Menyoal Takdir Kenaikan BBM

Menyoal Takdir Kenaikan BBM

SETELAH melalui pelbagai tahapan polemik, pemerintah akhirnya resmi menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 28,7 persen pada Jumat, dinihari 23 Mei 2008. Harga premium naik menjadi 6.000 dari 5.500, solar 5.500 dari 4.300, dan minyak tanah 2.500 dari 2.000 per liter. Padahal, hal yang sama sudah pernah dilakukan pemerintahan SBY-JK pada tahun 2005 di mana pemerintah kemudian berjanji untuk tidak menaikkan harga BBM lagi. Sebuah kebijakan yang banyak menuai protes karena dinilai telah mempermainkan kepiluan nasib masyarakat miskin.

Secara umum, janji tersebut dapat dipertanggung jawabkan melihat langkah-langkah yang dicanangkan untuk menutupi difisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara akibat kenaikan harga minyak mentah dunia cukup strategis. Salah satunya adalah pengalihan penggunaan energi ke jenis energi alternatif, peningkatan produksi minyak, dan penghematan energi. Akan tetapi, antisipasi berhenti pada tataran wacana kala tidak adanya konsistensi dan keseriusan sehingga kejadian serupa menimpa kembali seolah kenaikan harga minyak dunia menjadi hukum kenaikan harga BBM nasional.

Terbukti, pengalihan ke energi alternatif seperti biofuel, angin, dan ombak hanya menjadi pembicaraan kosong, produksi minyak menurun hingga 927.000 barel perhari sementara konversi minyak ke batu bara dan gas tersendat banyak kendala. Demikian pula himbauan penghematan energi menjadi program insedentil seolah terbangun dari tidur panjang dan setelah itu terbaring lagi. Ada apa dengan pemerintah kita? Belum cukupkah waktu tiga tahun melakukan itu semua? Benarkah kemalasan telah menghambat segenap energi untuk sebuah upaya memperbaiki nasib bangsa?

Bom Waktu

Penting kiranya memperhatikan kembali slogan dari Benjamin Franklin time is money atau kearifan bangsa arab al-wakt kassaif. Dengan bijak mereka menyematkan waktu di sela kesibukan aktivitas manusia. Penekanan pada waktu berarti tuntutan akan efisiensi, efektifitas, dan profesionalitas mengingat sifat dari waktu memang tak pernah kenal kompromi bahkan otoriter. Menyiakan waktu sama halnya membuang uang, keselamatan hidup atau kesempatan paling berarti hingga akhirnya menjadi bom waktu. Pada posisi inilah manusia kadang salah memahami kejadian negatif bagi dirinya seraya menganggapnya sebagai jeratan takdir.

Dalam kerangka dasar teologi pembebasan, semua peristiwa negatif diandaikan bukan datang dari sana atau terberi (free given). Sudah tentu berlaku hukum kausalitas yang menyebabkan sesuatu itu terjadi. Begitu pula kenaikan harga BBM yang murni merupakan akibat kelalaian pemerintah dalam memanfaatkan waktu selama tiga tahun. Hampir tidak dapat dibenarkan bila alasan satunya-satunya adalah naiknya harga minyak mentah dunia. Sebab, kenaikan pada akhir bulan Mei nanti bukan berangkat dari keadaan kosong di mana gejala konkritnya sudah nampak pada kenaikan BBM tahun 2005.

Ironisnya, pemerintah seakan belum menyadari kelalaian selama ini dengan berinisiatif untuk keluar dari OPEC karena dianggap sebagai salah satu penyebab dari keterpurukan ekonomi bangsa. Padahal, kenaikan harga minyak mentah merupakan fenomena dunia yang dialami oleh seluruh negara. Sementara yang membedakan adalah pada strategi dan antisipasi tiap negara dalam menghadapi kenaikan tersebut. Sungguh sebuah tindakan in-koheren yang jauh panggang dari api.

Bila menaikkan harga BBM menjadi pilihan utama sekaligus paling pahit yang diambil oleh pemerintah, adakah keputusan untuk tidak membelenggu kesengsaraan rakyat? Bahasa apa lagi untuk menjelaskan atau merasionalisasi kenaikan BBM sebagai pemanis kata agar mendapat maklum?

Sekedar BLT

Masih segar dalam ingatan kita di saat pemerintah menaikkan harga BBM tahun 2005 saat itu pula diberikan dana konpensasi kepada masyarakat miskin. Hal yang sama juga dilakukan kali ini dengan program Bantuan Lansung Tunai (BLT) yang diharapkan dapat meringankan beban dan mendongkrak kekuatan ekonomi dosmistik mereka. Namun, alih-alih menyelesaikan persoalan kemiskinan, nasib mereka tetap di ujung ajal karena solusi meleset, mengejar kepentingan jangka pendek belaka.

BLT bukanlah jaminan ekonomi memuaskan bagi masyarakat miskin. Sebaliknya, ia hanyalah pelipur lara di tengah penderitaan hidup yang semakin diperparah akibat kenaikan BBM. Kecilnya dana BLT tidak mampu menutupi segala kebutuhan pokok yang semakin meningkat. Artinya, jaminan itu tak ubahnya sebentuk permintaan maaf semata dari pemerintah akibat kelalaian yang diperbuat sendiri. Alhasil, langkah pemerintah menaikkan harga BBM dengan jaminan bantuan tunai sekalipun tidak bisa dimaklumi.

Apalagi, data masyarakat miskin yang berhak menerima bantuan sedang dalam proses dan untuk sementara waktu mengacu pada date base tahun 2005 sehingga dipastikan tidak akurat bila menjadi acuan dalam kontek sekarang. Di sinilah lalu muncul keraguan berbagai pihak yang mengkhawatirkan bantuan tersebut tidak tepat sasaran dan hanya dinikmati oknom yang gemar menari di atas penderitaan orang banyak. Maka, cukup wajar bila keseriuasan pemerintah dipertanyakan untuk kemudian dinilai sarat dengan kepentingan politis.

Dalam bingkai wacana ilmu politik, penilaian politis dapat dibenarkan sejauh variabel dari beberapa premis saling berkorelasi secara logis dan rasional. Betapa tidak, kesalahan yang bersifat personal justru mengorbankan jutaan orang sementara pengakuan atas kesalahan lewat BLT tidak dapat mengatasi permasalahan. Bukankah bantuan itu berarti ingin menarik simpati dari masyarakat demi kepentingan kekuasaan? Pertanyaan ini bukan berarti bahwa bantuan itu tidak baik untuk direalisasikan akan tetapi tidak benar untuk menyelesaikan persoalan.

Oleh sebab itu, sebagaimana dicirikan oleh Muchtar Lubis pada tahun 1977, ada penyakit menyedihkan yang mengubur jiwa nasionalisme pemerintah berupa, di antaranya, kemonafikan dan enggan bertanggung jawab walaupun sistem dan struktur pemerintahan telah berubah. Penyakit ini menyapu bersih semangat dedikasi sosial dengan prinsip kerja di dalamnya seperti konsistensi, efisiensi, dan profesionalitas yang berganti tindakan demi meraih keuntungan pribadi. Akhirnya, ironi dan kenaifan bukan untuk diilustrasikan seperti dalam sebagian sastra modern akan tetapi sebagai refleksi kebangsaan yang harus terus direkontruksi menuju kebangkitan nasioanal. Kita harus yakin masih ada jalan untuk mencapai idealitas bersama.

*Penulis adalah Peneliti di Laboratorium Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 **Tulisan ini pernah dimuat di Harian Umum Pelita, Kamis 5 Juni 2008