Pilkada Untuk Rakyat

Pilkada Untuk Rakyat

Oleh: Dr Iding Rosyidin M.Si*

 

Tidak berlebihan kalau disebutkan bahwa pemilihan umum baik pada level nasional maupun lokal sebagai pesta atau hajatan demokrasi. Pasalnya pada momen itulah partisipasi rakyat benar-benar dapat dirasakan dan dilihat secara langsung. Bahkan kegembiraan demokrasi sungguh dapat dinikmati oleh semua pihak tanpa terkecuali. Pemilu atau pilkada sesungguhnya memang untuk rakyat.

Kini kegembiraan demokrasi tersebut terancam. Pasalnya di sejumlah daerah di Indonesia, antara lain di Kota Surabaya, pilkada serentak ternyata tidak begitu menarik perhatian bagi para calon kepala daerah. Alhasil, sampai waktu pendaftaran ditutup kontestan pilkada serentak hanya satu pasangan, yakni Petahana Tri Rismaharini yang kali ini berpasangan dengan Whisnu Sakti Buana.

Malangnya, kalau sampai pilkada hanya diikuti oleh calon tunggal, maka penundaan ke pilkada berikutnya menjadi pilihan. Dalam Peraturan KPU No. 12 disebutkan bahwa jika hanya ada satu pasangan calon, maka waktu pendaftaran calon akan diundur selama tiga hari. Jika setelah waktu tambahan tidak juga ada pasangan calon lain, maka pelaksanaan pilkada di daerah tersebut akan ditunda pada periode berikutnya.

Apakah bijak keputusan menunda pilkada gegara diikuti oleh hanya satu calon pasangan atau calon tunggal?            Haruskah kegembiraan demokrasi yang tengah dinanti rakyat diulur sampai dua tahun dengan asumsi pilkada serentak tahap pertama 2015 dan berikutnya 2017?

Sebuah Hajatan

Satu hal yang mesti ditekankan adalah bahwa pemilu atau pilkada adalah sebuah hajatan untuk rakyat, bukan untuk pemimpin. Kalau kemudian di sebuah daerah pilkada serentak hanya diikuti oleh satu pasangan calon, maka hal itu tidak ada kaitannnya dengan rakyat sebagai pemilih. Rakyat tetap dapat memilih meskipun hanya ada calon tunggal. Jangan sampai hak itu dibajak oleh pemerintah atau penyelenggara pilkada atas nama peraturan atau undang-undang.

Selain itu, tuduhan dari sementara kalangan yang menganggap pelaksanaan pilkada dengan calon tunggal sebagai tidak demokratis bahkan berbahaya bagi demokrasi agaknya terlalu berlebihan.Hal ini seperti dikatakan Wapres Jusuf Kalla (JK) yang mengkhawatirkan bakal adanya skenariosasi calon tunggal oleh kelompok tertentu di pilkada-pilkada berikutnya.

Memang mungkin saja hal itu bisa saja terjadi, tetapi bukan berarti tidak dapat dicegah. Asal semua proses pilkada dilakukan secara demokratis dan transparan, termasuk menerapkan prinsip Luber dan Jurdil, maka potensi tersebut dapat dihadang. Di samping itu, pengawasan dari publik dapat pula dimaksimalkan sehingga skenario tersebut terdeteksi sejak dini.

Oleh karena itu, tidaklah arif dan bijaksana untuk menunda pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon.Hemat penulis, sebaiknya pilkada tetap diselenggarakan dengan sejumlah pertimbangan. Pertamameskipun pilkada hanya diikuti oleh satu pasangan calon semua proses pilkada dapat berlangsung normal. Sosialisasi, kampanye bahkan debat pun bisa saja tetap dilakukan, misalnya dalam bentuk tanya jawab antara calon dengan para pakar di bidangnya. Meski tidak semarak jika hal itu dilakukan dengan banyak kontestan, tetapi tetap saja bisa menarik perhatian.

Kedua, penundaan pilkada hanya karena ada satu pasangan calon belum tentu juga dapat memberikan jaminan munculnya pasangan-pasangan lainnya. Bagaimana kalau pilkada ditunda sampai periode pilkada berikutnya sementara pasangan calon tidak juga bertambah, apakah kemudian akan ditunda sampai pilkada berikutnya? Dan jika tidak juga bertambah, apakah seterusnya akan mengalami penundaan?

Ketiga, penundaan pilkada jelas akan membuat publik kecewa. Di satu sisi, mereka sudah memiliki persiapan untuk berpartisipasi politik dalam pilkada dalam rangka memilih pemimpin mereka, tetapi di sisi lain, mereka ternyata tidak jadi menyalurkan partisipasinya tanpa ada jaminan kejelasan kapan mereka benar-benar akan turut berpartisipasi.

Keempat, bukan tidak mungkin penundaan pilkada itu justeru merupakan skenario politik dari partai-partai politik tertentu. Seperti diketahui ada partai politik yang memang menginginkan penundaan pilkada karena tengah menghadapi konflik internal yang belum terselesaikan. Kalau pilkada benar-benar ditunda mungkin mereka akan bertepuk tangan.

Dengan beberapa pertimbangan di atas, maka pihak penyelenggara pilkada, dalam hal ini KPUD harus berpikir kembali akan keputusan untuk menunda pilkada ke pilkada berikutnya jika hanya diikuti oleh satu pasangan calon atau calon tunggal.

Mekanisme Lain

Memilih pemimpin dengan calon tunggal sebenarnya bukan hal yang aneh. Justeru dalam konteks Indonesia model pemilihan semacam ini sudah ada preseden yang bisa dijadikan perbandingan, yaitu dalam pemilihan kepala desa (pilkades) yang telah berlangsung lama.

Dalam pemilihan kepala desa di sejumlah daerah di Indonesia ketika hanya diikuti oleh satu calon atau calon tunggal pemilihan tetap diselenggarakan sebagaimana mestinya. Hanya saja dibuat aturan main. Misalnya calon harus dapat memeroleh 60 persen suara warga desa baru dia terpilih secara sah menjadi kepala desa. Jika tidak, pemilihan diulang.

Mekanisme pemilihan calon tunggal semacam ini tidak ada salahnya jika diadopsi ke dalam pilkada. Jadi, pilkada tetap dilaksanakan sekalipun hanya ada satu pasangan calon yang menjadi kontestan. Masalah besaran prosentase suara yang mesti diraih pasangan calon tunggal tersebut dapat dibahas bersama-sama. Jika tidak sampai memenuhi prosentase itu, baru pilkada diulang atau ditunda.

Mekanisme yang sangat sederhana namun elegan ini tampaknya cukup tepat untuk dijadikan solusi dari muncunya pasangan calon tunggal di sejumlah daerah di Indonesia. bisa saja cara mengubah isi pasal di UU Pilkada dengan dikeluarkannya Perppu oleh pemerintah. Sepanjang untuk kebaikan bersama, hal itu pasti akan mendapat dukungan publik.

Dengan demikian, selain pemerintah melalui pihak penyelenggara tetap dapat melaksanakan pilkada serentak sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah ditetapkan, yang paling penting pemerintah tetap mampu memberikan kegembiraan demokrasi bagi rakyat. Sekali lagi, pemilu atau pilkada sesungguhnya adalah hajatan demokrasi untuk rakyat.

Penulis adalah Kaprodi Ilmu Politik dan Pengajar Komunikasi Politik FISIP UIN Jakart. Artikel dimuat dalam kolom Opini SUARA PEMBARUAN, Kamis 30 Juli 2015