Pencalonan Artis dan Banalitas Politik

Pencalonan Artis dan Banalitas Politik

AKHIR-akhir ini pemberitaan tentang pencalonan sejumlah artis untuk menjadi kepala daerah cukup marak. Nama Julia Perez (Jupe) misalnya, kini ramai diperbincangkan di media massa setelah menyatakan kesediaannya atas pinangan sejumlah partai politik untuk menjadi calon Bupati/Wakil Bupati Pacitan, Jawa Timur. Sebelumnya, artis-artis lain seperti Sarah Azhari dan Cici Paramida sempat disebut-sebut akan meramaikan bursa pencalonan di daerah itu.

Sederet artis lain juga pernah diisukan telah dipinang sejumlah parpol untuk menjadi bupati atau wakil bupati di beberapa kabupaten di Indonesia, antara lain, Ayu Azhari, Ikang Fauzi, Tukul Arwana, Inul Daratista, dan sebagainya.

Pertanyaan yang layak diajukan dalam konteks ini: Apakah gejala itu merupakan sebuah bentuk keterbukaan politik sebagai konsekuensi demokrasi? Ataukah, dalam derajat tertentu, kecenderungan itu akan menodai proses demokrasi itu sendiri?

Sebagian pihak mengatakan, masuknya artis ke dalam dunia politik merupakan sebuah bentuk banalitas politik. Banalitas secara harfiah menurut Kamus Webster, berarti sesuatu yang biasa dan remeh-temeh (triviality). Dalam konteks ini, banalitas politik dapat dimaksudkan sebagai kehidupan atau ruang politik yang mementingkan permukaan, dangkal, dan pada saat yang sama mengagungkan budaya populer.

Para artis yang terbiasa hidup dalam gemerlap dunia artifisial tampaknya berbanding lurus dengan banalitas politik. Semakin banyak artis yang memasuki dunia politik, semakin banal pulalah kehidupan politik di negeri ini.

Celakanya, partai-partai politik tampaknya berlomba-lomba untuk meminang para artis untuk dijadikan calon kepala daerah. Jika partai politik lebih mengutamakan orang-orang yang menggenggam popularitas daripada kader-kadernya sendiri, maka kian sempurnalah kecenderungan banalitas politik itu.

Gejala banalitas politik tampaknya kian menemukan momentumnya di negeri ini. Di kalangan masyarakat Indonesia, penerimaan terhadap kalangan artis juga masih cukup kuat. Hal itu disebabkan, antara lain karena corak masyarakat Indonesia yang bersifat kolektif (Deddy Mulyana: 1999). Dalam kultur masyarakat seperti itu, pengidolaan terhadap seorang tokoh mudah sekali terjadi.

Dari sudut kepentingan jangka pendek, pencalonan artis untuk menjadi kepala daerah oleh partai politik memang menguntungkan partai bersangkutan. Di samping popularitas artis, dana partai juga akan relatif hemat karena para artis yang diusungnya selalu diminta kesiapan dananya untuk berkampanye.

Namun, dari sudut kepentingan jangka panjang, hal itu akan menimbulkan konsekuensi politik yang cukup serius baik bagi partai politik itu sendiri maupun bagi kehidupan politik (demokrasi) secara umum di negeri ini.

Pertama, terkikisnya politisi-politisi ideolog dari partai politik dan panggung politik secara umum. Kesempatan mereka untuk tampil sebagai pemimpin akan terebut oleh politisi-politisi karbitan. Fenomena ini dapat dikatakan juga sebagai bentuk kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi.

Kedua, fenomena itu memperlihatkan beberapa partai politik kian mengalami disorientasi. Nilai-nilai idealitas politik digantikan nilai-nilai pragmatis. Kilauan popularitas dan gizi yang menggiurkan dari para artis telah memabukkan mereka.

Memang, orang dapat berkilah demokrasi memungkinkan semua orang untuk masuk ke dalam ranah politik tanpa terkecuali, termasuk artis. Namun, harus diingat, demokrasi juga mesti berlandaskan aturan main (rule of game), antara lain kualitas individu yang memadai untuk menjadi seorang pelayan publik. Inilah yang sulit dipenuhi para artis, setidaknya untuk saat ini.***

Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.