Nestapa Gaza

Nestapa Gaza

Oleh Azyumardi Azra

Pergantian tahun ternyata bukanlah saat-saat menyenangkan di Palestina, tepatnya di Jalur Gaza. Bila pada pergantian tahun 2009 lalu, wilayah Jalur Gaza menjadi sasaran pengeboman Israel, awal 2010 bangsa Palestina yang mendiami wilayah sempit ini sehingga disebut sebagai Gaza strip kembali menjadi sasaran, tidak hanya oleh Israel, tapi juga Mesir.

Israel mengerahkan kekuatan militernya untuk menghancurkan terowongan-terowongan bawah tanah yang merupakan life-line, jalur kehidupan bagi masyarakat Palestina Gaza untuk bisa bertahan hidup.

Dalam pada itu, Mesir kian memperketat perbatasannya dengan Gaza melalui pembangunan tembok baja untuk menutup mulut terowongan-terowongan dari Gaza. Tembok baja sedalam 20 meter dari permukaan tanah sepanjang lebih dari 10 kilometer agaknya bakal cukup efektif menutup mulut terowongan, sehingga memperkecil kemungkinan masuknya makanan dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya ke Gaza.

Sementara itu, Mesir juga hampir tidak mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan internasional melalui Rafah, satu-satunya pintu masuk dari perbatasan Mesir ke Gaza. Ini terlihat dari kasus akhir pekan lalu di mana dua anggota parlemen Inggris, George Galloway dan Ron McKay, diusir Pemerintah Mesir. Padahal, keduanya memimpin konvoi kemanusiaan yang terdiri atas sekitar 550 orang dari 17 negara untuk membawa makanan, alat-alat kesehatan, dan bahkan peralatan perawatan gigi.

Tembok baja Mesir, pengusiran delegasi kemanusiaan, dan tembok tinggi di perbatasan Gaza dengan Israel membuat sempurnanya penderitaan sekitar 1,5 juta masyarakat Gaza. Sejak Israel dan Mesir menutup perbatasannya dengan Gaza pada pertengahan Juni 2007, krisis kemanusian terus melanda penduduk Palestina Gaza. Dan, perkembangan pahit akhir-akhir ini jelas membuat krisis tersebut semakin parah; dan kenestapaan itu tampaknya tidak bakal berakhir dalam waktu dekat karena berbagai alasan.

Pertama, di kalangan bangsa Palestina sendiri, pertikaian dan perpecahan di antara Hamas di Gaza dan Fatah di Tepi Barat tetap berlanjut. Meski ada upaya-upaya mewujudkan rekonsiliasi di antara kedua faksi bangsa Palestina ini, perdamaian masih jauh daripada kenyataan. Kedua faksi belum bisa mengatasi perbedaan sikap masing-masing terhadap Israel dan Amerika Serikat; jika Hamas tetap ingin melenyapkan Israel, Fatah lebih bersahabat kepada negara Zionis tersebut. Karena itulah masyarakat Tepi Barat yang dikuasai faksi Fatah hampir tidak melakukan pembelaan secara serius terhadap saudara-saudara mereka sesama Palestina di Gaza yang didominasi Hamas.

Kedua, negara-negara Arab tetap saja tidak terlalu peduli pada bangsa Palestina, khususnya masyarakat Gaza. Mereka tetap melakukan pembiaran terhadap tindakan-tindakan tidak berperikemanusiaan yang terus dilakukan oleh Israel dan Mesir terhadap bangsa Palestina di Gaza. Liga Arab tetap saja tidak mampu mengatasi perbedaan-perbedaan sikap di antara para anggotanya dalam hal masalah Palestina, khususnya Hamas. Akibatnya, Israel terus merasa leluasa melakukan tindakan apa pun terhadap Gaza. Sementara itu, Liga Arab juga tidak berani menekan Mesir agar lebih manusiawi memperlakukan bangsa Palestina, karena negara ini merupakan salah satu kekuatan dominan di dalam Liga Arab.

Ketiga, perhatian dunia tidak lagi terpusat pada masalah Palestina. Sebaliknya, perhatian kekuatan-kekuatan besar seperti AS dan sekutu-sekutunya lebih terfokus pada upaya mengatasi peningkatan kekerasan di Pakistan, Afghanistan, Irak, dan Yaman. Media-media internasional dan juga nasional seperti di Indonesia misalnya tidak lagi menjadikan krisis kemanusiaan di Gaza sebagai salah satu berita utama. Akibatnya, publik internasional dan nasional tidak lagi banyak mengetahui kenestapaan anak manusia yang kian mendalam di Gaza.

Semua realitas ini memperlihatkan kian suramnya masa depan bangsa Palestina, khususnya mereka yang bermukim di Gaza. Perpecahan dan pertikaian multilevel di antara bangsa Palestina sendiri dan juga di antara negara-negara Arab-- membuat penyelesaian konflik di Palestina sangat sulit; dan dengan begitu, membuat kian sulitnya perwujudan sebuah negara Palestina merdeka yang berdaulat penuh. Padahal, salah satu kunci pokok perwujudan negara Palestina tersebut dan sekaligus perdamaian di antara Palestina dan Israel adalah kesatuan sikap dan langkah di antara bangsa Palestina dan juga negara-negara Arab.

Dan, tidak kurang pentingnya adalah tekanan dunia internasional, khususnya AS dan Uni Eropa terhadap Israel dan juga Mesir. Kedua negara ini adalah sekutu terdekat AS di Timur Tengah; keduanya merupakan negara-negara penerima bantuan keuangan dan militer terbesar dari Amerika. Dan, karena itu, AS berada dalam posisi yang tepat untuk membuat Israel dan Mesir untuk lebih menghormati hak-hak hidup masyarakat Palestina di Gaza khususnya. Masalahnya, AS membiarkan saja kedua negara sekutunya berlaku semaunya.

Apa yang bisa dilakukan Indonesia? Tidak banyak yang bisa dibuat negara ini, kecuali dengan tetap menyatakan bahwa Indonesia mendukung terwujudnya sebuah negara Palestina merdeka yang berdaulat penuh.

Memang, Pemerintah Indonesia kelihatannya memiliki pretensi untuk berbuat lebih konkret bagi bangsa Palestina; tetapi tetap saja, Pemerintah Indonesia tidak mampu berbuat banyak karena berbagai komplikasi dan keterbatasan.

 

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 15 Januari 2009

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta