan jaminan kehadiran layanan profesinya pada klien mereka, serta untuk menjaga konsistensi dan meningkatkan kualitas layanan pada klien. Oleh sebab itu, setiap profesi harus memiliki organisasi dan para anggotanya memiliki ikatan kuat dengan organisasinya untuk beberapa fungsi primernya, yakni meregulasi organisasi profesinya agar mampu menjaga konsistensi layanan, kepercayaan klien, dan juga meningkatkan kualitas layanan pada mereka. Tugas organisasi profesi adalah melakukan penelitian dan pengembangan, konferensi untuk menyebarluaskan dan memvalidasi hasil seminar pada seluruh anggota organisasi, dan melakukan workshop serta pelatihan agar semua temuan baru tentang layanan organisasi pada para klien tersampaikan pada seluruh anggota organisasi. Dan bahkan untuk fungsi terakhir, organisasi juga diperlukan untuk memberikan perlindungan pada seluruh anggota organisasi dalam pelaksanaan tugas mereka, dan memberikan advokasi jika salah satu atau sekelompok anggota organisasi teraniaya dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.

Pada akhirnya, professionalisme sangat memerlukan penghargaan tinggi terhadap etika yang harus dimulai dari dalam diri masing-masing pekerja profesi. Jika seorang profesional, pada kasus yang paling simpel masih mendahulukan bisnis lain daripada profesinya, hanya karena persoalan keuntungan material, maka etika profesinya terganggu. Kemudian pada konteks yang lebih besar sebagaimana ditegaskan oleh Guido Bertucci dari Dvisi Ekonomi di PBB,[5]bahwa tragedi terbesar pengkhianatan terhadap profesi di abad ini adalah “Financial Abuse and unprofessional behaviour in the field of professionalism.” Tidak sedikit orang lebih mendahulukan perolehan uang demi kekayaan pribadi dan keluarganya, daripada layanan profesinya, dengan merusak infrastruktur sistem akuntabilitas manajemen layanan. Dengan demikian, pada akhirnya, integritas etik menjadi bagian yang sangat penting dalam menjaga impelementasi pekerjaan profesi untuk mempertahankan sikap dan atribut profesionalisme sebuah pekerjaan profesional.

Menjadi guru dan dosen adalah pekerjaan profesi, dan pemerintah telah menunjukkan tanggung jawabnya yang sangat baik dengan menjaga martabat profesi tersebut lewat sertifikasi dan tunjangan profesi. Oleh sebab itu, setiap kita yang sudah memasuki profesi ini, perlu terus membina kualitas layanan yang diberikan pada para siswa dan mahasiswa sebagai klien, baik dalam aspek kompetensi keilmuan, kompetensi pedagogik, kompetensi pengembangan ilmu, kemudian mampu menjaga konsistensi layanan akademik pada para siswa dan mahasiswa, dan memberikan layanan sepenuh hati, tidak menjadikan dedikasi profesonalitasnya sebagai lahan untuk memenuhi hasrat pribadi dan keluarga belaka. Terakhir, tentu saja peran organisasi profesi juga perlu diperkuat sehingga dapat mengembangkan profesi, menjaga regulasi guna menjamin konsistensi dan kualitas layanan pada klien, menjadi vocal point bagi kelompok profesi, serta memberi advokasi terhadap berbagai kendala yang dihadapi seluruh anggota profesi dalam menjalankan tugas profesionalitasnya. Wallau a’lam bi al-shawab

Daftar Bacaan

Betrucci,Guido,Professionalism and Ethicsim the Public Service:Issues and Practices in Selected Regions, United Nations Department of Economic and Social Affairs Division for Public Economics and Public Administration, United Nation, 2000.

Hurd, Helen G, Who is a Professional, Journal of Cooperative Extension, Rutgers the State University, New Jersey, 1967.

Evans, Linda,Professionalism, professionality and the development of education professionals. British Journal of Educational Studies, 56 (1). tun 2008.

Michael Davis, Professionalism Means Putting Your Profession First, dalam The Georgetown Journal of Legal Ethics, Vol II  NO. 1, Summer 1988.

Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

[1]Helen G Hurd, Who is a Professional,Journal of Cooperative Extension, Rutgers the State University, New Jersey, 1967, p.78. [2]Linda Evans, Professionalism, professionality and the development of education professionals. British Journal of Educational Studies, 56 (1). tun 2008, pp. 20-38. [3]Michael Davis, Professionalism Means Putting Your Profession First dalam  The Georgetown Journal of Legal Ethics, Vol II  NO. 1, Summer 1988, p.342. [4]Ibid., p. 343 [5]Guido Betrucci, Professionalism and Ethics in the Public Service: Issues and Practices in Selected Regions,United Nations Department of Economic and Social Affairs Division for Public Economics and Public Administration, United Nation, 2000, p. 5.