Merawat Suara Terbanyak

Merawat Suara Terbanyak

Oleh: Gun Gun Heryanto

Perbincangan mengenai revisi UU Pemilu terus bergulir di Senayan. Melihat dari aspek waktu, tentu patut kita apresiasi terlebih jika DPR mau dan mampu menyelsaikan pembahasan revisi UU Pemilu ini sesuai dengan prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010. Andaikan bahasan revisi selsai sesuai target atau hanya meleset sedikit karena disepakati tahun 2011, ini akan lebih baik dibanding penyiapan regulasi tiga Pemilu sebelumnya yang selalu mencapai kata sepakat di injury time. UU No.3 tahun 1999, UU No.12 tahun 2003 serta UU No.10 tahun 2008, yang menjadi sandaran penyelenggaraan Pemilu, senantiasa diputuskan secara tergopoh-gopoh. Hasilnya, kualitas Pemilu kita hingga kini belum maksimal. Pengalaman itu, tentu saja jangan sampai terulang lagi, baik dari aspek waktu maupun substansi pembahasan.

Oligarki Parpol
Di tengah pembahasan revisi UU No. 10 tahun 2008, muncul usulan dari PDIP untuk mengembalikan sistem Pemilu berdasarkan penetapan suara terbanyak atau proporsional terbuka ke sistem nomor urut yang pernah dipraktikkan di masa lalu. Sebagaimana diketahui, pada 23 Desember 2008, Mahkamah Konstitusi telah membuat keputusan untuk mengabulkan uji materi atas pasal 214 huruf a, b, c, d, e UU 10/2008. Konsekuensi keputusan MK tersebut, penetapan caleg untuk pemilu 2009 ditentukan dengan sistem suara terbanyak. MK memberi pertimbangan bahwa penetapan caleg berdasarkan nomor urut tidak sesuai dengan substansi kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam konstitusi. Antaralain bertentangan dengan Pasal 27 ayat 1, Pasal 28D ayat 1, Pasal 28D ayat 3 dan pasal 28I ayat 2 UUD 1945. Intinya, saat itu MK memandang sistem nomor urut yang diatur dalam UU Pemilu dinilai bertentangan dengan asas pemilu luber dan jurdil.

Ide mengembalikan penetapan caleg berdasarkan nomor urut merupakan ide yang tidak transformatif. Bahkan, cenderung berpikir mundur dan membahayakan kualitas pemilu dan demokrasi di masa mendatang. Dampak negatif yang lazimnya muncul dari sistem penetapan berdasarkan nomor urut adalah menguatnya oligarki parpol. Plato dalam maha karyanya Republic yang pertama kali mengenalkan oligarki sebagai kekuasaan politik yang secara efektif dikuasai oleh sedikit kelompok elit. Tak hanya dalam birokrasi negara dan pemerintahan, kepemimpinan oligarkis juga sangat mungkin berkembang dan mapan di dalam birokrasi parpol. Dalam buku yang disunting Syamsuddin Haris, Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai (2005), menggambarkan fenomena oligarki yang begitu kental dalam proses pencalonan legislatif di Pemilu 2004. Hal tersebut terjadi dalam proses nominasi dan seleksi calon legislatif. Ini merupakan warisan Orde Baru yang mengharamkan partisipasi rakyat. Para politisi partai pasca-Soeharto terperangkap ke dalam kecenderungan oligarkis baru melalui partai-partai yang struktur kepemimpinannya merupakan duplikasi dari struktur tradisi sosio-kultural lokal yang cenderung patrimonial dan feodalistik.

Paling tidak, ada tiga dampak negatif yang bisa meneguhkan oligarki parpol jika penetapan caleg dikembalikan ke nomor urut. Pertama, penetapan nomor urut akan menguatkan kembali tradisi nepotisme-feodal dalam proses seleksi dan nominasi para politisi. Nepotisme-feodal ini biasanya merujuk ke aspek geneologi atau asal muasal parpol yang bersangkutan. Pendiri dan orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pendiri biasanya memiliki hak istimewa terlebih dahulu dibanding kader lainnya. Faktor geneologis yang menjadi pertimbangan dalam seleksi dan nominasi ini akan menyumbang pada rusaknya tatanan partai modern. Selain geneologi politik, hal yang bisa meneguhkan nepotisme-feodal adalah praktik patron-client. Ada mekanisme meloloskan kader-kader “anak emas” yang lahir dari hubungan di masa lalu, misalnya karena sama-sama di organisasi kemahasiswaan atau berafiliasi di ormas yang sama. Pola senior-junior dan gerbong kader bawaan yang kerap tak cukup dibarengi dengan seleksi ketat menyangkut kualitas dan kapasitas “anak emas” yang hendak diloloskan.

Kedua, nomor urut akan menyebabkan kesenjangan antara harapan konstituen dengan pilihan parpol. Di masa lalu, kerap terjadi parpol memutuskan caleg-caleg yang direstuinya di nomor jadi untuk dapil tertentu, sementara konstituen tak menghendaki mereka menjadi wakilnya. Bahkan tak jarang parpol mendrop caleg yang sama sekali tak dikenal di dapil yang bersangkutan. Dengan demikian, penetapan berdasarkan nomor urut jelas-jelas menciderai prinsip-prinsip kompetensi, constituency work dan representasi. Seorang caleg dari satu dapil diharapkan merupakan figur yang mampu menyuarakan kepentingan konsituennya serta jelas-jelas mewakili suara mereka karena menguasai isu, akar permasalahan dan solusi yang harus diperjuangkan karena tidak mencangkokan dirinya secara instan menjelang Pemilu melainkan jauh-jauh hari secara alamiah mengenal, bersentuhan dan terlibat dalam urusan-urusan konstituen yang hendak diwakilinya.

Ketiga, akan mereduksi proses kaderisasi dan pelembagaan parpol. Alur yang benar dalam proses kaderisasi adalah rekrutmen orang dari masyarakat untuk masuk ke partai, lantas mendidik dan mendayagunakan kader serta menominasikan dan mendistribusikan kader potensial untuk menduduki jabatan-jabatan publik. Parpol harus membuka kontestasi secara terbuka, sehingga akan memberi kesempatan akselerasi yang sama bagi semua kader. Situasi dan budaya kompetitif dengan sendirinya akan menyemai banyak kader-kader handal secara alamiah. Hal ini, tentunya akan sontak rusak, jika parpol menerapakan nomor urut karena dengan sendirinya menutup akses bagi kader-kader non “anak emas”. Elit-elit parpol yang dekat dengan pemilik akses kekuasaan dan pemangku otoritas partai akan melenggang tanpa harus berjibaku dan berkeringat di dapil karena sudah pasti di nomor jadi, sementara kader lainnya dipaksa mawas diri di nomor sepatu. Dalam situasi ini, efek lanjutannya adalah kader nomor sepatu biasanya berupaya melakukan strategi vertikal-pragmatis dengan sebanyak mungkin menyetor upeti ke parpol, agar pada Pemilu berikutnya memperolah akses untuk menjadi nomor jadi. Praktis, parpol menjadi pasar transaksi antara elit dan kader atau antara elit dengan politisi “kutu loncat” yang memiliki kekuatan ekonomi untuk membeli nomor jadi. Idealisme untuk membangun parpol berdasarkan kesamaan ideologi dan garis perjuangan hanya akan menjadi bualan atau bahan kelakaran.

Selain ide yang digulirkan PDIP, belakangan bergulir juga wacana mixed member proportional system. Hal ini dilakukan dengan cara mengawinkan  nomor urut dan suara terbanyak. Jika diakomodir dalam revisi, UU akan menyatakan berapa kursi yang menggunakan nomor urut dan berapa kursi yang menggunakan suara terbanyak. Harapannya, calon unggulan partai dan calon yang paling mendapat dukungan di dapil bisa terkakomodir secara bersamaan. Ide ini muncul karena mengganggap suara terbanyak melahirkan praktik politik uang yang menjadi-jadi, rontoknya orang-orang yang telah berjuang di parpol tapi tak diminati konstituen dan mulai memudarnya otoritas parpol dalam konsolidasi politik di parlemen.

Namun jika kita simak lebih mendalam pengalaman Pemilu 2009, justru problem utamanya bukan pada pilihan penetapan caleg suara terbanyak, melainkan pada institusi parpolnya sendiri. Praktik politik uang memang bisa terjadi di sistem suara terbanyak, tetapi juga terjadi di sistem nomor urut berbentuk upeti ke perpol. Elit yang dilabeli “pejuang-pejuang” parpol rontok bisa jadi bukan semata-mata karena tak adilnya sistem suara terbanyak, melainkan bisa juga karena hukuman konstituen atas sikap, praktik dan performa politik sang elit. Sementara memudarnya otoritas parpol bisa jadi karena tak optimalnya fungsi-fungsi yang dijalankan. Jika parpol mampu menerapkan manajemen organisasi secara baik, tentu kohesivitas parpol dengan legislatornya tak akan bermasalah. Yang dikhawatirkan, mixed member proportional system justru bukan menjadi solusi memperbaiki kualitas politisi dan parpol melainkan menjadi jalur khusus para elit yang untouchable untuk tetap melenggang meski mereka para “pendosa”.

Tulisan ini pernah dimuat di Koran Jakarta, 23 September 2010

Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute