Peta Jalan Politik Golkar

Peta Jalan Politik Golkar

[caption id="attachment_9411" align="alignleft" width="300"]Dr. Gun Gun Heryanto Dr. Gun Gun Heryanto Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Pengajar Komunikasi Politik UIN Jakarta.[/caption] Penulis: Gun Gun Heryanto

MUSYAWARAH nasional luar biasa (munaslub) Partai Golkar yang digelar 14-17 Mei di Bali menjadi momentum untuk menentukan masa depan politik partai berlambang beringin itu.

Itu tak semata menjadi agenda pemilihan ketua umum yang akan menjadi nakhoda partai, tapi juga perumusan langkah prioritas dalam menyatukan institusi partai yang terkoyak konflik berlarut-larut selama satu setengah tahun.

Dualisme kepengurusan telah menimbulkan konflik mendalam dan berdampak pada buruknya kohesi politik, soliditas internal, sekaligus melemahnya daya tawar Golkar di hadapan kekuatan partai lain serta basis konstituen.

Akankah Golkar melangkah menuju penyelesaian masalah? Dari munaslub kali ini kita bisa memetakan jalan Golkar di masa mendatang.

Munas rekonsiliasi

Inilah babak baru Golkar setelah dualisme kepengurusan membuat partai berpengalaman itu terbelah, yakni kubu Aburizal Bakrie hasil Munas IX pada November 2014 dan kubu Agung Laksono hasil munas Jakarta, Desember 2014. Pertarungan sengit kedua kubu telah mengorbankan banyak hal.

Pecat-memecat pengurus, polarisasi dari pusat hingga daerah, hingga remuknya Golkar di pilkada serentak tahun lalu. Setiap pertarungan pasti memakan korban.

Momentum konsolidasi menjadi bagian terbesar kerugian Golkar akibat berlarut-larutnya konflik. Untuk ke sekian kalinya, realitas politik menunjukkan pelajaran berharga, yaitu konflik politik di internal partai teramat rumit diselesaikan melalui pendekatan legal formal di jalur hukum.

Gugat-menggugat di pengadilan yang memakan waktu panjang sering menjadi labirin dan membuat mereka yang berkonflik berputar-putar seolah tak tahu arah jelas penyelesaian masalah. Islah atau rekonsiliasi justru menjadi kanal internal yang lebih bisa diterima semua pihak. Basis mekanisme islah sesungguhnya ialah komunikasi politik.

Jika merujuk pendapat Denton dan Woodward dalam bukunya Political Communication in America (1990), proses komunikasi politik ditandai dengan adanya intention (tujuan) pengirimnya untuk memengaruhi lingkungan politik.

Faktor penting yang membuat terjadinya komunikasi politik bukan semata sumber sebuah pesan, melainkan juga isi dan tujuannya.

Dalam konteks rekonsiliasi di Golkar, pesan para elite Golkar terutama Aburizal Bakrie dan Agung Laksono sudah lama menyatakan tekad untuk duduk bersama melakukan islah.

Namun, realitasnya, pesan sekadar pesan tanpa isi dan tujuan yang konkret untuk menuju islah paripurna. Terbukti, proses gugatan demi gugatan dilancarkan kubu masing-masing.

Rekonsiliasi sebagai cara kerja komunikasi dalam istilah Judy Pearson (1979) harus memiliki makna communicare atau membuat sama (to make common), bukan sekadar siapa, mendapat apa, kapan, dan bagaimana ala model laswellian.

Meski terlambat, Golkar sebagai partai berpengalaman akhirnya bisa duduk bersama dan menyepakati munaslub sebagai cara terbaik untuk menyelesaikan konflik.

Itulah kelebihan Golkar.

Di saat-saat genting, mereka selalu punya cara untuk mengatasi masalah.

Munaslub sebagai munas islah atau rekonsiliasi wajib mengusung semangat kebersamaan untuk menguatkan kesepahaman karena sejatinya islah senantiasa mengandung dua makna politis.

Pertama, membangun komunikasi politik untuk menciptakan pemahaman bersama (mutual understanding) sehingga terjalin pola interaksi sederajat yang mengarah pada penyelesaian masalah.

Kedua, membuka diri untuk melakukan akomodasi politik dengan mengedepankan bauran kepengurusan dari kedua kubu yang berkonflik.

Islah bukan semata bersepakat, tetapi juga mengharuskan adanya pemahaman, niat baik (good will) dan niat politik (political will) untuk menjaganya sehingga menguatkan daya tahan dan kebersamaan di tengah turbulensi yang terjadi.

Tahap awal rekonsiliasi sudah bisa dilalui dengan cara melakukan bauran panitia dan pengarah munaslub.

Selain itu, juga ada kemauan membuka ruang bagi siapa pun dari kedua kubu untuk memajukan figur kandidat yang akan bertarung.

Meski di awal ada hal mengganggu, yakni keharusan membayarkan mahar Rp1 miliar bagi mereka yang akan mencalonkan diri, belakangan itu disadari panitia munaslub sebagai kekeliruan dan mereka mengubahnya menjadi sumbangan tidak mengikat.

Munaslub sebagai momentum rekonsiliasi semakin mulus dengan kesediaan Aburizal Bakrie dan Agung Laksono untuk tidak mencalonkan diri dan memberikan kesempatan kepada sejumlah figur lain untuk bertarung.

Golkar saat ini tidak memiliki veto player seperti PDIP, Gerindra, dan Demokrat. Karena itu, delapan kandidat yang bertarung menuju Golkar-1, kemarin, sesungguhnya memiliki peluang keterpilihan yang sama meskipun mereka ditentukan modal sosial, finansial, dan politik berbeda-beda.

Tentu, sebagaimana layaknya gelanggang pertarungan terbuka, perebutan kursi Ketua Umum Golkar ini riuh rendah dengan beragam strategi kampanye, propaganda, dan publisitas politik untuk mencari legitimasi sekaligus mendelegitimasi pihak kompetitor.

Meski menyeruak aroma tak sedap, seperti dugaan praktik politik uang dan catut-mencatut, Golkar telah menyediakan panggung mewah gelaran munas rekonsiliasi ini.

Ada adu gagasan kandidat yang disiarkan live di media massa dari tiga zona wilayah, kehadiran presiden dan wakil presiden, serta sejumlah elite partai-partai lainnya.

Agenda prioritas

Munaslub bukan akhir, melainkan awal dari sebuah jalan terjal bagi Golkar di masa depan.

Paling tidak ada empat agenda prioritas yang harus diperhatikan Golkar pascamunas.

Pertama, Ketua Umum Golkar terpilih harus memprioritaskan konsolidasi internal secara masif dari pusat hingga daerah.

Konflik sebagai dampak kubu-kubuan telah menyisakan realitas politik yang bipolar, bahkan multipolar dan tentu kondisi ini membahayakan eksistensi partai Golkar.

Ibarat klub bola, Golkar adalah tim yang berlimpah pemain senior, berpengalaman, dan piawai.

Namun, jika tak mampu mengelola ego para 'pemain bintang', Golkar justru akan disibukkan dengan kepentingan politik elite mereka yang berbeda-beda tanpa menuju arah yang sama secara kelembagaan.

Ketua Umum Golkar yang baru harus sesegera mungkin mengefektifkan komunikasi politik secara vertikal dan horizontal.

Vertikal ialah terhubung dengan struktur partai dari pusat hingga daerah, sedangkan horizontal ialah terhubung dengan seluruh jejaring Golkar, mulai sesepuh, organisasi sayap, hingga kekuatan potensial di internal dan eksternal.

Prioritas komunikasi politik ini diperlukan untuk memastikan suasana kondusif setelah konflik satu setengah tahun dan juga pertarungan perebutan kursi Golkar-1.

Model komunikasi yang dipraktikkan tidak lagi bisa model linear atau searah, tapi harus model interplay atau timbal balik secara demokratis.

Harus ada upaya merangkul dan memastikan keinginan kepengurusan baru yang menciptakan suasana kondusif, demokratis, serta berorientasi pada semangat kekitaan di internal partai.

Jika munaslub gagal menghadirkan figur yang komunikatif, potensi gagalnya rekonsiliasi terbuka lebar.

Bahkan, jika konflik mengemuka lagi pascamunas, itu akan berdampak pada meluas dan mendalamnya konflik itu di masa mendatang.

Kedua, Ketua Umum Golkar harus memastikan program yang jelas, bertahap, dan berkelanjutan terkait dengan pengelolaan Golkar ke depan yang berbasis aturan dasar dan aturan rumah tangga partai yang dikonsensuskan secara bersama.

Bukan bertindak semaunya atas nama kepentingan pribadi dan kelompok kecil.

Inilah yang disebut sebagai langkah penstrukturan adaptif.

Banyak partai mengalami kegamangan dalam melakukan penstrukturan adaptif di tubuh organisasi.

Dalam terminologi Anthony Giddens sebagaimana dikutip West dan Turner dalam Introducing Communication Theory (2008), penstrukturan adaptif ialah bagaimana institusi sosial, seperti organisasi diproduksi, direproduksi, dan ditransformasikan melalui penggunaan aturan-aturan yang akan berfungsi sebagai perilaku para anggotanya.

Dengan demikian, struktur diciptakan dan dipertahankan sekaligus juga dapat diubah dengan mengadaptasi atau menciptakan aturan baru.

Artinya, partai politik seharusnya memperkuat sistem organisasi yang ditaati semua warga partai, bukan sebaliknya, menyuburkan feodalisasi, politik patron-client yang menyebabkan organisasi di bawah subordinasi satu atau beberapa orang saja.

Golkar sesungguhnya punya peluang membangun partai modern karena ketiadaan veto player.

Hanya, politik pragmatis kerap menyeret Golkar dalam kegamangan dalam menaati aturan dasar dan aturan rumah tangga yang disepakati.

Lebih jauh, Golkar sering terjebak dalam model oligarki partai politik karena keputusan dan kebijakan partai hanya diambil segelintir elite berkuasa di Golkar.

Mereka menutup akses dari dialektika dan masukan dari luar kelompok kecilnya yang mengendalikan partai.

Dampaknya, alur tata kelola partai tidak transparan, tidak demokratis dan sangat eliteis.

Wajar jika partai kembali ke tradisi lama feodal, oligarkis, dan transaksional.

Posisi Golkar yang dikelola secara oligarkis akan menimbulkan gejala groupthink! Gejala ini oleh Irving Janis dalam karyanya Groupthink: Psychological Studies of Policy Decesions and Fiascoes (1982) digambarkan sebagai kelompok yang sering kali gagal mengembangkan alternatif-alternatif tindakan yang mereka ambil.

Para kader berpikir sama dan menghindari pemikiran berlawanan sehingga sangat sedikit kemungkinan munculnya ide-ide yang tidak populer atau tidak serupa dengan elite utamanya.

Ketiga, harus ada prioritas dalam rebranding dan reformulasi Golkar sebagai institusi.

Dalam jangka pendek, harus ada racikan strategi untuk memastikan daya saing Golkar di sejumlah Pilkada Serentak 2017, 2018, serta pemilu legislatif dan Pemilu Presiden 2019.

Data menunjukkan Golkar fluktuatif. Di Pemilu 1999 Golkar terpuruk dengan hanya memperoleh suara pemilu legislatif 22,4%, menjadi pemenang di 2004 dengan perolehan 21,6%, hanya mendulang suara 14,4% di Pemilu 2009, dan bertengger di peringkat kedua dengan perolehan suara 14,7% di Pemilu 2014.

Tragisnya, meski menjadi pemenang kedua di pemilu legislatif, Golkar mengalami krisis figur yang bisa 'dijual' di pasar pemilih pemilu presiden.

Langkah itu diperparah dengan terpuruknya Golkar di pilkada serentak akibat dualisme kepengurusan.

Ketua Umum Golkar baru harus berpacu dengan waktu untuk mengembalikan citra dan reputasi partai dalam persepsi khalayak, terutama pemilih.

Keempat ialah fungsionalisasi partai sebagai entitas publik.

Kekuatan partai modern di masa mendatang ialah public trust.

Tak mungkin muncul kepercayaan publik tanpa adanya kinerja partai yang beririsan dengan sejumlah isu dan kepentingan publik.

Golkar dan juga sejumlah partai lainnya masih dipersepsikan eliteis dan berjarak dengan urusan publik.

Partai hadir jelang pemilu dan abai setelah itu.

Cara pandang itu harus diubah dengan memastikan aktualisasi sejumlah program yang bisa dirasakan manfaatnya untuk publik.

Beragam fungsi ideal partai jangan sekadar dijadikan ornamen, wacana, dan penghias retoris para elite Golkar di media massa, tetapi juga harus nyata ada kerja politik yang bermanfaat untuk rakyat.

Bagi Golkar, momentum munaslub ini menjadi fase menentukan, akankah Golkar bangkit atau terus terpuruk dalam konflik internal yang melelahkan.

Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Pengajar Komunikasi Politik UIN Jakarta.

Artikel telah dimuat pada kolom PAKAR, Harian Media Indonesia. Senin, 16 Mei 2016.