Mukti Ali dan Harmoni dan Keberagamaan Progresif

Mukti Ali dan Harmoni dan Keberagamaan Progresif

Media Zainul BahriOleh: Dr. Media Zainul Bahri MA

Menguatnya paham keagamaan yang keras yang memicu intoleransi dan radikalisme dalam satu dasawarsa terakhir sangat mengkhawatirkan. Pemerhati terorisme Al Chaidar dan Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin mengingatkan bahwa belakangan ini terdapat peningkatan aktivitas kelompok radikal di dalam negeri. Dua penyebab pokoknya adalah pengaruh gerakan keagamaan yang radikal di Timur Tengah dan meningkatnya dukungan finansial dari luar terhadap kelompok- kelompok radikal di dalam negeri (Kompas, 21/2/ 2015). Atas ancaman dan bahaya yang sudah mencapai tingkat darurat ini, PBNU, LDII dan organisasi Islam lainnya menghadap Presiden Jokowi dan meminta dukungan untuk memutus jaringan virus paham keagamaan yang berbahaya bagi Indonesia dan kemanusiaan (Sabtu, 6/2/2016). Memang benar, virus yang paling krusial dalam memunculkan intoleransi akut dan radikalisme adalah konstruksi pemahaman keagamaan. Bangunan yang sendi-sendi pokoknya diisi dengan paham keagamaan yang ”keras” tapi dangkal akan memudahkan bangunan itu bergerak liar dan roboh dengan melumat korban jiwa yang tidak sedikit. Dalam konteks ini, kita rindu mencari rujukan kepada tokoh-tokoh agama yang berpikiran maju sekaligus moderat dan inklusif dalam beragama. Profesor Mukti Ali (1925- 2004) adalah salah satu legenda muslim Indonesia yang berkontribusi signifikan dalam panggung agama dan politik di Tanah Air. Karena kepeloporannya dalam mendirikan program studi Perbandingan Agama pada 1961 di PTAIN Yogyakarta, dia dikenang sebagai ”Bapak Ilmu Perbandingan Agama.” Selama menjadi menteri agama pada periode 1972-1978, dia aktif mengampanyekan kerukunan dan pemahaman keagamaan yang modern. Saya kira dengan menyebut dua hal pokok ini saja, dengan segera memori kita dapat menghubungkan relevansi dan signifikansi pemikiran keagamaan Mukti Ali bagi wajah kelam keberagamaan kita hari ini. Ketika mendirikan program studi perbandingan agama, Mukti Ali telah menyadari sepenuhnya bahwa ilmu ini tidak semata bertujuan mengembangkan keilmuan itu sendiri, melainkan harus menyumbang sesuatu bagi kemanusiaan dan kehidupan sosial. Ia menyebut istilah bahwa ”ilmu bukan untuk ilmu” sebagaimana ”seni bukan semata untuk seni”. Ilmu jangan hanya berdiri di menara gading yang tak bersentuhan dengan problem manusia. Bagi Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama adalah untuk ibadah, lantas apa bentuk ibadahnya? Mengembangkan kerukunan dan kehidupan keagamaan yang damai sekaligus produktif! Karena itu, Mukti Ali mendesain sebuah metodologi yang ia sebut ”scientific cum-doctrinair” atau ”ilmiah agamais”. Maksudnya, ilmu agama tidak cukup hanya didekati dengan pendekatan-pendekatan teologis yang normatif, namun juga harus diperkaya oleh ilmu-ilmu sosial supaya memiliki elan vital untuk bergumul dengan problem- problem sosial. Saat ini sudah biasa para sarjana agama memakai pendekatan multidisipliner untuk studi agama, tetapi Mukti Ali merumuskannya sejak 1970-an, suatu masa ketika tidak banyak sarjana yang berpikir tentang hal itu.

*** Kampanye Mukti Ali untuk kerukunan bukanlah di ruangan yang hampa tanpa konteks. Era 1960 hingga 1980-an, umat beragama Indonesia dicabik-cabik oleh peristiwa PKI dan konflik Islam-Kristen. Selain memperkenalkan tanpa lelah ilmu perbandingan agama untuk pengembangan kerukunan, Mukti Ali juga merumuskan apa ia yang sebut ”Sepakat dalam Ketidaksepakatan (agree in disagreement)”. Istilah ini sangat populer ketika ia menjabat Menteri Agama. Bagi Mukti Ali dan umat beragama umumnya, agama-agama yang dianut memiliki perbedaan- perbedaan dan persamaan yang tidak bisa ”disama-samakan semuanya” atau ”dibedabedakan seluruhnya”. Ada titik temu dan persamaan sehingga bisa kompromi, ada pula perbedaan yang sulit dikompromikan. Karena itu, bagi Mukti Ali, jalan yang terbaik adalah masing- masing sepakat dalam perbedaan (agree in disagreement). Bentuknya adalah saling menghormati satu sama lain. Sayangnya, semangat saling menghormati saat ini mengalami ancaman serius dari kelompok-kelompok eksklusifis-absolutis. Namun, yang lebih penting lagi dari sekadar saling menghormati adalah bekerja sama dalam problem- problem sosial dan kemanusiaan, karena pada wilayah ini semua manusia memiliki kebutuhan dan kepentingan yang sama, yaitu hidup sejahtera dalam kerukunan. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan komunikasi dan dialog, bukan monolog. Dalam dialog disyaratkan kerendahan hati untuk mendengarkan pihak lain yang berbeda, kemudian berbagi (sharing) pandangan dan pengalaman untuk memperkaya tradisi masing-masing. Dengan mengenal, berkomunikasi, dan berdialog satu sama lain akan terjalin kesepahaman, pengenalan lebih mendalam dan akhirnya terjalin hubungan yang hangat.

*** Pandangan keagamaan dan keindonesiaan Mukti Ali yang masih relevan adalah soal beragama secara utuh, progresif dan modern. Jika di masa Presiden Soeharto selalu disebut istilah ”pembangunan manusia seutuhnya”, Mukti Ali adalah sosok penggagasnya ketika menjadi menteri agama. Bagi Mukti Ali, pembangunan atau aspek-aspek sekuler dalam kehidupan harus diberi nilai agama supaya ada ruh atau spirit yang nilainya jauh lebih luhur dan agung dari sekedar pencapaian fisik-materiil. Kapitalisme dan kerakusan luar biasa yang kita saksikan hari ini terjadi karena manusia mengabaikan nilai spiritual yang adiluhung itu. Namun, berhenti pada yang spiritual saja tidak cukup. Bagi Mukti Ali, umat beragama harus memiliki pemahaman keagamaan yang progresif, yang maju dan modern. Caranya dengan melakukan penafsiran- penafsiran ulang atas teks-teks agama supaya relevan dan kontekstual dengan problem dan tantangan hari ini. Salah satu kampanye Mukti Ali saat itu tentang apa yang disebut modern adalah bahwa para sarjana agama dan santri muslim harus memiliki keterampilan (skill) di luar ilmu-ilmu agama sebagai keahliannya, untuk dapat berkompetisi meraih kehidupan duniawi yang lebih baik. Karel Steenbrink, sarjana Belanda ahli Islam Indonesia dan kolega Mukti Ali sendiri, menyebut Mukti Ali sebagai Weberian, yakni mencoba mempraktikkan tesis Max Weber tentang ”etika Protestan dan semangat kapitalisme” untuk umat beragama di Indonesia. Untuk mewujudkan keberagamaan yang progresif-modern, bagi Mukti Ali, pandangan keagamaan yang tradisional dan konservatif-fatalistik harus ditinggalkan. Pandangan keagamaan model ini akan menghambat umat beragama dalam merespons modernitas dan perubahan dunia. Jika tetap dipertahankan maka; pertama, agama akan ditinggalkan; agama hanya akan jadi artifak museum; orang-orang modern dan postmodern akan mencari ideologi dan nilai-nilai lain di luar agama untuk pegangan mereka. Atau kedua, umat beragama yang skripturalis-konservatif dan fatalistik akan mengisolasi diri vis a vis modernisme dan dunia global yang super cepat berubah. Jika mengisolir diri karena frustrasi dan kalah (secara ekonomi, politik, dan budaya) maka kelompok beragama ini akan menjadi eksklusif, cenderung intoleran dan akhirnya melawan dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Jadi, beragama secara modern dan progresif bagi Mukti Ali adalah beragama secara kontekstual, tetapi tetap setia dengan nilai spiritual dan bentuk agama formal yang dianutnya. Namun, kesetiaan terhadap bentuk formal agama selalu di dalam cahaya keberagamaan yang toleran, inklusif, dan terbuka, bukan keberagamaan yang tertutup. Karena itulah, Mukti Ali sebagai santri par excellence juga mengembangkan studi Perbandingan Agama, kerukunan, dan dialog antaragama. Gagasan-gagasan keagamaan yang humanis dan terbuka seperti yang dianut Profesor Mukti Ali dapat terus relevan untuk dirawat dan menjadi modal sosial untuk kelestarian Indonesia; untuk keberlangsungan peradaban agama-agama dan kepercayaan di tanah air di tengah ancaman konstruksi pikir manusia-manusia Indonesia modern yang cenderung eksklusif dan intoleran, bahkan melawan (against) falsafah dasar Indonesia seperti Pancasila dan UUD 1945 yang dengan telah susah payah dirumuskan dan dikembangkan oleh para pendiri bangsa ini. Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tulisan dimuat dalam kolom Opini KORAN SINDO, Selasa 1 Maret 2016.

http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=1&date=2016-03-01