Nasionalisme

Nasionalisme

Oleh Azyumardi Azra

SIAPA bilang nasionalisme sudah mati dan tidak relevan lagi di tengah masa globalisasi yang konon menghilangkan tapal batas wilayah, ekonomi, dan sosial budaya. Globalisasi dan globalisme boleh jadi dalam batas tertentu memerosotkan semangat kebangsaan.

Akan tetapi, menyaksikan kehebohan banyak kalangan masyarakat Indonesia di seputar tim nasional Indonesia yang bertarung menghadapi Malaysia pada akhir tahun 2010, kita bisa menyaksikan dengan mata telanjang terjadinya "kebangkitan" semangat kebangsaan itu. Padahal, kompetisi sepak bola AFF itu hanyalah kejuaraan tingkat ASEAN. Bayangkan jika tim nasional Indonesia bisa berjaya pada tingkat Asia dan apalagi pada tingkat dunia-boleh jadi semangat kebangsaan itu muncul lebih bernyala-nyala lagi.

Memang, semangat kebangsaan dapat lebih mudah menemukan gejolaknya melalui olahraga dan seni yang memiliki daya tarik dan imbauan lebih universal. Sepak bola yang merupakan cabang olahraga yang paling populer di tanah air-seperti juga di banyak negara lain-melintasi batas-batas dan sekat lain, seperti politik, agama, status sosial-ekonomi, dan bahkan juga gender.

Meski bisa saja sepak bola dikait-kaitkan dengan politik, pesan dan daya tarik universalnya tetap bertahan. Karena itu, jika kita ingin semangat kebangsaan itu terus bangkit, cara paling efektif tampaknya adalah membangun kembali dunia olahraga Indonesia dengan menempuh berbagai cara yang mungkin dilakukan.

Kenyataan bangkitnya semangat kebangsaan atau nasionalisme lewat sepak bola dan bisa juga melalui cabang olahraga lain-seperti bulu tangkis, misalnya-sangat kontras dengan realitas lain. Sedikitnya, dalam dua dasawarsa terakhir, banyak wacana dan keprihatinan banyak kalangan masyarakat tentang kemerosotan semangat kebangsaan Indonesia.

Terakhir sekali menjelang akhir tahun ini, sebuah partai besar menyelenggarakan seminar tentang pentingnya upaya-upaya serius untuk membangkitkan kembali semangat kebangsaan. Sebab, kemerosotan dan lunturnya semangat kebangsaan dapat menimbulkan berbagai kerawanan sosial dan politik, yang pada gilirannya mengancam tidak hanya persatuan dan kesatuan bangsa, tetapi juga eksistensi bangsa Indonesia.

Dalam perspektif saya pada seminar tersebut, kemerosotan nasionalisme banyak bersumber dari berbagai perubahan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama yang berlangsung cepat dan berjangka panjang, sementara keseimbangan-keseimbangan baru tidak atau belum kunjung tercipta. Pengenalan dan penerapan demokrasi (liberal), misalnya, pada masa pasca-Soeharto juga menimbulkan pertarungan, kontestasi, dan intrik politik yang tidak kunjung henti sampai sekarang.

Bahkan, tahun 2010 disebut banyak kalangan politisi sendiri sebagai "Tahun Intrik Politik". Bisa dibayangkan, intrik politik ini pasti meningkat dalam tahun-tahun mendatang menjelang 2014 ketika pemilu nasional legislatif dan presiden kembali dilaksanakan.

Karena itu, dengan keadaan seperti itu pantas jika orang bertanya, bagaimana politik mampu membangkitkan semangat kebangsaan jika yang terus terjadi tarik-menarik kepentingan politik masing-masing pihak? Bagaimana solidaritas kebangsaan bisa terwujud jika setiap pihak hanya mendahulukan kepentingan politiknya sendiri dengan mengorbankan pihak lain?

Dalam kenyataannya, jika sudah terkait politik, yang ada hanyalah kepentingan sendiri. Jika ada kepentingan kebangsaan, itu hanyalah embel-embel belaka yang dalam praktiknya hampir tidak atau kurang dipertimbangkan sama sekali.

Gejala yang sama juga bisa disaksikan dalam bidang-bidang kehidupan lainnya. Dalam bidang ekonomi, misalnya, kebijakan-kebijakan ekonomi liberal dan neolib mengakibatkan tergusurnya ekonomi rakyat yang memang sangat lemah dalam berbagai segi. Pasar-pasar tradisional dan usaha kecil dan menengah tidak berdaya menghadapi jaringan mal, convenience stores, dan kekuatan ekonomi pasar bebas yang merasuk sampai ke tingkat bawah.

Dalam situasi seperti ini, di mana letak semangat kebangsaan? Bagaimana kebangsaan bisa bertahan dan bangkit jika ekonomi rakyat tidak pernah diprioritaskan dan mendapat kebijakan afirmatif dalam menghadapi kekuatan konglomerasi pasar bebas.

Karena itu, jika kita ingin semangat kebangsaan itu bisa bangkit dan bertahan, tidak ada jalan lain kecuali dengan membangun dan memprioritaskan penciptaan keseimbangan, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun agama. Hanya dengan adanya keseimbangan dapat tercipta keadilan yang membuat setiap warga merasa menjadi bagian integral dari bangsa Indonesia ini. Hanya dengan itu pula para warga dapat memiliki kembali rasa solidaritas yang menjadi salah satu dasar dari semangat kebangsaan.

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 30 Desember 2010
Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta