PAN dan Koalisi Pemerintahan

PAN dan Koalisi Pemerintahan

Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

(Media Indonesia, Kamis, 27 July 2017)

 

MANUVER Partai Amanat Nasional (PAN) belakangan mendapatkan sorotan. Sejak memutar haluan dari mendukung Prabowo-Hatta di Pilpres 2014 ke mendukung Jokowi-JK dalam pemerintahan, PAN mulai bimbang melangkah. Di satu sisi, PAN memiliki representasi politik di pemerintahan pascaperombak­an kedua Kabinet Kerja. Di sisi lain, dalam beberapa isu krusial dan fundamental mereka mulai tak sejalan dengan mitra koalisi penyokong pemerintahan lainnya. Contohnya, dalam isu presidential threshold dan metode konversi suara di UU Pemilu, dan berpotensi besar berbeda sikap juga terkait Perppu Ormas yang segera dibahas di DPR.

 

Komitmen koalisi
Dua hal penting untuk membaca partai politik dalam koalisi pemerintahan. Pertama, aspek idealitas politik terkait dengan distribusi dan alokasi orang ke jabatan menteri dalam memperkuat kinerja pemerintah. Saat ada komitmen untuk menjadi bagian dalam kongsi politik dan menegaskan politik representasinya di kabinet, partai-partai koalisi harusnya membangun komunikasi politik yang intens agar orientasi dan gerak langkahnya sama atau seirama. Kedua, aspek realitas politik terkait dengan loyalitas menteri dan komitmen partai-partai mitra koalisi. Presiden dalam konteks presidensialisme berada di puncak hierarki otoritas pemerintah. Menteri wajib loyal pada presiden, bukan pada patron lainnya. Karena pemilik hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri hanyalah presiden.

Partai secara etis-politis menghormati dan memosisikan diri sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas kinerja presiden yang disokongnya. Oleh karenanya, harus ada pemahaman yang sama (mutual understanding) untuk berada di kapal yang sama. Jika secara prinsip banyak hal yang berbeda, tahu diri dan mengukur diri untuk bersikap dan memosisikan diri menjadi sangat penting. Misalnya dalam kasus PAN, jika perbedaan sikap soal UU Pemilu dan sejumlah isu lainnya menyangkut hal substansial dan fundamental tak lagi sejalan, hal yang dirindukan dari penguatan kelembagaan politik adalah konsistensi atas pilihannya.

Di situlah politik sebagai upaya menentukan pilihan-pilihan menjadi penting. Dari setiap pemilu pascareformasi kita mendapat pelajaran berharga bahwa partai yang mendapat insentif elektoral ialah partai yang jelas dan punya komitmen tegas akan posisi politiknya, mau di dalam atau di luar pemerintahan. Yang peragu dan menjalankan strategi dua kaki biasanya mengalami penurunan dukungan pemilih. Posisi partai di dalam maupun di luar pemerintahan sama terhormatnya.
Pelembagaan politik melalui sikap partai yang tegas dalam pilihan posisi politik inilah yang saat ini kita tunggu dari PAN.

Kita bisa berkaca dari tidak efektifnya koalisi besar partai politik di era SBY. Di periode kedua kekuasaannya (2009-2014) SBY membangun koalisi pelangi dengan modal dukungan di DPR sebanyak 423 kursi atau 75,54%. SBY saat itu membentuk Sekretariat Gabungan (Setgab). Namun, realitasnya, Golkar dan PKS banyak sekali berseberangan dengan Demokrat dan partai mitra koalisi lainnya, misalnya dalam kasus hak angket Century. Pun demikian PKS yang ‘nakal’ tak sejalan dengan pemerintah dalam rencana penaikan harga BBM.

Namun, SBY saat itu lebih memilih membiarkan PKS dan Golkar yang sering ‘menabuh gendang’ sendiri hingga akhir jabatannya selesai. Kontras dengan PAN saat ini, di era SBY dua periode PAN merupakan partai yang nyaris tak pernah bertingkah. Partai itu loyal pada SBY dan nyaris tanpa letupan-letupan berarti dengan mitra koalisi lainnya.

 

Untung rugi
Dari bacaan peta politik saat ini dan ke depan posisi PAN ini sebenarnya tidak terlalu memberi risiko besar pada pemerintahan Jokowi jikapun diambil keputusan untuk dikeluarkan atau PAN mengundurkan diri. Argumennya, pertama saat ini di atas kertas Jokowi mendapatkan dukungan hingga 69,2% kursi di DPR atau 68,84 suara sah secara nasional dari 7 partai pendukung pemerintah. Jikapun PAN keluar atau dikeluarkan, komposisinya masih 60,4% kursi DPR. Saat ini, PAN memiliki 8,8% kursi di DPR-RI atau 7,59 suara sah. Artinya, Jokowi masih di level aman dalam pengambilan keputusan-keputusan politik yang membutuhkan dukungan DPR.

Kedua, jikapun PAN dikeluarkan Jokowi, tidak ada risiko menguatkan posisi tawar partai lain, misalnya Partai Golkar. Kondisinya berbeda dengan SBY di periode kedua. Golkar saat itu memiliki harga negosiasi tinggi terhadap SBY mengingat suara signifikannya di DPR. Jika SBY mengeluarkan PKS dari koalisi, sangat rawan dijadikan peluang Golkar untuk memperkuat pengaruhnya dan melambungkan daya tawarnya. Keuntungan bagi Jokowi ialah memastikan komitmen dan loyalitas para menteri dan partai-partai mitra koalisi sehingga bisa menggenjot akselerasi kinerja pemerintahan. Dua tahun terakhir ialah fase pertaruhan untuk mengefektifkan kinerja selain juga melakukan pemetaan sumber daya politik menuju kontestasi elektoral pada 2019. Mitra koalisi saat ini berpotensi untuk diajak bersama-sama lagi mengusung dan mendukungnya. Dengan dukungan PPP, Partai NasDem, Partai Golkar, dan Partai Hanura, Jokowi sudah mengantongi dukungan 32,5% kursi di DPR dan 35,61% suara sah nasional. Sudah melampaui ketentuan presidential threshold 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional sebagaimana ketentuan UU Pemilu yang baru.

Tinggal menunggu sikap PDI Perjuangan yang memiliki 19,5% kursi di DPR atau 18,95% suara sah nasional, PKB 8,4% kursi di parlemen atau 9,04% suara sah. Dengan demikian, ikut-tidaknya PAN dalam kongsi Jokowi pada 2019 tidak terlalu berpengaruh besar. Meskipun demikian, dalam politik selalu ada upaya merangkul pihak lain sebanyak-banyaknya. PAN, jikapun keluar, tentu ruginya hanya kehilangan posisi satu menteri dan peluang berkongsi dengan Jokowi mengecil di kemudian hari. Namun, PAN jauh akan mendapatkan respek atas pilihannya untuk konsisten jika tak lagi bisa sehaluan. Paige Johnson Tan dalam tulisannya, Reining in the Reign of the Parties: Political Parties in Contemporary Indonesia (2012), mendeskripsikan sistem kepartaian Indonesia sedang berada dalam proses deinstitusionalisasi, dan partai-partai melemah dengan cara yang tidak jelas. Tentu PAN tak ingin menjadi lemah dengan alasan tidak jelas bukan? Tegaslah dalam memosisikan diri! (Farah NH/zm)