Panja RUU Kebudayaan Buka Masukan Publik

Panja RUU Kebudayaan Buka Masukan Publik

Auditorium Utama, BERITA UIN Online— Ketua Panja RUU tentang Kebudayaan Ir HM Ridwan Hasyim membuka peluang bagi publik untuk menyampaikan kritik dan masukan atas RUU tentang Kebudayaan. Panja menilai keberadaan RUU sangat urgen dalam peneguhan jati diri, pembangunan jati diri, penguatan persatuan, dan peningkatan citra bangsa.

Menurut Ridwan, Panja RUU tentang Kebudayaan sangat terbuka terhadap saran, masukan, dan kritik atas materi atau substansi RUU. “Kami memahami, bahwa saran, kritik dan masukan merupakan bagian proses dialektika yang dapat menyempurnakan draft RUU,” ujarnya saat menjadi narasumber Dialog Publik RUU kebudayaan yang diselenggarakan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) di Auditorium Utama, Selasa (27/10).

Ridwan menjelaskan, Panja RUU melihat sejumlah alasan pentingnya RUU Kebudayaan. Secara sosiologis empirik, misalnya, Indonesia dihadapkan pada degradasi kebudayaan. “Sehingga memerlukan upaya-upaya pencegahan dan penanganan yang komprehensif, sinergis, dan strategis,” katanya.

Ilham Khoiri, Jurnalis Harian Kompas yang menjadi narasumber kegiatan yang sama berpendapat, keberadaan sebuah undang-undang yang meregulasi kebudayaan tidak cukup tepat. Menurutnya, kebudayaan merupakan refleksi identitas, proses berfikir dan mental manusia.

Dengan kondisi demikian, kebudayaan terus mengalami dinamisasi searah perkembangan kehiduapan manusia. Karenanya, ketika kebudayaan diatur dalam sebuah undang-undang, maka kebudayaan diandaikan sebagai kondisi statis.

“Sesuai namanya, RUU Kebudayaan mengandaikan ada undang-undang yang dibuat khusus untuk mengatur kebudayaan. Namun, tepatkah membuat satu UU yang mengatur kebudayaan?” tanyanya.

Sementara itu, Dekan FAH Prof Dr Sukron Kamil melihat, RUU Kebudayaan mengandung sejumlah catatan yang harus segera diperbaiki. Mulai dari definisi kebudayaan yang cenderung sempit, ketidakjelasan lembaga pengelolaan, hingga unsur-unsur kebudayaannya. Keberadaan RUU juga dikuatirkan mengulang hegemoni negara atas kebudayaan.

Lebih jauh, Sukron melihat kritik sebagian besar publik atas keberadaan RUU Kebudayaan saat ini lahir dari kekuatiran atas kembalinya hegemoni negara di bidang kebudayaan seperti Lekra pada masa Orde Lama dan Manifesto Kebudayaan pada masa Orde Baru.

“Lekra melihat kebudayaan untuk rakyat, yang kemudian didukung negara. Sedangkan Manifesto Kebudayaan melihat kebudayaan untuk kebudayaan,” paparnya.

Diketahui, DPR RI menginisiasi tersusunnya payung hukum kebudayaan yang hingga kini masih berupa RUU Kebudayaan. Kendati masih belum disyahkan, RUU mengundang sejumlah pro kontra. Salah satu kontranya adalah dimasukannya pasal tentang rokok kretek sebagai warisan budaya nasional.

Laporan Syarifaeni Fahda