Menuju Penguatan Kolaborasi

Menuju Penguatan Kolaborasi

Musim panas terasa mulai menggigit di Alexandria (Iskandariyah), kota kedua terbesar Mesir, di pinggiran Laut Tengah. Kali ketiga saya ke kota ini, kembali lagi ke Bibliotheca Alexandrina (BA), perpustakaan tertua di muka bumi, yang beberapa tahun lalu dibangun kembali dengan gaya bangunan pascamodern. Di bawah pimpinan tokoh intelektual, Ismail Serageldin, perpustakaan Iskandariyah ini bukan hanya tempat penyimpanan buku, arsip, naskah, dan semacamnya, melainkan juga merupakan museum dan aktif dalam menyelenggarakan berbagai konferensi dan pertemuan ilmiah lainnya. Lebih jauh, BA juga bertujuan menjadi pusat pengembangan toleransi dan perdamaian; dialog dan saling pengertian di antara warga dunia; dan reformasi di Timur Tengah. Memandang tujuan ini, tidak heran kalau beberapa tahun lalu saya pernah diundang ke BA menyampaikan pengalaman Islam Indonesia dengan demokrasi dalam Konferensi bertajuk 'What the Arabs Can Learn from non-Arab Muslims'.

Karena itu, setiap kali ke BA, saya seolah dibawa ke masa kejayaan Islam di Baghdad dan Andalusia ketika perpustakaan menjadi pusat keilmuan dan peradaban Islam; yang dengan toleran dan damai menerima, menyerap, dan sekaligus menyebarkan berbagai ilmu dari banyak sumber. Dalam konteks itu, BA kembali menyelenggarakan konferensi besar pada 16-18 Juni lalu dengan tajuk Initiatives in Culture, Science, Education: Towards Enhanced US-Muslim Countries Collaboration. Konferensi ini sekaligus merupakan peringatan setahun pidato Presiden AS, Barack Obama, di Universitas Kairo pada 4 Juni tahun lalu. Pidato Presiden Obama tersebut dipandang Direktur BA, Ismail Serageldin, banyak kalangan di Mesir termasuk Universitas al-Azhar dan Universitas Kairo sebagai landmark dalam pengembangan hubungan lebih baik antara AS dan negara-negara Muslim atas dasar saling menghormati dan kepentingan bersama.

Konferensi besar ini menghadirkan banyak pembicara sejak dari pejabat pemerintah semacam Rashad Hussein, utusan khusus Presiden Obama untuk OKI; Farah Pandith, representatif Kemlu AS untuk Masyarakat Muslim; dan juga Syekh Ali Gomaa, grand-Mufti Mesir. Juga pembicara dari kalangan intelektual, akademisi, dan aktivis dari berbagai wilayah dunia yang aktif dalam upaya membangun hubungan lebih baik di antara AS dan dunia Muslim. Saya sendiri kebetulan satu-satunya pembicara dari kawasan Asia Tenggara.

Dalam bidang budaya, hubungan di antara kedua belah pihak ini memang tidak selalu mulus. Banyak terdapat salah pengertian, kecurigaan, dan bahkan ketakutan timbal balik. Meskipun upaya-upaya menciptakan saling pengertian terus dilakukan, tetap saja tidak mudah membangun relasi budaya yang kondusif bagi kedua belah pihak. Tetapi, kemauan politik Presiden Obama dapat menjadi momentum bagi hubungan lebih baik di antara kedua pihak.

Salah satu sarana penguatan kolaborasi di antara AS dan dunia Muslim adalah lewat kerja sama dalam bidang sains. Kerja sama sains ternyata tidak banyak terpengaruh perkembangan dan bahkan ketegangan politik di antara AS dengan negara Islam tertentu, semacam Iran. Hal yang sama juga dapat terlihat dalam kerja sama pendidikan. Tetapi, seperti saya kemukakan dalam Sidang Pleno tentang pendidikan, kerja sama dalam bidang ini sering terganggu kesulitan mendapatkan visa AS sampai sekarang ini; dan juga pendekatan dan perlakuan petugas imigrasi di bandara-bandara AS yang memperlakukan secara berlebihan mereka yang berwajah Timur Tengah atau memiliki nama-nama Muslim tertentu.

Dalam panel khusus tentang 'Interfaith Dialogue', Mustafa Ceric, Mufti Bosnia-Hercegovina, menekankan urgensi dialog antaragama guna mencegah terjadinya genosida di Bosnia, Eropa, dan di mana saja. Untuk itu, segenap pihak harus memiliki keberanian berdialog secara tulus, tidak menyembunyikan sesuatu di bawah meja. Menurut Rashad Hussein, Presiden Obama juga sangat menekankan pentingnya dialog antar- dan intraagama guna mencegah terjadinya kekerasan atas nama agama. Karena tidak agama yang mengajarkan kekerasan.

Rashad Hussein menjelaskan, strategi keamanan baru Presiden Obama, antara lain, tidak menggunakan istilah 'ekstremisme Muslim', 'jihadists', dan semacamnya yang jelas menyinggung sensitivitas Muslim. Tetapi, menurut Obama, para ulama, intelektual, dan inteligensia Muslim juga memiliki pekerjaan rumah untuk terus menjelaskan kepada komunitas Muslim sendiri, kekerasan tidak bisa sama sekali ditoleransi, apalagi menyerang masjid dan membunuh mereka yang sedang beribadah. Pemimpin dan masyarakat Muslim sepatutnya selalu bekerja sama dengan pemerintah dan aparat keamanan untuk mencegah terjadinya aksi kekerasan atas nama agama. Pada saat yang sama, seluruh pemimpin agama manapun harus turut meluruskan kesalahpahaman terhadap Islam, bukan turut memperkuat salah paham tersebut.

Dengan demikian, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan negara-negara dan masyarakat Muslim sendiri. Begitu juga, dengan masyarakat Amerika agar dapat melihat Islam dan masyarakat Muslim lebih jernih dan adil. Jika ini dapat dilakukan, banyak peluang bagi penguatan hubungan, yang pada gilirannya merupakan kontribusi kepada dunia yang lebih aman dan adil.

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Republika, Kamis, 24 Juni 2010

Penulis adalah Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.