Pariwisata yang Bermoral

Pariwisata yang Bermoral

Abdul Mu’ti PEMERINTAH DKI Jakarta tidak memperpanjang izin (baca: menutup) Hotel Alexis. Penutupan Alexis mendapat dukungan kuat dari masyarakat, khususnya pendukung pasangan Anies-Sandi. Selain untuk memenuhi janji politik, penutupan Alexis dilakukan karena alasan moral. Alexis disinyalir telah menjadi tempat mesum yang merusak citra Jakarta sebagai ibu kota yang religius dan moralitas masyarakat. Tidak hanya menutup Alexis, pemerintah DKI Jakarta juga akan menertibkan izin hotel dan tempat hiburan serta akan mengembangkan wisata halal. Berbagai pihak menilai langkah pemerintah DKI akan menurunkan pendapatan daerah dari sektor pariwisata. Lebih jauh dengan mengembangkan wisata halal, pemerintah Anies-Sandi dinilai akan melakukan ”islamisasi” Jakarta. Penilaian itu agak berlebihan. Negara seperti Jepang dan Thailand mengembangkan wisata halal untuk menarik lebih banyak wisatawan muslim dari Timur Tengah dan negara-negara lainnya.

Tempat Setan    Berwisata merupakan kebutuhan manusia. Beberapa negara maju bahkan telah menjadikan wisata sebagai hak warga negara. Secara psikologis, berwisata dapat menumbuhkan semangat kerja, inspirasi, dan kebahagiaan. Berwisata yang sering kali disebut dengan tur, rekreasi, pelesir, melancong, piknik, dan sebutan lainnya telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern. Istilah rekreasi (Inggris: recreation) mengundang makna penyegaran (refreshing), santai (relaxation), atau ketenangan jiwa (reflection) yang membangkitkan semangat terbarukan dan menemukan ide cerdas untuk hidup yang lebih baik. Secara teologis, berwisata merupakan bagian dari ajaran Islam. ”... Jelajahilah dunia, kemudian perhatikan bagaimana Allah Menghancurkan bangsa-bangsa penguatan.” (QS. 3, Ali Imran: 137). Pariwisata kemudian menjadi industri jasa yang melayani kebutuhan wisatawan dengan berbagai tujuan. Dilihat dari tujuannya, sekarang ini ada lima jenis pariwisata. Pertama, wisata alam (natural tourism) di mana wisatawan menjelajahi dan menikmati keindahan alam semesta seperti gunung, laut, dan sebagainya. Wisata alam merupakan jenis wisata yang paling populer. Kedua, wisata jajanan (culinary tourism) di mana wisatawan bertujuan menikmati berbagai menu makanan di restoran berkelas di hotel berbintang dengan menu tingkat dunia. Atau bisa juga di kedai sederhana dengan menu makanan khas daerah yang lezat dan best selera. Wisatawan ingin menikmati suasana kultural khas suatu daerah. Ketiga, wisata religi (religious tourism) dimana wisatawan berziarah ke makam dan tempat suci, bangunan bersejarah, dan kegiatan ritual. Wisata religius seperti umrah, haji, ziarah ke Yerusalem, Vatikan, dan tempat suci agama dunia yang lainnya tumbuh subur menjadi pelayanan spiritual di tengah kebangkitan kesadaran beragama dan menjadi  ”industri spiritual ” yang sangat menjanjikan. Keempat, wisata kesehatan (medical tourism). Pariwisata jenis ini berkembang seiring dengan bisnis kesehatan, gaya hidup, dan pengobatan. Masyarakat berobat tidak sekedar untuk penyembuhan tetapi juga untuk kenyamanan dan pelesiran. Kelima, wisata kependidikan (educational tourism). Seiring dengan peningkatan ekonomi masyarakat memerlukan layanan pendidikan yang berkualitas, walaupun dengan biaya yang mahal. Bagi kelas menengah dan elite, pendidikan merupakan bagian dari prestise sosial. Pendidikan dan wisata pendidikan berkembang menjadi industri baru. Berbagai jenis wisata di atas terintegrasi dengan tiga jenis pelayanan; transportasi, kon­sumsi, dan akomodasi. Keberhasilan bisnis pariwisata sangat ditentukan oleh kemampuan memenuhi pelayanan yang aman dan nyaman baik secara material dan spiritual. Sayang sekali, pebisnis pariwisata Indonesia belum mampu memenuhi tuntutan pasar. Padahal potensi pariwisata Indonesia sungguh luar biasa. Lebih ironis lagi, istilah pariwisata mengandung makna peyoratif. Narasi dan persepsi pariwisata terkesan sebagai tempat ”SETAN” yaitu Seks bebas, Entertainment  yang merusak, Transaksi bisnis dan lobi negatif seperti korupsi dan sejenisnya, Adultery  (perzinaan, perselingkuhan), dan Narkotika. Pemerintah sebagai pemangku kepentingan memiliki wewenang dan tanggung jawab moral untuk mengembangkan pariwisata yang bersih, bermoral, dan menguntungkan.

Wisata Bermoral Pariwisata tidak sekadar industri untuk menghasilkan uang tetapi pencerminan dari kebudayaan, peradaban dan keadaban bangsa. Di masa depan, industri pariwisata tidak bisa lagi hanya mengandalkan kemolekan alam tetapi juga keelokan budi pekerti. Alam sebagai tempat wisata harus dijaga dan terjaga kebersihan, keaslian, dan keindahannya. Kebijakan wisata alam tidak boleh merusak kekayaan dan keanekaragaman hayati dan nabati. Aspek konservasi ini sering terkalahkan oleh kepen­tingan komersialisasi. Pengembangan industri pariwisata bermoral harus juga mengedepankan aspek edukasi dalam dua bentuk kebijakan. Pertama, peningkatan kemampuan dan pelibatan masyarakat dalam mengelola tempat-tempat wisata. Dalam banyak kasus, industri pariwisata menimbulkan limbah alam (kerusakan lingkungan) dan limbah budaya (kerusakan moral). Kedua, tanggung jawab masyarakat dan wisatawan dalam melestarikan alam, menjaga kebersihan, menjaga ketertiban, menciptakan keamanan dan kenyamanan berdasarkan nilai-nilai agama dan budaya masyarakat setempat. Pariwisata budaya tetap ber­pijak pada perilaku yang berbudaya dan berkeadaban bukan eksploitasi erotisme, mistisisme, dan primitivisme. Pariwisata tidak hanya menjual kekayaan benda-benda antik, bangunan bersejarah, atau gedung-gedung tua. Indonesia juga bisa memasarkan arsitektur modern seperti Dubai menjual Burj Khalifa. Hotel dan akomodasi disumbangkan sebagai layanan yang mencerminkan namanya. Hotel adalah rumah (home), keramahan (hospitality), dan kebahagiaan (happiness). Hal ini penting agar imaji, persepsi, dan narasi peyoratif masyarakat tentang hotel perlahan-lahan dapat berubah. Sudah waktunya bangsa Indonesia mengembangkan pariwisata bermoral. Pariwisata ini dikembangkan sebagai industri yang berbasis pada keindahan alam, kekayaan budaya, kebesaran sejarah, kemajuan teknologi, kesantunan budi pekerti, dan keunggulan moral.

Penulis adalah Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tulisan dimuat dalam kolom opini Koran Sindo, Selasa 7 November 2017. (lrf)