Nasrullah Nurdin, Berdakwah di “Kota Injil”

Nasrullah Nurdin, Berdakwah di “Kota Injil”

 

TEPAT pukul 08.30 WIT, Nasrullah Nurdin (23) tiba di Bandara Rendani, Manokwari, Papua Barat, dari Jakarta pada 31 Juli 2011 atau sehari sebelum puasa Ramadhan 1432 H. Segera setelah itu ia pun disambut hangat Ketua MUI Papua Barat, Drs KH Musa Abdul Hakim. Kedatangan sarjana lulusan Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora tahun 2011 di Papua itu tak lain untuk berdakwah selama bulan Ramadhan.

“Saya berdakwah ke Papua atas sponsor Kementerian Agama dan Kedubes Arab Saudi di Jakarta,” ujarnya menjelaskan. Nasrullah merupakan satu dari 57 peserta program pengiriman dai ke sejumlah wilayah terpencil di Indonesia yang terpilih pada Juli lalu. Selain Anas, demikian pria ini biasa disapa, terdapat tujuh dai lain yang berdakwah di Papua, namun dengan tempat yang berbeda.

“Saya sendiri waktu itu mewakili santri dari Pesantren Darusunnah, Ciputat, pimpinan Prof Dr KH Mustafa Ali Ya’qub,” lanjutnya.

Setibanya di Bumi Cenderawasih itu, Anas mengaku sempat terkaget. Pasalnya, ia tak hanya disambut ketua MUI, tapi juga baliho besar bertuliskan: “Selamat Datang di Kota Injil, Manokwari”. Baliho tersebut terpampang hanya beberapa meter selepas keluar dari Bandara Rendani.

“Cukup lama saya merenung. Dan, inilah tantangan saya pertama kali berdakwah di pulau ujung timur Indonesia yang minoritas muslim,” ujarnya.

Meski begitu, Anas tak berarti harus berkecil hati. Justru ia iringi dengan doa dan zikir agar kegiatan dakwahnya berhasil dengan baik. Lagi pula, toh, ia tidak berdakwah kepada kelompok nasrani yang mayoritas, melainkan umat Islam yang saat itu masih membutuhkan bimbingan akidah dan ibadah, lebih-lebih di bulan Ramadhan.

Selepas dari bandara, Anas langsung menuju Sanggeng, sebuah kota kecil di Manokwari. Di sini ia diperkenalkan ketua MUI kepada para pengurus Masjid Ridwanul Bahri Kompleks TNI Angkatan Laut, termasuk warga muslim sekitarnya. Di masjid ini pula, Anas dua minggu bermukim dan memulai aktivitas dakwahnya.

“Saya mengajari anak-anak mengaji dan tata cara ibadah. Demikian pula kepada warga sekitar, saya ikut memberikan ceramah agama, seperti kultum sebelum shalat Tarawih dan seusai shalat Subuh,” tutur peraih sarjana terbaik se-Jurusan Tarjamah dengan yudisium 3,59 atau kumlaude ini.

Selama bermukim dan berdakwah, Anas sendiri tak mengira bakal disambut sehangat itu oleh warga sekitar, termasuk Bupati Manokwari Dr (hc) Bastian Salabay dan Kapolsek setempat. Menurut Anas, para pejabat di Manokwari justru welcome dengan misi dakwahnya.

“Alhamdulillah, warga dan para pejabat serta pemuda di sana menerima saya dengan senang hati. Saya pun sempat berharap misi dakwah ini kelak berjalan lancar,” cetusnya.

Sejak itulah Anas memulai aktivitas dakwahnya dari masjid ke masjid. Kegiatannya pun hampir sama: ceramah, imam, khatib, azan, dan mengajari anak-anak mengaji.

Selain di kota Sanggeng,  Anas juga menyambangi distrik Oransbari, sekitar 90 kilometer dari kota Manokwari. Daerah lain yang dikunjungi adalah distrik Ransiki, yang terpencil dan jauh dari keramaian. Untuk menuju ke lokasi, tak jarang Anas harus melewati tepian jurang dan keluar-masuk hutan dengan berjalan kaki. Di sepanjang perjalanan, ia kerap menemui banyak anjing dan babi berkeliaran. Tak hanya itu, penerangan pun terbatas. Listrik di wilayah ini hanya menyala sekitar enam jam, mulai pukul 18.00 hingga 24.00 waktu setempat.

Menurut Anas, di distrik Ransiki ini cuma ada satu masjid dan satu mushalla. Sementara gereja, jumlahnya mencapai puluhan untuk satu kecamatan. Malah awalnya, pembangunan masjid di wilayah tersebut sempat dilarang, termasuk mengumandangkan azan.

Jarak antara Masjid An-Nur dan Mushalla Al-Hidayah itu sekitar 4 kilometer. Dan, untuk bisa berdakwah, Anas harus rela naik ojek, atau kadang-kadang diantar oleh pengurus masjid.

“Di kecamatan ini banyak santri muallaf. Mereka saya ajari membaca al-Qur’an, doa-doa, dan kupasan mengenai puasa,” tutur Anas.

Ia juga menceritakan bagaimana suka-duka berdakwah di bulan Ramadhan di daerah terpencil selama satu bulan penuh dan di tengah-tengah mayoritas penduduk non-muslim. Meski  ia sendiri tinggal di lingkungan kelompok Islam, tak berarti tidak ada tantangan. Namun, katanya, sejauh tak menyentuh wilayah SARA (suku, agama, dan ras), kelompok mayoritas di Manokwari cukup toleran.

“Di desa-desa di mana saya berdakwah, yang tampak hanya gereja. Bahkan jarak antara satu gereja dengan gereja lain cukup berdekatan, sehingga wajar jika di masjid atau mushalla tidak menggunakan pengeras suara, baik untuk mengumandangkan azan maupun khutbah shalat Jumat. Bukan berarti mereka (kelompok Kristen) melarang, tapi umat Islam sendiri harus menjaga toleransi,” papar pria yang hobi menulis ini.

Ia berharap dakwah serupa dapat dilanjutkan untuk membantu penduduk muslim minoritas. (Nanang Syaikhu)