Obama, Bush, dan Gaza

Obama, Bush, dan Gaza


PADA musim kampanye pemilu Amerika Serikat (AS) Barack Husein Obama berkunjung ke Israel. Saat itu, empat bulan sebelum pemilihan presiden, Obama berpidato di sebuah permukiman Yahudi dekat Jalur Gaza, “Jika seseorang melemparkan roket atau granat ke rumah saya,di mana dua anak saya sedang tidur lelap, saya sebisa mungkin akan menghentikan aksi tersebut.

Saya berharap orang-orang Israel melakukan hal yang sama.” Tepat satu setengah bulan setelah Obama terpilih jadi PresidenAS, 19 Desember lalu, Otoritas Hamas di Jalur Gaza menyatakan kesepakan perdamaian dengan Israel bubar. Pejuang Hamas yang tertindas Israel meluncurkan roket ke pemukiman Yahudi di kota-kota yang berdekatan dengan Jalur Gaza.Merasa mendapatkan “dukungan”Obama yang pernah disampaikan ketika kampanye itu tadi, Israel pun membalas serangan roket pejuang Hamas.

Empat warga Israel yang tewas akibat roket Hamas dibalas dengan serangan udara besarbesaran, sehingga menewaskan lebih dari sekitar 700 warga Palestina, dan ribuan lainnya luka-luka. Itulah balasan yang tak setimpal: kematian 4 orang dibalas dengan kematian 700 orang? Adakah cara lain untuk membalas roket Hamas tersebut? Mantan penasihat Dewan Keamanan AS,Zbigniew Kazimierz Brzezinski, mengungkapkan, serangan besar-besaran Israel ke Gaza adalah kesalahan besar.

Tindakan Israel itu, kata Brzezinski, hanya akan mengundang kecaman dunia terhadap Tel Aviv dan memperbesar dendam Hamas kepada orang Yahudi. Tindakan Israel itu, lanjutnya, merupakan gambaran pemerintah Ehud Olmert yang frustrasi. Olmert tampaknya tak bisa melihat solusi lain kecuali menyerbu besarbesaran Jalur Gaza.

Obama Terjebak
Israel jelas sangat licik memanfaatkan momentum transisi pemerintahan AS dari Bush ke Obama.Pemerintah Bush dari Partai Republik secara tradisional memang amat dekat dengan Israel dibandingkan Demokrat.

Namun Israel secara licik berupaya menyeret Bush dari Republik dan Obama dari Demokrat masuk dalam pusaran kepentingan Israel. Tel Aviv sepertinya mematuhi nasihat Obama saat kampanye di atas. Apakah hal itu yang menyebabkan Obama diam seribu bahasa terhadap aksi brutal Israel di Gaza? Haruskah Obama diam karena—seperti dikatakan Brooke Anderson, Juru Bicara Keamanan Nasional Tim Transisi Obama—belum menjadi presiden secara sah?

Obama memang belum dilantik dan Bush baru akan turun setelah pelantikan Obama, 20 Januari mendatang. Mestinya,dalam masa transisi tersebut Bush tidak menyatakan sesuatu yang membuat marah dunia. Kita tahu Bush menyatakan bahwa Israel tidak bersalah dalam penyerangan ke Gaza. Israel hanya mau menghentikan serangan roket Hamas ke wilayahnya. Karena itu, kata Bush, penghentian serangan Israel hanya dimungkinkan jika Hamas menghentikan serangan roketnya.

Pernyataan Bush tersebut jelas merupakan pemutarbalikan fakta. Sekelompok pejuang Hamas meluncurkan roket karena selama masa perdamaian Israel selalu memprovokasi dan menekan kehidupan orang-orang Hamas di Gaza. Pejabat dan aktivis Hamas diancam dan diintimidasi. Israel juga menutup perbatasannya dengan Gaza dan menjegal orang sipil yang dituduh Hamas untuk bekerja di Israel. Dampaknya, ekonomi Gaza pun terpuruk.Penutupan perbatasan Gaza-Israel menimbulkan permasalahan ekonomi serius di Gaza.

Lantas,apa yang salah jika kemudian aktivis Hamas ingin terbebas dari tekanan Israel itu? Bagaimana seharusnya Obama bertindak? Obama memang menghadapi pilihan dilematis.Di satu sisi dia, bagaimana pun, adalah presiden sebuah negeri raksasa yang secara tradisional akan membela Israel. Meski tradisi Demokrat lebih bisa menghardik kejahatan Israel,tapi AS nyaris tak mungkin meninggalkan negeri Yahudi itu.

Di pihak lain,Israel pun menyiasatinya dengan berbagai rupa tindakan licik agar Pemerintahan Obama (Demokrat) masuk dalam pusaran masalahnya. Kenapa Israel melakukan hal seperti itu? Semua ini, barangkali, merupakan cermin rasa takut Israel terhadap kebijakan-kebijakan AS setelah Obama resmi memerintah. Kita tahu, Obama dalam kampanyenya mengusung kalimat Change! Dan salah satu change tersebut pendekatan yang berbeda terhadap Israel dan Islam.Obama yang “mbah-buyut”-nya di Kenya adalah muslim, niscaya punya perspektif yang berbeda dengan Bush dalam melihat persoalan Israel dan Islam.

Obama, misalnya, dalam kampanyenya berjanji akan melakukan dialog dengan Iran dan Suriah, musuh utama Israel; dan siap bertemu muka dengan kedua pimpinan negara tersebut. Ini betul-betul sebuah kebijakan yang radikal,kebijakan yang bertentangan dengan Bush dan kebijakan yang menampar Israel. Obama juga dalam kampanyenya berjanji akan mengambil kebijakan yang bersahabat dengan negaranegara Islam di Timur Tengah dan Teluk.

Ini pun kebijakan yang tak dikehendaki Bush dan Israel. Kebijakan Obama inilah yang tampaknya hendak dirusak Israel dengan penyerbuannya ke Gaza. Untuk sementara ini, melihat dukungan Bush dan diamnya Obama,Israel berhasil memperdayai dan menjebak Obama. Tapi apakah Obama setelah dilantik akan mengikuti permainan Israel atau sebaliknya akan menghardik Israel,kita tunggu. Yang jelas, dunia kini menunggu kebijakan Obama terhadap pembantaian Gaza.Negara-negara Timur Tengah tampaknya tak bisa berbuat banyak melihat kebrutalan Israel di Gaza.

Begitu pula negara-negara Barat. Israel hanya akan menurut kalau Washington menghardiknya. Bush sudah jelas mendukungnya. Harapan dunia kini tertuju pada Obama yang masih diam seribu bahasa. Apakah diamnya Obama tanda setuju terhadap serangan Israel ke Gaza, atau sebaliknya, tanda kemarahan melihat kekejaman Israel? Washington sudah terlalu banyak mengeluarkan biaya, baik secara finansial, politik, maupun sosial untuk melindungi Israel.

Tiap tahun tak kurang USD4 miliar diberikan Washington secara cuma-cuma ke Tel Aviv. Senjata bernilai miliaran dolar juga diberikan AS kepada Israel. Hasilnya, Israel makin brutal dan berani mengacak-acak keputusan PBB serta perasaan masyarakat internasional yang benci perang dan pembantaian manusia. Beranikah Obama menghentikan tindakan brutal Israel di Gaza? Jika berani, berarti Obama benar-benar memenuhi janjinya dan citra AS akan makin baik di mata dunia.

Jika tidak, Obama akan dikutuk masyarakat internasional karena menjilat ludahnya sendiri. Yang terakhir ini jelas akan membahayakan Obama dan AS sendiri seperti diprediksi Jerome R Corsi dalam buku The Obama Nation.

Prediksi Corsi itu akan meleset jika Obama benar-benar melaksanakan janji-janji kampanye, apa pun yang terjadi! Jika Amerika berani mengatur dunia, logikanya Washington akan berani mengatur Israel, negeri yang hanya berpenduduk lima juta jiwa yang hidupnya “menyusu” kepadanya.*

Tulisan ini pernah dimuat di Seputar Indonesia, 9 Januari 2009 

Penulis adalah Guru Besar UIN Jakarta

Â