Perpolitikan Nasional Cenderung Lahirkan Politisi Karbitan

Perpolitikan Nasional Cenderung Lahirkan Politisi Karbitan

Kondisi perpolitikan di Indonesia belakangan ini tidak menunjukkan ke arah yang lebih baik. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar politisi bekerja bukan karena semangat ideologis partainya, tapi karena kepentingan masing-masing pribadi atau partai.

"Perpolitikan kita tidak menyuguhkan ke arah yang lebih baik.," ujar Wakil Ketua DPR RI Ir. H. Pramono Anung, MM pada seminar "Perkembangan Partai Politik di Indonesia: Ideologis atau Kartel" di Syahida Inn, Kamis (26/4).

Menurutnya, pembahasan-pembahasan Rancangan Undang-undangan di DPR selama ini tidak mencerminkan adanya perdebatan ideologis atau keberpihakan kepada rakyat."Ketika perdebatannya menyentuh pada kepentingan partai, mereka baru membahasnya dengan serius. Misalnya pembahasan RUU Pemilu," paparnya.

Ironisnya, kata mantan aktivis Salam ITB ini, sebagian anggota DPR juga bersemangat membahas RUU yang di dalamnya sarat dengan transaksi uang. " Contohnya adanya RUU APBN-P. P itu artinya peluang, opportunity. Jadi sangat transaksional sekali,"katanya.

Dalam seminar yang digelar oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) ini, Pramono berkelakar tentang jumlah fraksi di DPR. Secara defac to maupun de jure, di DPR memang terdapat sembilan fraksi. "Saya kalau ditanya berapa fraksi di DPR, saya jawab cuma satu. Yaitu fraksi kepentingan,"tegasnya.

Pramono pun mengaku miris dan sedih dengan UU Pemilu yang baru, yang disahkan pada Kamis Kamis (12/4). UU baru yang menggantikan UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, itu dinilai akan melahirkan politisi karbitan.

"Pemilu sistem terbuka seperti diatur dalam UU Pemilu hanya memberi ruang bagi pemilik modal untuk jadi politisi. Mereka akan punya peluang yang sama dengan saya yang jadi sekjen partai dan memulainya dari nol,"imbuhnya.

Sementara Rektor UIN Jakarta Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dalam sambutannya menyatakan, sivitas akademik  UIN Jakarta harus menampilkan diri sebagai aktivis keilmuan, sehingga tidak mudah terjebak pada praktik prgamatisme.

"Dari dulu kita terbiasa dengan wacana intelektual. Jadi mahasiswa UIN Jakarta harus biasa dengan waqana atau diskusi keilmuan. Dari kampus inilah lahir konsep-konsep dan gagasan,"tandasnya. (Zaenal M)